tirto.id - Pasar smartphone di negeri ini sungguh menggiurkan. Bagaimana tidak? Berdasarkan data We Are Social, angka registrasi kartu SIM di Indonesia sudah mencapai 326,3 juta, atau lebih banyak dari total jumlah penduduk sekitar 255,5 juta jiwa. Data tersebut juga mengungkapkan, sebanyak 85 persen penduduk Indonesia memiliki ponsel, dan 43 persen memiliki smartphone. Sementara jumlah pengguna internet aktif mencapai 88,1 juta, naik 15 persen dalam setahun terakhir.
Gairah pasar ponsel di Indonesia memang tidak terbendung. Jika pada 2010 kita mengimpor sebanyak 43 juta unit dengan nilai 2 miliar dolar, maka pada 2013 meningkat menjadi 58,5 juta unit, senilai 2,68 miliar dolar.
Ponsel impor memang masih mendominasi pasar Indonesia. Hingga tahun 2013, Indonesia masih tercatat sebagai negara yang 100 persen ponselnya didatangkan dari luar negeri. Dengan fakta ini, Indonesia tidak mendapatkan keuntungan ekonomi apapun selain bea masuk ponsel. Indonesia tidak mendapatkan keuntungan dari efek domino jika ponsel diproduksi di dalam negeri. Seandainya saja ada pabrik yang dibangun di dalam negeri, pemerintah pasti mendapatkan banyak keuntungan mulai dari penyerapan tenaga kerja, pajak, hingga geliat ekonomi dari rangkaian produksi.
Sejak itu, pemerintahan berupaya untuk mengerem laju ponsel impor. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengeluarkan Permendag Nomor 38 tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Telepon Seluler, Kumputer Genggam (Handheld), dan Komputer Tablet. Tujuannya untuk meningkatkan investasi dan menumbuhkembangkan industri ponsel, komputer genggam, dan komputer tablet dalam negeri.
Sesuai aturan itu, para importir terdaftar (IT) wajib menanamkan investasi dalam bentuk apapun di Indonesia, termasuk merakit ponsel. Dengan demikian, impor ponsel 2G dan 3G semakin terkendali, dan industri lokal bergairah.
Aturan tersebut memang baru jatuh tempo pada Februari 2016. Namun, sejak keluarnya aturan tersebut, impor ponsel langsung mengalami penurunan signifikan. Pada tahun 2014, angka impor turun, menjadi 54,7 juta unit senilai 3,2 miliar dolar. Angkanya turun lagi menjadi menjadi 33 juta unit senilai 2 miliar dolar pada 2015.
Aturan TKDN
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 38 tahun 2013 bermanfaat untuk mengerem laju ponsel impor 2G dan 3G. Vendor diminta untuk bekerja sama dengan perusahaan lokal ataupun mandiri membangun pabrik di Indonesia. Kini, era sudah berubah ke 4G. Aturan baru pun kembali dikeluarkan untuk menghadang banjir ponsel impor 4G. Tujuannya tetap sama, menggairahkan industri lokal. Kali ini dengan meningkatkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Tiga kementerian saling bergandengan tangan untuk menggenjot TKDN 4G ini.
Pada 8 Juli 2015, keluarlah Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nomor 27/2015 tentang Batasan Persentase TKDN bagi Perangkat 4G LTE dan Spesifikasi Teknis Pengujian Perangkat Telekomunikasi berbasis 4G/LTE. Peraturan itu secara tegas mewajibkan TKDN untuk ponsel 4G adalah 20 persen pada tahun 2016 dan 30 persen untuk tahun 2017.
Guna mendukung Permen yang dikeluarkan Menkominfo Rudiantara, Kementerian Perindustrian juga mengeluarkan aturan sejenis yakni Permen Perindustrian Nomor 68/2015 tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan TKDN Produk Elektronika dan Telematika.
Sementara Kementerian Perdagangan juga mengeluarkan aturan yang tertuang dalam Revisi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 41/M-DAG/PER/5/2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 82/M-DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan impor telepon seluler, Komputer Genggam (handheld) dan Komputer Tablet.
Yang menarik dicermati adalah turunan dari aturan Menteri Perindustrian. Berdasarkan beleid dari Menteri Perindustrian ini, maka pada Desember 2015, keluarlah lima skema TKDN smartphone yang boleh dipilih oleh vendor. Lima skema itu yakni hardware 100 persen, 75 persen software dan 25 persen hardware, 50 persen software dan 50 persen hardware, 25 persen software dan 75 persen hardware, serta 100 persen software.
Lima skema itu ternyata membuat tak nyaman para vendor, terutama bagi mereka yang sudah terlanjur membangun pabrik di negeri ini.
