tirto.id - Polda Kalimantan Tengah menyerahkan 30 rompi kepada jurnalis yang sedang meliput tidak menolak Undang-Undang Cipta Kerja di Kota Palangka Raya. Pemberian itu sebagai bentuk perlindungan Polri terhadap wartawan demi menghindari kesalahpahaman di lokasi.
“(Rompi) ini warna oranye sangat mencolok dan mudah dikenali. Jadi tidak ada lagi alasan aparat tak bawa rekan media yang sedang meliput, "ucap Kapolda Kalimantan Tengah Irjen Pol Dedi Prasetyo, dalam tulisan tertulis, Senin (12/10/2020). Di belakang bagian tulisan rompi, ada tulisan 'pers' berkelir putih .
Dia Berharap TIDAK Terulang Lagi mengejar ketertinggalan Terhadap Jurnalis Yang meliput di Tengah Demonstrasi. Rompi ITU sebagai Identitas Tambahan Wartawan selain ID Pers.
Ketika Dedi tapers selaku Karo Penmas Divisi Humas Polri pada Mei 2019, Polri merencanakan identitas khusus bagi pewarta yang meliput, namun kini ide itu tak pernah terwujudkan.
Jurnalis diintimidasi, dihajar, bahkan ditangkap oleh polisi saat menjalankan tugas meliput protes masyarakat terkait pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di Jakarta, Surabaya, Samarinda, dan Semarang.
Kekerasan terhadap jurnalis yang terus berulang, dan terus menerus terjadi setelah kejadian kemarin. AJI menyebut sejak 2006 hingga bulan lalu, terdapat 785 jurnalis jadi korban kekerasan.
Rinciannya: kekerasan fisik 239 kasus; pengusiran / pelarangan liputan 91; dan ancaman teror 77. Pelakunya didominasi oleh polisi dengan 65 kasus; 60 massa; dan 36 kasus tidak dikenal. Pada 2019, saat 'reformasi dikorupsi', empat jurnalis yang berbasis di Jakarta melaporkan kasus kekerasan polisi. Hingga kini terapkannya.
“Polri wajib mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan personel kepolisian terhadap jurnalis dan terus memproses laporan kami tahun lalu,” kata Erick Tanjung, Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz