Menuju konten utama

Polisi Masih Sulit Deteksi Pelibatan Peran Anak Saat Aksi Terorisme

Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan polisi memang kesulitan untuk mencegah penggunaan anak dalam aksi terorisme.

Polisi Masih Sulit Deteksi Pelibatan Peran Anak Saat Aksi Terorisme
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto memberikan keterangan pers mengenai penyergapan teroris. di Mabes Polri, Jakarta, Minggu (13/5/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak.

tirto.id - Rangkaian serangan di tiga gereja di Surabaya menandakan pola baru dalam tindakan terorisme dengan memakai wanita dan anak kecil. Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Setyo Wasisto mengatakan polisi memang kesulitan untuk mencegah pelibatan peran anak dalam aksi terorisme.

Setyo menuturkan, penggunaan anak kecil dan wanita sulit dicegah karena keputusan masing-masing keluarga. Sedangkan polisi juga sulit mendeteksi anak kecil yang ikut menjadi pelaku teror karena gelagat mereka terkadang menyiratkan bahwa mereka tidak tahu apa-apa.

"Kami agak susah mendeteksinya karena itu sebenarnya mereka adalah korban. Kalau anak kecil itu korban. Jadi mendeteksinya harus lebih jeli lagi. Karena keterlibatan mereka sebagai korban," jelas Setyo hari Jumat (18/5/2018) di Mabe Polri.

Meski begitu, Setyo menerangkan bahwa tidak ada pandang bulu dalam penegakan hukum terhadap terduga terorisme. Jika anak kecil diduga melakukan hal mencurigakan, tentu Polri akan tetap mengeceknya. Terlebih dengan kondisi sekarang.

Dalam kasus ledakan tiga gereja di Surabaya, Dita Oepriarto yang diduga sebagai pimpinan Jamaah Anshorut Daulah (JAD) Surabaya menggunakan anak dan istrinya untuk melakukan peledakan. Dua anak Dita yang masih berumur 12 (FS) dan 9 tahun (PR).

"Kalau mencurigakan siapapun pasti akan diperiksa," tegasnya.

Pengamat terorisme, Haris Abu Ulya menegaskan, ada dua kemungkinan membawa anak sebagai pelaku bom bunuh diri ke medan perang. Yang pertama adalah karena niat sekeluarga memang ingin mati bersama.

“Mungkin ini suami dan istri memang punya pikiran yang bias bahwa mati bareng-bareng, masuk surge bareng-bareng,” katanya pada Tirto. “Pikiran konyolnya juga, suami mati-istri mati, nggak usah meninggalkan anak.”

Haris menjelaskan, kemungkinan kedua adalah sebagai alternatif melakukan teror karena polisi sudah mulai bisa mendeteksi pergerakan teroris laki-laki dan perempuan. Contohnya, pada akhir 2016 lalu, polisi menangkap dua perempuan yang diduga hendak merakit bom panci. Dari situ, Polri sudah memiliki dugaan bahwa banyak juga wanita yang berusaha melakukan jihad.

“Ya memang untuk pengaburan aksi, atau memang mereka tidak mau meninggalkan anak,” tegasnya hari Selasa (15/5/2018).

Namun, anak-anak tersebut belum tentu mengetahui dengan jelas tindakan apa yang ia lakukan. Haris mengatakan, anak-anak tersebut –jika digunakan untuk aksi jihad- pasti akan didampingi oleh ibunya. Selain karena pengaruh orang tua sangat kuat, anak-anak tentu akan menurut begitu saja.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri