Menuju konten utama

Ponsel Hilang Pun Jadi Penyumbang Stres

Kehilangan smartphone bisa memicu lahirnya stres apalagi bagi mereka yang kecanduan jejaring medsos. Sementara itu, sebagian orang sedang berupaya melakukan detoks digital atau menjauhkan dari sumber dari gadget demi kesehatan mereka.

Ponsel Hilang Pun Jadi Penyumbang Stres
Ilustrasi. Salah satu pemicu stres masyarakat modern adalah kemacetan. Foto/iStock

tirto.id - Otot yang semula lentur menjadi tegang. Napas Anda makin menderu, dan secara otomatis mengalirkan lebih banyak oksigen ke otot. Ada kemungkinan Anda bisa terkena serangan panik. Bersamaan dengan melebarnya pembuluh darah, jantung juga terpompa keras akibat kadar oksigen dalam darah meningkat drastis. Hasilnya, rasa mual dan mau muntah yang tak tertahankan--inilah gejala fisik dari stres yang menghinggapi seseorang.

Stres itu manusiawi. Namun perkembangan zaman yang makin modern juga berkontribusi secara signifikan terhadap kenaikan level stres di banyak tempat. Setidaknya dalam jangka waktu dua tahun saja, yakni dari 2012 hingga 2014, kenaikan tersebut tergambar dalam sebuah riset yang dilaksanakan Workplace Options tahun lalu. Salah satu periset, Dean Debnam, mempublikasikannya di The Huffington Post dengan motif bahwa “makin banyak pekerja yang memerlukan bantuan atas isu kesehatan emosional ini.”

Dalam jangka waktu tiga tahun Debnam dan kawan-kawannya telah mensurvei lebih dari 100.000 pekerja di sepanjang Asia, Eropa, Afrika, Timur Tengah, Amerika Utara, dan Amerika Selatan dalam analisis bertajuk Employee Assistance Program (EAP). Ada tiga bagian isu kesehatan emosional yang disasar, yakni depresi, stres, dan kecemasan. Hasil akhir analisis Debnam menunjukkan bahwa ada kenaikan level ketiga jenis emosi itu di antara para responden.

Angka kasus pekerja yang mengalami stres naik 28 persen. Sementara itu kasus depresi di antara para pekerja naik sebesar 58 persen. Isu kecemasan (anxiety) mengalami peningkatan paling tinggi yakni hingga mencapai 74 persen. Jika dikombinasikan, ketiga kasus kesehatan tersebut naik dari 55,2 persen di 2012 menjadi 82,6 persen di 2014.

Khusus untuk kasus stres, peningkatan di antara para pekerja di Asia, termasuk Indonesia, yakni sebesar 20 persen. Angka ini menjadi yang terkecil di antara wilayah lain, tapi untuk kasus depresi, Asia mengalami peningkatan tertinggi yakni hingga 73 persen dimana wilayah lain hanya berkisar antara 25-55 persen. Sementara itu wilayah dengan peningkatan stres tertinggi terjadi di Amerika Tengah dan Selatan yakni mencapai 40,9 persen.

Pemicu Stres dari Kehilangan Ponsel dan Pasangan

Faktor apa yang membuat manusia di era modern mudah stres? Mari berkaca pada rakyat Britania Raya. Negara yang dikenal sebagai tempat kelahiran Revolusi Industri dan menandai cikal bakal modernisme ini pada tahun lalu dijadikan tempat penelitian The Physiological Society untuk sebuah riset bertajuk “Stress in modern Britain”. Pertanyaan pokoknya sederhana: peristiwa apa saja yang membuat responden stres?

Setelah diukur dengan indikator penilaian 0-10, diketahui bahwa faktor utama penyebab stres masyarakat Britania Raya adalah kematian pasangan/keluarga/teman (9,43 persen). Faktor penyebab kedua yakni hukuman penjara (9,15 persen), banjir atau kebakaran yang melanda rumah (8,89 persen), dan sakit parah (8,52 persen).

Faktor selanjutnya dialami oleh banyak pekerja yang terjebak dalam krisis ekonomi, yakni pemecatan dari instansi tempat ia bekerja (8,47 persen). Faktor selanjutnya bersifat sangat personal, yakni perpisahan atau perceraian dengan sang kekasih (8,47 persen). Setelahnya pencurian identitas (8,16 persen), masalah finansial yang tak terduga (7,39 persen), memulai pekerjaan baru (6,54 persen), menyiapkan pernikahan (6,51 persen), kelahiran anak pertama (6,06 persen), dan masalah klasik masyarakat urban yaitu macet (5,94 persen).

Dua faktor selanjutnya menjadi pembahasan menarik bagi The Physiological Society sebab mengandung dua situasi yang amat berbeda tapi dianggap sama-sama mampu memicu stres dengan kadar yang sama, yakni ancaman terorisme (5,84 persen) dan kehilangan ponsel pintar (5,79 persen).

Terorisme memang menjadi ancaman yang serius sejak ISIS memporak porandakan Timur Tengah dan memicu gelombang imigran ke daratan Eropa yang dianggap lebih aman. Sejumlah negara seperti Jerman memang menawarkan program penampungan pengungsi yang memadai, bahkan siap memproses mereka menjadi warga negara resmi. Kanselir Jerman Angela Merkel amat pro-imigran, sikap yang sangat berseberangan dengan Presiden AS Donald Trump. Namun perkara keamanan di Eropa membikin banyak warganya gampang stres.

Faktor hilangnya ponsel pintar atau smartphone yang membuat masyarakat Inggris gampang stres adalah fenomena yang representatif untuk menggambarkan ketergantungan masyarakat modern atas gawai canggih yang begitu tinggi. Nielsen, lembaga riset media dan ekonomi asal Inggris, merilis laporan yang menyebutkan bahwa kebanyakan konsumen di dunia merasa gelisah jika mereka berada jauh dari gadget-nya.

Dalam laporan yang dirilis pada Oktober 2016 tersebut, Nielsen menyatakan bahwa 56 persen konsumen global tidak dapat membayangkan hidup tanpa perangkat ponsel pintarnya. Kemudian, dijelaskan pula bahwa 53 persen konsumen global merasa tidak tenang jika berada jauh dari perangkat mobile mereka. Bahkan, 70 persen konsumen global merasa perangkat mobile membuat hidup mereka menjadi lebih baik.

Infografik Masyarakat Modern Stres

Makin Stres Akibat Candu Medsos

Ketergantungan warga dunia pada ponsel pintar selaras dengan konsumsi media sosial (medsos) yang juga makin besar. Kini hampir semua orang yang memegang gawai canggih telah memiliki akun beragam jenis medsos. Pew Research pada 2015 lalu pernah mempublikasikan riset yang berkenaan dengan fenomena tersebut, diikuti dengan pertanyaan “Apakah konsumsi medsos yang tinggi juga berkontribusi terhadap naik-turunnya level stres seseorang?”

Secara umum analisis Pew Research menunjukkan bahwa tak ada kaitan langsung. Namun penggunaan medsos yang berlebihan berarti akan menerima lebih banyak informasi tentang peristiwa yang membuat stres orang lain. Situasi ini, menurut Pew Research, menuntun si pengguna medsos untuk lebih mudah terserang stres. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan menjadi pihak yang lebih rentan untuk mengalami kondisi tersebut.

Dalam menjalankan penelitiannya, Pew Research menanyakan 12 jenis peristiwa pemicu stres kepada responden untuk mengetahui mana yang pernah mereka dengar/lihat dan yang belum. Peristiwanya bermacam-macam, mulai dari kematian orang terdekat sampai masalah finansial.

Hasilnya, secara rata-rata, responden perempuan memiliki pengetahuan yang lebih besar tentang 12 peristiwa pemicu stres tersebut di antara orang-orang yang responden kenal atau berteman di medsos. Masih dalam angka rata-rata, tingkat pengetahuan responden pria tentang peristiwa pemicu stres yang dialami orang-orang terdekatnya di medsos sebanyak 7 persen lebih sedikit dibanding responden perempuan.

Lebih khusus lagi untuk kasus bagi pengguna Facebook, responden perempuan dengan jaringan pertemanan normal memiliki pengetahuan atas peristiwa pemicu stres 13 persen lebih tinggi ketimbang perempuan yang tak main Facebook. Sementara bagi responden laki-laki persentasenya hanya 6 persen. Pengetahuan responden perempuan atas peristiwa pemicu oleh orang-orang spesialnya di Facebook juga mencapai 14 persen, lebih tinggi daripada persentase pengetahuan responden laki-laki yang hanya sebesar 6 persen.

Kesimpulan Pew Research, mengungkapkan bahwa perempuan pengguna medsos akan lebih mudah terserang stres daripada perempuan non pengguna maupun daripada laki-laki pengguna medsos. Sekali lagi ini diakibatkan oleh bagian lain dalam penelitian yang menyatakan bahwa semakin banyak seseorang menerima informasi tentang peristiwa pemicu stres, maka ia sendiri juga akan semakin gampang terkena stres.

Ada baiknya kita mulai belajar untuk lebih selektif dalam berselancar di internet, khususnya di jejaring sosial. Menjalani hidup yang lebih tenang dan menyehatkan bagi pikiran bisa berawal dari perilaku mengurangi risiko stres maupun depresi.

Baca juga artikel terkait SMARTPHONE atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra