tirto.id - Palestina punya tempat istimewa bagi kelompok Islam di Indonesia. Negara yang status politiknya, juga nasibnya, ini selalu dilekatkan pada kelompok Islam.
Citra bahwa Palestina adalah Islam dan Islam adalah Palestina masih perlu didiskusikan lagi. Jika membaca dengan lebih rinci, tidak sulit untuk mengetahui bahwa pembebasan Palestina adalah agenda bersama nyaris seluruh kelompok politik dan ideologi. Dari yang moderat seperti Fatah maupun yang tak kenal kompromi seperti Fatah, bahkan partai komunis pun ikut terlibat dalam agenda pembebasan Palestina. Jangan lupa bagaimana Fidel Castro yang komunis, misalnya, menjadi suporter yang gigih dari gerakan pembebasan Palestina. Bahkan kelompok Kristen pun terlibat intens dalam agenda membebaskan Palestina dari pendudukan Israel.
Namun jika kemajemukan para pejuang kemerdekaan di Palestina itu diabaikan, maka dukungan kelompok Islam di Indonesia pada Palestina, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), adalah bentuk empati terhadap ketidakadilan yang terjadi pada saudara seiman. Bahwa empati itu kemudian menyelinap juga dalam dinamika politik dalam negeri, yang tidak ada hubungan langsung dengan Palestina, itu adalah hal yang lain.
"Hal yang lain" itulah yang membuat Kedutaan Besar Palestina di Indonesia menyatakan ketidaknyamanan saat bendera Palestina dibawa dalam demonstrasi membela Rizieq Shihab. Dalam pernyataan resminya, Kedutaan Besar Palestina mengatakan: [...] menyesalkan bahwa baru-baru ini bendera Palestina dikibarkan selama aksi (dengan pilihan kata “non peaceful”) yang murni urusan dalam negeri.”
Masalahnya, menjadi saudara-seiman, termasuk segala bentuk empati, tidak serta-merta membuat atribut-atribut negara lain bisa bebas-bebas saja dipakai dalam beragam situasi. Pada dasarnya memang bebas-bebas saja, selama tidak melanggar hukum, namun tindakan itu tentu adalah sebentuk permainan representasi yang juga bebas ditafsirkan atau dimaknai, termasuk oleh Kedutaan Besar Palestina.
Politik Representasi Bendera Palestina
Representasi, dalam bahasa Stuart Hall, berarti “connect meaning and language to culture”. Pertunjukan representasi dalam kasus bendera Palestina dalam aksi mendukung Rizieq Shihab melahirkan efek atau (meng)kesan(kan) bahwa (masyarakat) Palestina itu sama dengan, katakanlah, kultur FPI. Jika ada bagian dari Palestina yang punya poin irisan kesamaan —mungkin salah satunya yang paling mendekati— adalah Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah atau lebih familiar dengan akronim: HAMAS. Yang dalam terjemahan bebasnya: “Gerakan Pertahanan Islam”.
Namun kemiripan nama pun tidak cukup. Hamas (sejak Pemilu 2006) sukses menggabungkan perjuangan antara senjata dengan politik, sedangkan FPI masih berkutat pada wilayah akar rumput dan belum melakukan suksesi (secara langsung) untuk ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan negara. Apalagi secara cakupan global pun keduanya benar-benar tidak setara.
Nota keberatan yang disampaikan kedubes Palestina kepada pemerintahan Indonesia ini bisa dipahami dalam kerangka teori representasi Juddy Giles dan Tim Middleton dalam Studying Culture: A Practical Indroduction. Teori representasi itu menawarkantiga pendekatan untuk memahami kekhawatiran Dubes Palestina.
Pertama, to stand in for, yang bisa dicontohkan bagaimana negara Palestina dianggap hadir di setiap aksi kelompok politik Islam di Indonesia. Aksi-aksi dengan mengibarkan bendera Palestina bisa mencitrakan bagaimana Palestina merupakan sosok yang ada di balik atau pendukung segala macam aksi yang merupakan urusan domestik dalam negeri. Ini tentu hal yang tidak diinginkan bagi Palestina karena berpotensi mengganggu hubungan bilateral kedua negara.
Kedua, to speak or act on behalf of, di mana suara mereka yang membawa bendera Palestina dianggap sebagai suara Palestina. Poin ini bahkan bisa saja dirasa lebih mengganggu ketimbang poin pertama.
