Menuju konten utama

Poin-Poin Isi UU Cipta Kerja Omnibus Law Soal Pesangon hingga Upah

Poin-poin dalam UU Cipta Kerja Omnibus Law soal pesangon, cuti, dan upah.

Poin-Poin Isi UU Cipta Kerja Omnibus Law Soal Pesangon hingga Upah
Puluhan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menggelar aksi teatrikal, di depan Kampus UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (6/10/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal.

tirto.id - Buruh/pekerja di seluruh Indonesia perlu mengetahui poin-poin dalam UU Cipta Kerja Omnibus Law klaster ketenagakerjaan yang akan berdampak pada seluruh buruh/pekerja. Ada beberapa poin penting dalam UU Cipta Kerja soal upah hingga perjanjian waktu kerja.

RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang banyak dihujani protes ini tetap disahkan DPR menjadi UU pada Senin (5/10/2020). Isi UU Cipta Kerja ini dinilai bisa merugikan para buruh dan menguntungkan segelintir orang saja.

Berikut ini beberapa poin isi UU Cipta Kerja Omnibus Law soal ketenagakerjaan.

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Kontrak

UU Cipta Kerja mengatur soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). PKWT diatur hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu atau pekerjaan tidak tetap.

Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, PKWT memberikan perlindungan untuk kelangsungan bekerja dan perlindungan hak pekerja sampai pekerjaan selesai. PKWT berakhir, pekerja berhak mendapatkan uang kompensasi.

Namun, jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam UU Cipta Kerja disebutkan, kedua hal itu akan diatur dalam PP.

Amnesty Internasional memberikan catatan, aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan UU Cipta Kerja jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap. Hal ini menghilangkan kepastian kerja.

2. Alih Daya

Dalam UU Ciptaker, perjanjian kerja harus mensyaratkan pangalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.

Apabila terjadi pengalihan pekerjaan dari perusahaan alih daya, masa kerja dari pekerja/buruh tetap dihitung.

Perusahaan alih daya berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.

3. Upah

Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tetap diatur dalam UU Cipta Kerja, dengan syarat tertentu. Upah minimum ditetapkan dengan memperhatikan kelayakan hidup pekerja/buruh dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

Upah Minimum Regional (UMR) juga diatur dalam UU Cipta Kerja, yang hilang adalah Upah Minimum Sektoral (UMS). Namun hal ini sedikit berbeda dengan UUK Pasal 89. Pasal 89 (2) UUK berbunyi:

"Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan

hidup layak."

Sementara itu, Pasal 88C ayat (3) menyebutkan: upah minimum ditetapkan berdasarkan “kondisi ekonomi & ketenagakerjaan.”

Yang banyak dikritik mengenai upah juga soal upah satuan waktu dan satuan hasil yang disebutkan dalam Pasal 88B UU Cipta Kerja.

Amnesty Internasional menilai, pasal ini memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan).

"Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum," jelas Amnesty Internasional.

4. Pesangon dan JKP

UU Cipta Kerja tetap mengatur pesangon dan menambah peraturan soal Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Perhitungan pesangon dalam UU Cipta Kerja adalah sebagai berikut:

Pasal 156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau

uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai

berikut:

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang 444 dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Pasal ini berpotensi merugikan buruh, sebab sebelumnya, pada UUK 13/2003, uang pesangon diatur "paling sedikit", sedangkan dalam UU Cipta Kerja, diatur "paling banyak". UUK mengatur minimal yang diterima buruh, sedangkan UU Cipta Kerja mengatur maksimal yang diterima buruh. Pasal 156 UUK berbunyi:

(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut

:

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah skema baru terkait dengan jaminan ketenagakerjaan yang tidak mengurangi manfaat dari berbagai jaminan sosial lainnnya, seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun.

Kemnaker menyebutkan, JKP dalam UU Cipta Kerja tidak menambah beban bagi pekerja/buruh.

5. Tenaga Kerja Asing (TKA)

Tenaga Kerja Asing (TKA) dapat dipekerjakan hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.

Setiap pemberi kerja wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan TKA.

6. Sanksi

UU Cipta Kerja menghapus Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan, yang mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan.

Apabila persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Jika dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi.

Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang.

Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya.

7. Waktu Kerja

Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) UU Cipta Kerja masih dikecualikan untuk sektor tertentu. Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP).

Menurut Amnesty Internasional, peraturan ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu. Alasannya, mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.

-----------

Artikel ini berdasarkan draf UU Cipta Kerja bertanggal 5 Oktober 2020, yang setebal 905 halaman dan beredar di publik. Dokumen UU aslinya belum ada. DPR maupun pemerintah Joko Widodo belum mempublikasikan dokumen final, sekalipun UU ini sudah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Agung DH