tirto.id - Duo pendiri Instagram Kevin Systrom dan Mike Krieger menghadapi masalah gawat pada 2011. Jumlah pengguna Instagram yang awalnya dirancang sebagai tempat bagi orang-orang menggunggah foto artsy nan indah itu tengah meningkat--15 foto diunggah setiap detik dari 150 juta pemakai. Tiba-tiba, media sosial yang kala itu masih 'bocah' mendadak dibanjiri foto-foto mengerikan mulai dari foto korban pembunuhan, kekerasan, hingga potret depresi. Tak mau Instagram dibanjiri konten-konten negatif, Systrom dan Krieger berencana menjalankan strategi bernama "pruning the troll" yang akan memblokir secara otomatis pengunggah konten negatif--tanpa pemberitahuan apapun.
Namun, sebagaimana dikisahkan Sarah Frier dalam bukunya berjudul No Filter: The Inside Story of Instagram (2020), strategi tersebut ditentang, khususnya oleh karyawan nomor lima Instagram, Jessica Zollman. Zollman, mantan pegawai Formspring yang bertugas bekerjasama dengan FBI untuk menghadapi cyberbullying, menentang pruning the troll karena "jika kita mulai meninjau konten secara proaktif, secara hukum kita bertanggung jawab atas semua konten yang ada di Instagram. Kita harus memeriksa semua konten, tanpa terkecuali, sebelum naik". Andai Instagram gagal membendung satu saja konten negatif, Zollman beragumen, Instagram akan beurusan dengan hukum karena merujuk Communications Decency Act Section 230, perusahaan seperti Instagram dianggap sebagai pemilik segala konten yang dimuatnya dan karenanya harus bertanggung-jawab atas semua konten, kecuali Instagram menyatakan sebaliknya sejak awal.
"Jangan," tegas Zollman kepada bosnya.
Delapan tahun berlalu. Apa yang diucapkan Zollman keluar juga dari mulut Mark Zuckerberg, Chief Executive Officer Facebook dan pemilik Instagram--sekaligus sosok yang membuat Zollman berstatus miliarder. Dalam opininya yang dimuat The Washington Post pada Maret 2019 silam, Zuckerberg menyatakan Facebook dibanjiri oleh konten-konten negatif--yang disebutnya "wajar" karena Facebook dihuni miliaran orang di seluruh dunia--dan juga konten-konten positif. Untuk konten positif, Zuckerberg mengklim bahwa "Facebook memberi semua orang cara untuk menggaungkan suara agar didengar, dan hal tersebut menciptakan manfaat nyata". Di sisi lain, ia tak ingin bertanggungjawab soal konten negatif dan mengatakan bahwa "pemerintah seharusnya lebih aktif untuk meregulasi internet".
Yang tak diketahui (lebih tepatnya: pura-pura tak diketahui) Zuckerberg: tanpa diminta pun tangan pemerintah telah mencengkram erat media sosial dan segala sisi dunia digital.
Polisi Virtual
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam Rapat Pimpinan Polri, Selasa (16/2) lalu, mengingatkan Direktur Siber Polri "untuk segera membuat virtual police". Pembentukan virtual police atau polisi virtual dilakukan menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo tentang pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Melalui pasal-pasal karet itu, banyak laporan "pencemaran nama baik" masuk ke kepolisian, yang menurut Sigit merepotkan polisi. Terlebih, pengekangan pendapat dan hilangnya kebebasan berekspresi juga tak jarang terjadi karena pasal-pasal itu.
Dalam penuturan Sigit, polisi virtual yang hendak dibentuk bertujuan untuk menegur "kalimat-kalimat yang kurang pas" yang diucapkan masyarakat di dunia maya yang diduga "melanggar UU ITE". Bagi Sigit, kerja petugas polisi virtual yang memelototi dunia maya dilakukan untuk menghindari konflik horizonal. “Virtual police dahulu yang mengedukasi. Saya kira ini juga bisa melibatkan influencer yang disukai masyarakat, yang memiliki pengikut banyak. Sehingga proses edukasi dirasakan nyaman, tidak sekadar menakuti,” tambahnya.
Penjelasan Kapolri soal pembentukan polisi virtual terdengar sangat positif. Namun, fakta berkata lain, khususnya jika kita menengok polisi virtual di negara lain. Polisi virtual, polisi siber, atau apapun namanya, lebih mungkin menjadi pengekang kemerdekaan rakyat. Mereka menentukan mana yang boleh disuarakan dan mana yang tidak. David Bamman, dalam studi berjudul "Censorship and Deletion Practices in Chinese Social Media", yang diterbitkan di dalam jurnal First Mondel Vol. 17 No. 3, Maret 2012, menyebut bahwa sensor pemerintah secara umum bisa diartikan sebagai pemblokiran, entah atas situsweb atau DNS. Bagi Bamman, "hard censorship" alias sensor keras ini mengerikan. Namun, yang terjadi tak melulu sensor keras. Dengan "The Great Firewall of China", misalnya, Beijing memblokir akses Google, Facebook, dan kawan-kawan. Tetapi, dengan aksi blokir website ini, Beijing sukses membuat Baidu, Weibo, dan Tencent menjadi raja di negeri sendiri.
Yang justru lebih mengerikan adalah "soft censorship" atau sensor halus. Jenis penyensoran ini tetap mengizinkan situsweb atau aplikasi berjalan, tetapi meninjau ulang konten-konten di dalamnya. Cara kerjanya mirip polisi virtual yang dibayangkan Kapolri: memelototi konten-konten di media sosial--dengan tambahan, perusahaan media sosial pun harus ikutan melakukan sensor ketika diminta pemerintah. Dalam kasus Weibo, misalnya, selain dipelototi Beijing, media sosial tersebut juga mempekerjakan 100 pegawai khusus.
Di Cina, sensor halus bekerja dengan meninjau semua konten yang diunggah warga di berbagai media sosial ala Cina. Menghapus konten yang mengandung kata/kalimat yang tak direstui Beijing, termasuk yang sesungguhnya biasa-biasa saja. Beberapa kata/kalimat yang dilarang adalah: "Impian Kaisar" (merujuk pada film berjudul Emperor's Dream tentang korupsi partai nasionalis Kuomintang), Disney (betul, merujuk pada karakter Winnie the Pooh), 1984 (merujuk pada imajinasi distopia yang muncul di novel George Orwell), hingga "kekal". Tak tanggung-tanggung, Beijing pun pernah mengharamkan huruf "N".
Riset Bamman dilakukan antara 30 Juni hingga 25 Juli 2011 dengan mengumpulkan 1.308.430 pesan yang diunggah ke Weibo. Beijing menghapus 212.583 di antaranya.
Tak hanya Cina yang melakukan penyensoran konten media sosial. Di AS, sebagaimana dilaporkan Jonah Engel Bromwich untuk The New York Times, sejak 2015 polisi menggunakan alat buatan perusahaan bernama Gofeedia untuk menengok konten-konten masyarakat yang diunggah di Facebook, Twitter, dan Instagram, khususnya tatkala protes hendak dilakukan. Aparat kepolisian di Newark, New Jersey, membentuk "The Citizen Virtual Patrol" yang bertugas memelototi masyarakat bukan pada media sosialnya, tetapi langsung ke individu melalui 100 kamera CCTV yang dipasang di seantaro kota. Pada 2011, dengan bantuan uang tak kurang dari USD 19 miliar dari Cina, Ekuador pun membentuk cyber police untuk mengawasi warga melalui 4.300 kamera yang tersebar di seantero negeri.
Zimbabwe, Uzbekistan, Pakistan, Kenya, Uni Emirat Arab, Jerman, dan 12 negara lain di dunia mengikuti jejak Ekuador membentuk polisi siber.
Di Turki, Erdogan membiarkan Wikipedia dapat diakses (sempat diblokir penuh sejak 29 April 2017 hingga 15 Januari 2020). Namun, entri seperti "vagina" dan "penis" di Wikipedia tak bisa diakses. Kekuatan Ankara untuk menentukan mana yang boleh dan tidak dilakukan warganya di dunia maya kian kuat manakala parlemen negeri Harun Yahya itu meloloskan Undang-Undang Nomor 5651 tentang Peraturan Publikasi di Internet--yang lolos menjadi produk hukum hanya dalam tempo 59 menit berdiskusi.
Amelia Johns, dalam studinya berjudul "Feeling the Chill: Bersih 2.0, State Censorship, and “Networked Affect” on Malaysian Social Media 2012–2018" yang terbit pada jurnal Social Media+Societ, April 2019, membeberkan praktik polisi virtual di Malaysia. Di bawah kekuatan Perdana Menteri Najib Razak (yang kini telah lengser), tulis Johns, Kuala Lumpur membentuk cyber troops yang diisi oleh militer, polisi, perwakilan pemerintah, hingga politisi UMNO untuk menyebarkan informasi yang menguntungkan Najib.
Sebelum wacana polisi virtual ini digulirkan Polri, sudah banyak warga yang meringkuk di tahanan karena pasal karet UU ITE. Individu, pengacara, yayasan, dan asosiasi--entah yang sudah lama terbentuk atau baru kemarin sore--dengan leluasa melaporkan ekspresi apapun yang dianggap merugikan mereka dengan dasar pencemaran nama baik. Pembentukan polisi virtual nampaknya hanya akan menambah jumlah pelaporan itu.
Ilmuwan politik mengenal pengawasan melekat seperti ini sebagai praktik "negara polisi", yang kini telah diserap ke dalam kosakata awam. Merriam-Webster Dictionary, menyebut negara polisi ditandai oleh kontrol pemerintahan represif terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang biasanya dilakukan dengan kekuasaan arbitrer polisi atau intelijen sesuai dengan prosedur hukum yang diketahui secara publik.
Editor: Windu Jusuf