Ketiga, to re-present, menghadirkan kembali memori-memori koletif di masa lalu. Memori kolektif Palestina tentang masa-masa awal pendudukan sampai situasi tegang antara Hamas dengan Fatah yang hampir memicu perang saudara.
Kehadiran “Palestina” dalam aksi massa di Indonesia memunculkan wacana kembali bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia disamakan dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Palestina. Sama-sama melawan orang kafir (Kerajaan Belanda dengan Israel) dan setelah merdeka menghadapi perang saudara (DI/TII, RMS, Parmesta, dll dengan konflik Fatah-Hamas).
Memahami Pernyataan Kedutaan Palestina
Novel mengaku penggunaan bendera Palestina adalah merupakan bentuk dukungan moral terhadap perjuangan rakyat Palestina. Apa yang disampaikan Novel menyiratkan terpisahnya rakyat dengan pemerintahannya (rakyat Palestina dan pemerintah Palestina).
Usaha memisahkan rakyat dengan pemerintahnya adalah langkah yang pernah ada contohnya dalam sejarah. Dan itu terjadi lebih dari setengah abad silam, tentang hasil akhir Perang Dunia (PD) I dengan Perang Dunia II.
Pada PD II, Perwakilan dari Sekutu sekaligus Presiden Amerika Serikat, Franklin Roosevelt, memberi pernyataan yang, menurut Kapten Liddell Hart merupakan “two words-the war’s greatest blunder” (P.K. Ojong, Perang Eropa Jilid II). Blunder dua kata ini adalah: unconditional surrender.
Presiden Amerika Serikat (AS) ini mengucapkan slogan unconditional surrender terhadap Jerman. Slogan ini, menurut Liddell Hart, membuat Sekutu tidak membedakan pemerintahan Jerman dengan rakyatnya. Hasilnya kemudian, seluruh rakyat Jerman merasa bahwa mereka harus mati-matian berperang untuk menyelamatkan diri karena tidak diberi kesempatan memisahkan diri dengan pemerintahnya.
Ini berbeda dengan kebijakan Presiden AS, Woodrow Wilson, pada PD I. Ia mengatakan: “Kami tidak berselisih dengan rakyat Jerman. Kami punya perasaan simpati dan persahabatan dengan mereka. Perang ini dikobarkan oleh Pemerintah Jerman, bukan atas desakan rakyat Jerman. Perang ini dimulai tidak sepengatuhan dan tidak seizin rakyat Jerman.”
Karena diberi kesempatan untuk menjadi bagian yang berada di luar pemerintahan, taktik adu domba Sekutu berhasil dan pada PD I Jerman kalah dengan syarat tanpa harus mengalami kehancuran total seperti PD II.
Sekilas, secara keterwakilan pemerintahan oleh rakyat, pernyataan Novel hampir mirip dengan Wilson saat melihat bahwa keputusan Pemerintah Palestina lewat Dubesnya tidak serta merta merupakan suara bulat rakyatnya.
Apalagi melihat kondisi parlemen Palestina yang, sejak meninggalnya PLO Yasser Arafat, berada dalam situasi pelik karena konflik Hamas dengan Fatah. Secara pemerintahan, kedua faksi ini punya kekuatan yang hampir setara. Perseturuan keduanya tidak juga menemui titik temu selama 11 tahun terakhir. Apalagi tahun lalu pemilu yang agendanya akan dilaksakan harus tertunda karena dua faksi tidak mendapatkan titik temu.
Faksi Fatah pada periode Presiden Mahmoud Abbas ini memang mendominasi parlemen untuk urusan bilateral antar negara. Sekalipun kedua faksi ini akhirnya bersatu dengan membentuk Dewan Nasional di Moskow pertengahan Januari lalu, Dubes Palestina yang berada di Indonesia saat ini adalah sisa pemerintahan faksi Fatah yang dikenal sekuler, berbeda dengan Hamas.
Pendekatan Fatah yang selalu memilih jalur diplomatis untuk urusan Internasional inilah yang menjadi jawaban kenapa Dubes Palestina yang sekarang keberatan dengan penggunaan bendera Palestina dalam aksi massa yang penggeraknya punya kecenderungan lebih dekat dengan Palestina versi Faksi Hamas ketimbang Fatah.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS