tirto.id - Belum merasa keren kalau belum memakai BlackBerry alias BB. Itu dulu, sekitar 2008 hingga 2012. Semua orang langsung memburu ponsel pintar besutan Research in Motion(RIM) itu. Penjualannya pun terus meningkat. Pada 2008, sebanyak 12 juta unit BB terjual di Indonesia atau mewakili 35 persen pangsa pasar. BB hanya bersaing ketat dengan Nokia yang ketika berhasil menjual 10 juta unit smartphone.
Pada 2012, BB menguasai 40 persen pangsa pasar di Indonesia. Setiap kuartal, 600.000 unit BB terjual. Saking banyaknya orang yang memakai BB, Indonesia pernah mendapat julukan sebagai BlackBerry Nation atau negaranya smartphone asal kanada tersebut.
Masa itu merupakan puncak kinerja BlackBerry di dunia. Tahun 2011 tercatat sebagai masa emas Blackberry, dengan pendapatan secara global. mencapai 19,907 miliar dolar. Perolehan itu merupakan kenaikan dari 2011 yang hanya 14,953 miliar. Memasuki 2012, pendapatan BlackBerry mulai turun menjadi 18,423 miliar seiring memanasnya persaingan smartphone dunia.
BlackBerry jelas menangguk keuntungan besar di Indonesia. Tanpa membuka pabrik di Indonesia, mereka menangguk untung besar. Jelas pemerintah Indonesia murka. Menteri Komunikasi dan Informatika ketika itu, Tifatul Sembiring bahkan mengeluarkan ultimatumnya kepada RIM jika ingin tetap beroperasi di Indonesia. Salah satu tuntutannya adalah sebanyak mungkin menggunakan konten lokal Indonesia, khususnya software. Hingga Tifatul diganti, RIM tak pernah merealisasikan tuntutan tersebut.
Tahun berlalu, Indonesia masih saja menjadi penonton bisnis smartphone. Hingga 2013, 100 persen ponsel yang masuk ke Indonesia berasal dari impor. Ini tentu saja sangat merugikan karena tidak ada keterlibatan industri yang bisa menggerakkan ekonomi.
Akhirnya, pada 2013, keluar Permendag Nomor 38 tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Telepon Seluler, Kumputer Genggam (Handheld), dan Komputer Tablet. Aturan ini bertujuan meningkatkan investasi dan menumbuhkembangkan industri ponsel, komputer genggam, dan komputer tablet dalam negeri. Sesuai aturan itu, para importir terdaftar (IT) wajib menanamkan investasi dalam bentuk apapun di Indonesia, termasuk merakit ponsel.
Marak Investasi
Upaya pemerintah memaksa vendor menambah untuk membangun pabrik di Indonesia membuahkan hasil. Pada 2015, sudah berdiri 17 industri manufaktur untuk merakit 25 merek ponsel dari luar negeri. Samsung salah satunya. Vendor asal Korea Selatan itu sudah mendirikan lini produksi perakitan ponsel di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, yang diresmikan pada Juni 2015. Lini produksi ini memanfaatkan pabrik elektronika mereka yang sudah ada di Indonesia seperti TV LCD.
Investasinya sebesar 23 juta dolar AS. Pabrik telepon seluler seluas 6.000 meter persegi ini menyerap 927 orang tenaga kerja. Kapasitas produksi dari pabrik perakitan telepon seluler Samsung tersebut mencapai 1–1,5 juta unit per bulan.
Selain Samsung, Axioo dan OPPO juga melakukan hal yang sama. Axioo juga berinvestasi sebesar 10 juta - 15 juta dolar AS untuk memproduksi handphone dan tablet di Indonesia pada November 2013. Sementara itu, Oppo berinvestasi sebesar 30 juta dolar AS untuk pabrik perakitan ponsel di Tangerang, Banten pada Desember 2014.
Secara keseluruhan, total nilai investasi pabrik perakitan ponsel di Indonesia mencapai US$ 300 juta atau sekitar Rp3,9 triliun pada periode itu.
Pemerintah pun optimistis jika para vendor akan menggelontorkan semakin banyak uang untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintah kemudian juga mengeluarkan aturan TKDN untuk ponsel 4G. Aturan ini bertujuan untuk menaikkan kandungan lokal ponsel 4G yang kini sedang membanjiri pasar Indonesia. Harapannya sama, untuk meningkatkan investasi di Indonesia.
Gonta-ganti Skema
Sayangnya, gairah investasi tersebut sempat terganggu oleh keluarnya aturan baru tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nomor 27/2015 tentang Batasan Persentase TKDN bagi Perangkat 4G LTE dan Spesifikasi Teknis Pengujian Perangkat Telekomunikasi berbasis 4G/LTE.
Peraturan itu secara tegas mewajibkan TKDN untuk ponsel 4G adalah 20 persen pada tahun 2016 dan 30 persen untuk tahun 2017.
Samsung misalnya, menilai perhitungan TKDN smartphone 4G tidak adil. Vice President Samsung Electronics Indonesia Lee Kang Hyun bersama Jaehoon Kwoon, Presiden PT Samsung Electronics Indonesia yang baru, menyampaikan hal tersebut usai bertemu Menteri Perindustrian Saleh Husin di Jakarta, Rabu (30/3/2016).
"Sebenarnya Samsung tidak setuju dengan lima opsi perhitungan TKDN ponsel pintar, apalagi bisa 100 persen hitungannya dari software (perangkat lunak)," kata Lee, seperti dikutip dari Antara.
Menurut Lee, memenuhi TKDN software dinilai lebih mudah dibandingkan memenuhi TKDN hardware (perangkat keras) pada smartphone 4G, karena membutuhkan nilai investasi yang jauh lebih rendah.
Pemerintah akhirnya mengalah dan skema TKDN akhirnya diciutkan menjadi dua yakni 100 persen hardware atau 100 persen software, untuk kewajiban 20-30 persen TKDN. Pemerintah tentu tidak mau jika upayanya untuk menggairahkan industri lokal justru menjadi bumerang dengan hilangnya investasi.
I Gusti Putu Suryawirawan, Dirjen Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika, Kementerian Perindustrian menegaskan, target pemerintah memberlakukan TKDN adalah mendongkrak investasi sekaligus membuka lapangan pekerjaan baru.
“Tujuan kami supaya ada investasi masuk ke Indonesia dan membuka lapangan pekerjaan,” kata Suryawiriawan kepada tirto.id, pada Selasa (7/6/2016).
Beberapa vendor besar seperti Apple, Sony dan BlackBerry pun diharapkan segera menyusul untuk menambah nilai investasi itu.
“Kami optimistis, investasi ini akan lebih baik. Kita sudah sepakat 30% TKDN mulai 1 Januari 2017, tidak akan berubah. Vendor juga sudah oke, soal skema penerapan 30% juga sudah tidak ada masalah lagi,” tegas Putu.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Suhendra