tirto.id - Terdakwa kasus tindak pidana terorisme Aman Abdurrahman mengatakan dirinya pernah ditawari oleh pemerintah untuk berkompromi dan divonis bebas.
Hal ini dikatakan Aman dalam pleidoi yang dibacakan dalam sidang kasus tindak pidana terorisme di ruang sidang utama Prof H. Oemar Seno Adji, PN Jakarta Selatan, Jumat (25/5/2018).
"Prof Rohan berkata, bagaimana kalau pemerintah ini menawarkan kepada Ustad untuk berkompromi dengan pemerintah. Bila Ustad Aman mau berkompromi maka langsung dibebaskan dan bila tidak mau berkompromi maka akan dipenjara akan dipenjara seumur hidup," ucap Aman.
Prof Rohan merupakan tamu yang datang menemui Aman pada tanggal 21 Desember 2017 di sel isolasi Brimob Kelapa Dua. Prof Rohan berasal dari Sri Lanka yang bekerja untuk negara Singapura.
"Dia [Prof Rohan] bekerja untuk negara Singapura dan bekerja sama dengan Pemerintah RI dalam bidang pengkajian gerakan Islam" ucap Aman.
Prof Rohan datang bersama penerjemah dan beberapa perwira pertama dan menengah Densus 88. Prof Rohan mewawancarai Aman sejak pukul 10.30 WIB-17.15 WIB perihal tauhid, syirik hukum dari demokrasi, status pemerintah-pemerintah yang ada, perihal khilafah Islamiyah dan hijrah dan hal-hal yang berkaitan.
"Saya jelaskan dengan apa yang saya pegang selama ini," ucap Aman.
Kemudian pada Jumat, (22/12/2017) Prof Rohan dan rombongan kembali datang disertai tim videografer. Aman kembali diwawancarai dari pukul 10.30 WIB-11.30 WIB sambil direkam dengan kamera video.
"Diwawancarai perihal buku-buku dan rekaman-rekaman kajian yang disebarkan selama di penjara dan di luar penjara dan perihal lainnya," ucap Aman.
Usai wawancara, Prof Rohan meninggalkan Aman dan berjanji akan kembali lagi pada pukul 13.30 WIB.
"Kemudian datang perwira akpol Densus 88 dan anggota dan penerjemah tapi Prof Rohan tidak datang. Kata perwira akpol, Prof Rohan sedang bertemu dengan seorang pejabat tinggi negara dan insyaallah sore datang ke sini," kata Aman.
Perwira itu juga sempat mengatakan kalau video yang tadi direkam akan diperlihatkan kepada Kapolri dan Aman pun mempersilahkannya. Pada pukul 17.00 WIB Prof Rohan pun datang dan memberikan 3 pertanyaan. Pertama menawarkan kepada dirinya untuk melakukan kompromi dengan iming-iming akan dibebaskan.
"Saya jawab dengan mengatakan saya tidak akan mau berkompromi dengan pemerintah ini. Saya insyaallah akan keluar dari penjara berupa mayat sebagai syahid atau keluar dalam keadaan hidup sebagai pemenang dalam prinsip ini," ujar Aman.
Kedua Aman ditawarkan untuk berjalan-jalan ke banyak museum di Indonesia untuk melihat sejarah Indonesia dan ketiga Aman diajak oleh Prof Rohan untuk makan malam di luar. Aman pun tetap menolak.
"Saya jawab saya tidak mau saya tidak akan keluar dari penjara kecuali berupa mayat sebagai syahid. Saya paham bahwa ajakan nomor 2 dan 3 adalah ranjau yang mencelakakan prinsip saya," ucap Aman.
Prof Rohan pun akhirnya pamit pulang. Aman menilai bahwa apa yang terjadi pada dirinya merupakan bukti bahwa ada nuansa politik dalam kasus yang dialaminya dan pemerintah menurutnya takut jika khilafah akan benar-benar terjadi di dunia.
"Bila saya mau berkompromi dengan pemerintah thagut ini dan menjual agama saya kepada mereka. Intinya adalah nuansa politik pemerintahan ini yang bermain dimana kecemasan semua pemerintahan negara-negara dunia terhadap khilafah Islamiyah yang mengancam singgasana mereka" ucap Aman.
Aman pun menutup pleidoinya dengan mempersilahkan kepada aparat penegak hukum untuk menjatuhkan vonis apapun kepadanya.
"Silahkan kalian bulatkan tekad untuk memvonis saya. Mau vonis seumur hidup silahkan atau eksekusi mati silahkan juga jangan ragu atau berat hati. Tidak ada sedikitpun gentar dan rasa takut dengan hukuman dhalim kalian ini," tutup Aman.
Usai pleidoi,Aman dibantu pengacaranya memberikan lampiran pleidoi miliknya kepada majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pleidoi dari Aman menjadi penutup kegiatan sidang pada hari ini. Sidang yang ditutup tepat pada jam 11.00 WIB dan akan dilanjutkan pada Rabu, (30/5/2018) dengan agenda tanggapan jaksa terhadap pleidoi tersebut.
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Yantina Debora