tirto.id - Michael Falkesgaard, kiper timnas Filipina, relatif tampil biasa saja saat Filipina bermain imbang, 0-0, melawan timnas Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Minggu (25/11) lalu. Di sepanjang pertandingan, meski gawang Filipina tidak kebobolan, kiper Bangkok United tersebut tidak sekali pun melakukan penyelamatan. Meski begitu, Falkesgaard ternyata sempat menjadi sorotan.
Penyebabnya: sekitar satu hari sebelum pertandingan tersebut, Falkesgaard menyindir kondisi lapangan SUGBK.
Di akun Twitternya, Falkesgaard mencuit, “Jika kalian berharap sepakbola yang baik besok, sebaiknya jangan. Lapangan ini tidak cocok untuk sepakbola. Tetapi, bagi saya, tidak ada alasan untuk tidak meraih hasil baik.”
Cuitan kiper Bangkok United tidak hanya berhenti sampai di situ. Setelahnya, ia membuat serial cuitanyang disertai dengan video dan foto kondisi rumput SUGBK. Falkesgaard tak bohong. Dalam video dan fotonya itu beberapa bagian rumput di SUGBK memang tampak botak.
Namun, sindiran Falkesgaard tersebut kemudian berbalas sindiran balik dari sejumlah warganet. Sebagian dari mereka mempertanyakan kondisi rumput Stadion Panaad, Filipina, yang tak kalah buruk dari SUGBK. Sindiran itu lantas melebar ke mana-mana, sampai-sampai ada yang memperlihatkan foto ruang ganti Stadion Panaad yang nampak kurang layak.
Yang menarik, Falkesgaard ternyata tak sendirian dalam menyindir kondisi rumput SUGBK. Sebelum timnas Indonesia menjamu Timor Leste di SUGBK pada 13 November 2018, Norio Tsukitate, pelatih Timor Leste, juga menilai bahwa kondisi lapangan SUGBK tak layak untuk menggelar pertandingan. Ia bahkan membandingkan kondisi lapangan SUGBK dengan Stadion Rajamangala, Thailand.
“Kondisi lapangan buruk. Tidak ada rumput di beberapa bagian. Di Thailand, lapangan latihan dan untuk pertandingan sempurna. Sedangkan di sini buruk,“ kata Tsukitate kepada media pada Senin (12/11) lalu.
Mengapa kondisi rumput SUGBK bisa seburuk itu?
Sejak diresmikan pada 24 Agustus 1962 silam, Stadion Utama Gelora Bung Karno sudah menggunakan jenis rumput Zoysia Matrella (ZM). Biasa disebut dengan rumput manila, rumput tersebut diklaim sebagai rumput terbaik untuk digunakan dalam lapangan sepakbola. Baik secara fungsional maupun secara visual, kualitas ZM memang ciamik: warna hijaunya paling kentara di antara jenis rumput lain. Ia elastis, sangat mendukung para pemain sepakbola. Selain itu, rumput jenis ini juga sangat kuat – tidak mudah rusak saat diinjak-injak dengan sepatu bola.
Setelah direnovasi untuk Asian Games 2018 lalu, ZM pun masih tetap digunakan. Selain karena kualitasnya, nilai sejarah ZM juga menjadi pertimbangan.
“Jenisnya dipertahankan agar mengingat sejarah juga. Pendahulu yang membangun sejarah ini juga menanam rumput itu, jadi kami gunakan jenis yang sama agar orang bisa mengingat sejarah juga, “ kata Winarto, Direktur Utama Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK), dilansir dari Bola.com.
Meski begitu, menurut A.J Turgeon, dalam Turfgrass Management (1980), jenis rumput ZM mempunyai kecepatan tumbuh yang lambat sehingga waktu yang dibutuhkan untuk penutupan area lapangan menjadi semakin lama. Selain itu, karena penanamannya secara sodding (lempengan rumput), biaya yang untuk digunakan juga sangat tinggi.
Kelemahan ZM ternyata tidak berhenti sampai di situ. Diwartakan bola.com, ZM juga dikenal sebagai jenis rumput manja. Ia harus disiram sekali sehari sekaligus rutin diberi pupuk. Setiap dua pekan sekali, rumput jenis ZM juga harus dipangkas. Singkat kata, perawatannya kelewat ribet dan mahal. Selain itu, yang paling penting, jika rumput tersebut sengaja ditanam untuk keperluan sepakbola, ZM dianjurkan tidak boleh dipakai untuk kegiatan lainnya.
Yang kemudian menjadi masalah, SGUBK adalah stadion multifungsi. Merujuk dalam standardisasi FIFA, Football Stadiums: Technical recommendations and requirements, hal itu memang tidak dilarang. Malahan, FIFA menganjurkan bahwa stadion sepakbola memang sebaiknya juga digunakan untuk kegiatan lain. Mereka menulis, “Stadion sepakbola dapat digunakan untuk acara hiburan seperti konser, festival, aksi teater, dan acara lainnya.”
Namun, dalam standardisasi tersebut, FIFA juga menyarankan bahwa “penggunaan rumput artifisial akan memudahkan, karena bisa langsung digunakan dan/atau dilapisi dengan lapisan tertentu agar rumput tidak rusak." Sementara itu, SUGBK jelas masih menggunakan jenis rumput alami. Meski saat digunakan dalam kegiatan di luar sepakbola sudah dilapisi karpet, hal itu tentu tak banyak menolong.
Dari sana, kondisi lapangan SUGBK yang dikeluhkan oleh Falkesgaard dan Tsukitate pun sebenarnya dapat dimengerti. Sebelum digunakan untuk menggelar pertandingan Piala AFF 2018, pertandingan antara Indonesia melawan Timor Leste, dan Indonesia melawan Filipina, SUGBK digunakan untuk beberapa kegiatan di luar olahraga yang jaraknya begitu berdekatan.
Pada 18 Agustus 2018 dan 2 September 2018, SUGBK digunakan untuk pembukaan dan penutupan Asian Games 2018. Dalam periode tersebut, rumput lapangan Stadion Utama Gelora Bung Karno bahkan sempat dipindahkan. Sekitar satu bulan setelahnya, stadion yang digagas oleh Presiden Soekarno tersebut juga digunakan untuk menggelar pembukaan Asian Para Games 2018. Terakhir, hanya beberapa hari menjelang pertandingan melawan Timor Leste, SUGBK juga digunakan untuk menggelar konser salah satu band rock terbesar di dunia, Guns N’ Roses.
Rumput memang menjadi konsekuensi dari sebuah stadion multifungsi. Di Inggris, untuk mengatasi masalah itu, banyak stadion mulai meninggalkan penggunaan rumput alami. Stadion Wembley, misalnya. Pada 2011 lalu, stadion multifungsi tersebut mengganti rumput mereka dengan Desso GrassMaster, sejenis rumput hibrida(perpaduan antara rumput alami dan rumput buatan). Salah satu kelebihan jenis rumput tersebut adalah “sangat sempurna digunakan untuk stadion multifungsi”.
Alhasil, dengan perawatan yang tak jauh berbeda dengan rumput alami kualitas lapangan Wembley dapat terus terjaga. Manajer tim-tim di Premier League tak lagi mengeluh saat bermain di sana, dan Wembey tetap mampu menjalankan perannya sebagai “salah satu tempat hiburan terkemuka di dunia”.
Seperti Wembley, apakah SUGBK juga perlu beralih dari rumput alami ke rumput hibrida?
Editor: Nuran Wibisono