Menurut Ali Soebroto, Ketua Umum Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (AIPTI), lima skema TKDN untuk ponsel 4G LTE yang diusulkan Kementerian Perindustrian justru merugikan vendor yang telah membangun pabrik. Khususnya, poin tentang pelaksanaan skema 100 persen software.
Jika diberlakukan skema hardware 0 persen dan software 100 persen, maka smartphone bisa diimpor dalam bentuk barang jadi. Lalu dengan memasukkan satu aplikasi saja, maka dianggap TKDN-nya sudah terpenuhi tanpa harus memproduksi di Indonesia.
“Nanti yang dikhawatirkan kalau yang dipilih itu 100 persen software. Kasihan nanti vendor yang sudah membangun pabrik di sini dong, itu tidak adil. Nanti kalau 100% software, bisa saja vendor punya alasan hanya memenuhi unsur software saja, tanpa membangun pabrik di sini,” kata Ali Soebroto, seperti dikutip dari Bisnis Indonesia, edisi 29 Februari 2016.
Sejatinya, aturan TKDN untuk smartphone 4G LTE menjadi 20 persen pada 2016, sudah memberatkan bagi beberapa vendor. Contohnya OnePlus yang memilih menghentikan penjualan produknya di Indonesia daripada harus membangun pabrik di Indonesia.
“Ada beberapa ketentuan untuk membangun pabrik di Indonesia, atau untuk bekerja sama dengan pabrik lokal, yang belum bisa dipenuhi oleh OnePlus,” jelas OnePlus Indonesia Community Manager Shinta Hawa Thadari seperti dikutip techinasia.
Ia mengatakan, seringnya perubahan aturan dan interpretasinya sudah merugikan OnePlus, yang merupakan perusahaan baru di Indonesia. Dengan adanya aturan TKDN ini, OnePlus 3 tidak akan dirilis di Indonesia. OnePlus sendiri sempat kesandung kasus mengoprek ponsel OnePlus X yang seharusnya 4G menjadi 3G. Tujuannya agar tidak terkena aturan 4G.
Mundurnya OnePlus harusnya tak menjadi persoalan. Menurut Peter Wijono, Ketua Pengawas AIPTI, jika masih ada vendor asing yang tidak membangun pabrik untuk memberikan nilai tambah dan membuka lapangan pekerjaan, maka pemerintah harus tegas mencabut izin vendor tersebut agar tidak lagi beroperasi di Indonesia.
Hal lain yang perlu diperhatikan pemerintah, menurut Peter, tak lain soal penjualan smartphone melalui e-commerce yang selama ini lepas dari pengawasan. Menurutnya, Kementerian Perdagangan harus menjamin semua produk ponsel yang diperdagangkan melalui e-commerce harus memenuhi persyaratan TKDN.
Lalu bagaimana sikap pemerintah? Menurut Budhi Setiyanto, Kepala Seksi Standar Infrastruktur Komunikasi dan Radio, Direktorat Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika, terdapat 25 merk smartphone yang sudah mengantongi sertifikat TKDN 4G. Di antaranya Acer, Asus, IVO, Hisense, Advan, Evercross, Andromax, Infinix, Haier, OPPO, Polytron, Samsung, Venera, Huawei dan merk lainnya.
“Justru merek terkenal seperti Sony, BlackBerry dan Apple yang belum mengantongi sertifikat TKDN,” katanya kepada tirto.id, pada Selasa (7/6/2016).
Sementara menurut I Gusti Putu Suryawirawan, Dirjen Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika, Kemenperin, kesepakatan terakhir mengenai perhitungan TKDN hanya dua skema. Tiga skema lainnya dibatalkan.
“Jadi yang tadinya orang memilih lima skema, sekarang kita sepakati cuma dua skema. Satu skema hardware, satunya software. Persennya tak berubah, pada 2017 antara 20%-30%,” katanya kepada tirto.id, pada Senin (6/6/2016).
Skema TKDN memang akhirnya diubah yakni 100 persen hardware atau 100 persen software untuk kandungan TKDN. Namun, aturan yang berubah-ubah sudah menyurutkan investasi, seperti OnePlus. Mereka bingung karena aturan itu bisa saja berubah di kemudian hari, jika melihat rekam jejak selama ini.
Aturan TKDN dibuat dengan tujuan mulia yakni menggairahkan industri dalam negeri, sekaligus memerdekakan Indonesia dari penjajahan ponsel impor. Hanya saja, tujuan mulia itu harus dirancang secara matang agar tidak ada yang merasa dirugikan karena skema yang berubah-ubah.
Bagaimanapun, Indonesia merupakan pangsa pasar yang sangat besar. Jika tidak terisi dengan baik, akan memunculkan selundupan yang pada akhirnya akan merugikan pemerintah dan juga konsumen.