tirto.id - Kala Google merilis Google Maps ke publik di 2005 silam, mereka mengklaim bahwa "peta digital dapat sangat berguna dan menyenangkan". Bertahun kemudian, khususnya selepas aplikasi ride-sharing lahir, apa yang diklaim Google terbukti.
Bagi publik awam, penggunaan Google Maps memang tidak dibebankan biaya apapun. Namun, Maps, yang merilis application programming interface (API) bagi pengembang aplikasi, menjadi pilihan tak terbantahkan bagi Uber, Didi Chuxing, Grab, hingga Gojek dalam mendukung layanan on-demand mereka.
Penggunaan API Google Maps oleh para pemain aplikasi ride-sharing tidaklah gratis. Di laman resmi Google diperlihatkan permintaan penggunaan layanan Google Maps (API request) dihargai gratis jika penggunaannya tidak sampai 2.500 permintaan. Lebih dari itu, Google mematok tarif $0,5 per seribu API request.
Paling tidak, tatkala pengguna aplikasi ride-sharing memesan ojek atau taksi plat hitam, dibutuhkan tiga API request: menentukan titik penjemputan, titik tujuan, dan menghitung jarak antara dua titik tersebut.
Sebagaimana dilaporkan Nikkei Asian Review, pada 2018 Grab melayani 3,7 juta perjalanan setiap harinya. Hitung-hitungan kasar, dengan hanya menghitung tiga API request setiap kali pengguna memesan, Grab harus membayar $1.800 atau lebih dari Rp25,5 juta kepada Google setiap hari.
Google Maps, yang disebut Bloomberg sebagai bagian tidak terpisahkan bagi semiliar warga dunia, kemungkinan akan menjadi mesin uang paling canggih Google selain iklan digital.
Persoalannya, Google Maps tidak melulu menyenangkan.
Pada 3 November 2010, misalnya, seorang pejabat di Nikaragua bernama Eden Pastora diperintah mengeruk sungai Rio San Juan. Alih-alih menggunakan peta negara untuk memastikan wilayah kerja pengerukan, Pastora memilih menggunakan Google Maps.
Sialnya, ketika ia layanan tersebut sedang mengalami kendala teknis. Alhasil, kerja pengerukan yang dilakukan Pastora bertambah 2,7 kilometer hingga memasuki teritorial Kosta Rika.
Atas pertimbangan keamanan dan kenyataan bahwa wilayah pengerukan sungai berbatasan dengan negara lain, Pastora ditemani 50 tentara untuk mengamankan tugasnya. Jadilah, proyek yang seyogyanya dilakukan guna membuat sungai Rio San Juan kembali normal, menjadi, seperti yang tegas dituduh oleh Kosta Rika, “invasi kedaulatan”.
Dua negara, Nikaragua dan Kosta Rika, bersitegang. 50 tentara yang dikirim Nikaragua untuk menemani Pastora dijawab dengan pengerahan 70 petugas kepolisian Kosta Rika.
Persoalan terkait sengketa wilayah yang dilatari oleh penggunaan Google Maps juga pernah membuat murka warga Palestina pada 2016. Musababnya, peta digital ini tidak memberi garis khusus batas kewilayahan untuk Palestina, yang umum dibuat oleh Google Maps untuk memberi tanda suatu wilayah kedaulatan sebuah negara.
Atas kenyataan ini, warga maya Palestina menggerakkan kampanye #PalestinaIsHere di media sosial. Lalu, mereka pun membuat petisi di Change yang menuntut Google memperlakukan Palestina selayaknya negara lain di peta digital itu. Kampanye di Change itu menggarisbawahi bahwa Google Maps adalah alat yang penting.
“Google Maps sangat penting bagi orang-orang di seluruh dunia, termasuk jurnalis, mahasiswa, dan para peneliti hubungan Israel-Palestina. Pengakuan Palestina oleh Google bahkan memiliki status sama pentingnya dengan pengakuan oleh PBB,” tegas kampanye maya itu.
Namun, Google berkilah. Mereka mengatakan bahwa sejak dahulu Palestina, berikut juga Israel, tidak pernah diberi tanda batas kewilayahan yang tegas seperti negara-negara lain dengan alasan bahwa wilayah masih dipersengketakan.
Sementara itu, untuk kasus Nikaragua dan Kosta Rika, Google menegaskan bahwa “seharusnya Google Maps tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait aksi militer oleh dua negara.”
Alasan ini berbeda dengan apa yang dikatakan John Hanke, sosok yang pada 2011 menjabat Vice President Geospatial Division Google. Ia mengklaim bahwa Google Maps dibuat “untuk menciptakan satu peta dunia yang sempurna.”
Google Maps Tidak Akan Pernah Sempurna
Google Maps lahir dari sosok bersaudara asal Australia bernama Lars Eilstrup Rasmussen dan Jens Eilstrup Rasmussen.
Dalam buku berjudul “Web Engineering (2005),” yang disusun David Lowe Martin Gaedke, Lars, si kakak, merupakan pemegang gelar Ph.D pada bidang teori ilmu komputer dari University of California Berkeley. Ia lantas mengajak adiknya membangun startup peta digital bernama Where 2 Technologies di tahun 2003.
Marcus Oppitz, lewat bukunya “Inventing the Cloud Century,” menyebutkan bahwa dua orang ini kemudian menawarkan ide tentang peta digital yang “searchable, scrollable, dan zoomable” pada Google. Sekitar setahun bernegosiasi, Google mengakuisisi Where 2 Technologies dan meleburnya menjadi layanan bernama Google Maps. Namun, kala itu, Google Maps bukanlah layanan publik. Ia masih menjadi layanan ujicoba di bawah naungan divisi khusus Google bernama Google Labs.
Guna menyempurnakan peta digitalnya itu, Google kemudian mengakuisisi Keyhole, startup yang menciptakan teknologi di balik Google Earth, dan ZipDash, guna diambil teknologi terkait fitur lalu lintas real-time. Lengkap sudah.
Pada 8 Februari 2005, Google akhirnya merilis proyek peta digitalnya ini ke publik.
Dua tahun berselang, Google Maps menjadi salah satu aplikasi pertama yang dapat digunakan melalui iPhone, bahkan sebelum App Store lahir. John Hanke, yang kala itu masih menjabat Vice President, Geospatial Division, Google, menyatakan bahwa hadirnya Google Maps pada iPhone 1st Generation karena negosiasi pribadi Steve Jobs. Katanya, sebelum iPhone meluncur saat itu, Jobs menghubunginya untuk membantu iPhone memiliki peta digital.
Dan kini, karena Google Maps merupakan aplikasi bawaan yang terpasang langsung di setiap ponsel Android, sebagaimana dilaporkan The Verge, ia hadir di lebih dari 2 miliar ponsel di seluruh dunia.
Menurut Hanke kehadiran Google Maps dilakukan untuk “menciptakan satu peta dunia yang sempurna dan dapat dijelajahi.” Hanya saja persoalannya tidak pernah sesederhana itu.
Sebagaimana ditulis The Economist: “Batas-batas internasional sukar diterjemahkan dalam peta.” Apalagi jika negara-negara yang saling berbatasan belum mencapai titik sepakat atas di mana wilayah masing-masing negara berakhir.
Namun, sebagaimana disinggung di awal, Google Maps justru seolah-olah memiliki otoritas yang pengakuannya disamakan dengan pengakuan PBB. Seperti yang terjadi pada kasus Pastora, misalnya. Ia tidak merasa bersalah, kendati pun telah memasuki wilayah negara lain, dan justru berlindung pada Google Maps yang menunjukkan jalan.
Kasus tersebut, dan juga kasus lain, menunjukkan betapa Google Maps yang ingin menjadi sempurna, sesungguhnya tidaklah sempurna.
Politik Menambah Rumit
Membuat peta yang benar-benar akurat memang sukar dilakukan.
Frank Jacob, dalam opininya di The New York Times, menyebut bahwa dalam kasus Nikaragua dan Kosta Rika, Google Maps tidak sepenuhnya salah. Jacob menuturkan, garis batas yang diberikan Google Maps membelah dua negara itu berasal dari data yang disediakan otoritas Amerika Serikat.
Lalu, dalam kesepakatan dua negara yang ditandatangani pada 1858 berjudul “Canas-Jarez Traty” sesungguhnya Google Maps menampilkan garis batas yang tepat. Namun, sialnya, batas negara lebih merupakan persoalan politik dibandingkan patok tanah.
Menurut The Economits, “semua peta adalah konstruksi politik, bahkan pada peta yang paling hati-hati digambar pun terdapat beberapa bias geopolitik. Ketika kartografer dihadapkan dengan batas negara yang masih diperdebatkan, mereka harus memilih opsi, ditampilkan atau tidak sama sekali.”
Hal tersebut turut diamini oleh Ed Parson, ahli geospasial Google. Kepada The Guardian, Parson mengatakan: “politik (membuat penciptaan peta) menjadi rumit.”
Bagi Google, keruwetan politik atas batas-batas negara direpresentasikan dengan peta personal. Yang dimaksud adalah: tatkala seseorang mengakses Google Maps di Rusia, Krimea dimasukkan Google sebagai satu wilayah utuh Rusia. Tetapi, tatkala seseorang mengakses Google Maps di Ukraina, Krimea bukanlah milik Rusia.
Dalam paper berjudul “MapWatch: Detecting and Monitoring International Border Personalization on Online Maps” (PDF) yang ditulis Gary Soeller, dijelaskan setidaknya ada lima wilayah di dunia yang telah dipersonalisasikan oleh Google. Selain Rusia, wilayah lainnya ialah Argentina, Cina, perbatasan antara Cina dan India, serta Maroko.
Selain itu, untuk “berdamai” dengan konflik antara negara yang masih terjadi, Google Maps tidak memberikan garis batas negara ke beberapa “negara”. Di luar Palestina dan Israel, “negara” yang tidak diberi garis batas negara oleh Google Maps, sebagaimana diwartakan Quartz, adalah Albania, Bhutan, Korea Utara, Kenya, Malawi, dan Serbia.
Secara menyeluruh, terdapat 32 “negara” yang tidak diberi garis batas negara oleh Google Maps.
Editor: Eddward S Kennedy