tirto.id - Pilkada 2024 menyisakan ironi bagi dua partai besar yang selama ini menguasai peta politik Jawa Timur, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meski kedua partai ini dominan di Pemilu 2024, hasil Pilkada Jawa Timur 2024 justru memampang kenyataan yang berbeda.
Di Pilkada Jatim, PKB mengusung kadernya sendiri, Luluk Nur Hamidah dan Lukmanul Khakim, sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Sementara itu, PDIP turut memajukan kadernya dengan mengusung Tri Rismaharini dan K.H. Zahrul Azhar Asad (Gus Han).
Dua paslon itu lantas kalah dari pasangan petahana, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak. Paslon Khofifah-Emil diusung oleh 15 partai, di antaranya Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, PSI, PPP, Nasdem, Perindo, Partai Gelora, Partai Buruh, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Garuda, dan Partai Prima.
Kekalahan ini tentu saja serupa tamparan keras bagi PKB dan PDIP.Pasalnya, PKB pada Pemilu 2024 berhasil meraih suara terbanyak di Jatim (4.517.228 suara). Hasil ini berdampak pada peningkatan jumlah kursinya di DPRD Jatim.
Lalu, PDIP juga memperoleh hasil sangat positif tepat di belakang PKB. Partai berlambang banteng itu sukses meraup 3.735.865 suara yang kemudian dikonversi menjadi 21 kursi di DPRD Jatim.
Sementara itu, seturut pemberitaan Antara, partai-partai yang kemudian mendukung Khofifah-Emil berturut-turut bercokol di belakang PKB dan PDIP. Partai Gerindra meraup 3.586.052 suara dengan 21 kursi DPRD Jatim di posisi ketiga, Partai Golkar meraup 2.313.685 suara dengan 15 kursi di posisi keempat, dan Partai Demokrat meraih 1.872.353 suara dengan 11 kursi di posisi kelima.
PKB selama ini memang dikenal dengan kekuatan politiknya yang mengakar di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan PDIP dipimpin oleh tokoh-tokoh nasionalis Jatim. Meski begitu, di Pilkada Jatim 2024 ini, kedua partai harus bertekuk lutut dan mengakui kekalahan di wilayah yang selama ini menjadi “benteng” mereka.
Keok di Jatim sejak 2008
Tragisnya, kegagalan PKB dan PDIP memenangi Pilkada Jatim 2024 seakakan membuka luka lama. Berdasarkan catatan Tirto, kedua partai tersebut ternyata tak pernah menang pilkada sejak 2008.
Pada 2008, PKB mengusung pasangan Achmady–Soehartono untuk Pilkada Jawa Timur. Sayang sekali, mereka tumbang di putaran pertama. PKB kembali mengalami kekalahan pada 2013 saat mengusung pasangan Khofifah–Herman.
Se
mentara itu, PDIP yang mengusung pasangan Sutjipto–Ridwan Hisjam juga bernasib sama dengan PKB: kalah di putaran pertama Pilkada Jatim 2008. Impian PDIP menempatkan kadernya sebagai pemimpin Jatim kembali kandas setelah pasangan yang mereka usung Bambang DH–Said Abdullah kalah di Pilkada 2013.Kemudian, pada Pilkada Jatim 2018, PKB dan PDIP bersatu mengusung pasangan Syaifullah Yusuf (Gus Ipul)–Puti Guntur Sukarno. Namun, keduanya tumbang dari pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elistianto Dardak.
"Sayangnya, memang dengan menghadapi Khofifah, secara personal-institusionalnya kurang solid. PDIP-nya maupun PKB-nya. Harusnya, mereka bergabung karena yang dihadapi koalisi besar. Harusnya mereka bersama. Pertama saja mereka kalah di 2018, apalagi berpisah di [2024]. Jadi, secara institusional bermasalah di situ," ujar analis politik dari Trias Politika, Agung Baskoro, kepada Tirto, Senin (9/12/2024).
Selain itu, Agung menilai bahwa kekalahan PKB dan PDIP di Pilkada Jatim 2024 tidak terlepas dari strategi elektoral partai. Menurutnya, seluruh partai pendukung Khofifah-Emil all out menurunkan personelnya.Baik simpatisan maupun relawan, mereka turun gunung bersama demi memenangkan pasangan petahana tersebut.
Hal sebaliknya justru terdi di di PKB dan PDIP. Terlepas dari kondisi bahwa mereka melawan koalisi raksasa, kerja-kerja tim pemenangan PKB dan PDIP terlihat tidak maksimal.
"Bu Risma, kan, tampaknya Ibu Risma-nya aja. Apalagi Ibu Luluk, kelihatan Ibu Luluk-nya aja. Wakilnya juga gak maksimal. Kalau Ibu Khofifah ini, maksimal semua. Khofifah-nya oke, Emil-nya juga oke. King maker-nya apalagi. [Ada] Pak Jokowi, Pak Prabowo, belum lagi eks gubernur yang lain," jelas Agung.
Faktor Ketokohan Kunci Kemenangan
Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, menilai bahwa kekalahan PKB dan PDIP ini disebabkan oleh banyak faktor. Faktor pertama yang menurutnya krusial adalah ketokohan.
Ketokohan jelas merupakan modal penting untuk berlaga di pilkada daerah mana pun, termasuk Jatim.
Menurut Firman, Khofifah memikat secara ketokohan, meski banyak kalangan yang belum cukup puas dengan kinerjanya. Apalagi, dia sendiri sudah paham betul kondisi Jatim.
"Sehingga, dia sudah cukup tahu medan. Mungkin, ibarat GPS, dia sudah hafal itu petanya. Itu modal besar," ujar Firman saat dihubungi Tirto, Senin (9/12/2024).
Pasangan Khofifah-Emil juga dinilai sebagai sosok-sosok yang komplet. Terlebih, Khofifahadalah tokoh muslimah dari NU. Itulah sebabnya Khofifah lebih bersinar dalam pilkada kali ini, meskipun PKB juga amat kuat asosiasinya dengan NU.
"Ini pasangan yang menurut saya oke. Jadi, dia punya daya tarik yang mumpuni. Dan satu hal, memang kan masyarakat itu ketika ditanya kebanyakan memang lebih pada faktor ketokohan," kata Firman.
Di sisi lain, Firman menilai PKB menjalani laga Pilkada 2024 seolah sedang mengecek kekuatan basisnya di Jatim. Terlebih, elite PKB sejak awal memang menyatakan bahwa motivasinya bukan buat menang, tapi melihat eksistensi partai di masyarakat Jatim.
"Kalau PDIP, udah segmented ya. Memang Risma di daerah Surabaya ya eksisnya. Jadi, basis-basis PDIP [di Jatim] itu tidak sebanyak di Jawa Tengah dari tahun 1955 ya," imbuhnya.
Agung Baskoro mengamini bahwa Pilkada 2024, termasuk di Jatim, merupakan medan ketokohan para figur politik. Sayangnya, baik pasangan yang dijagokan oleh PKB maupun PDIP kurang di “orkestrasi”. Apalagi, kedua paslon dari partai tersebut diumumkan jelang akhir masa pendaftaran calon.
"Jadi, yang pertama secara personal memang ada problem soal magnet figure. Dan kita tahu bahwa ini kan yang dihadapi oleh lawan-lawan Ibu Khofifah, KIM Plus ya. Koalisi besar nasional," kata Agung.
Artinya, kata Agung,basis politik PKB dan PDIP tidak cukup di Jatim. PKB jelas tidak bisa sekadar mengandalkan asosiasinya dengan NU karena suara warga NU pada akhirnya bisa dipecah.
"Jadi, NU di sini tidak bisa diterjemahkan tunggal hanya mengalir ke satu paslon, dua paslon. Tapi, semua paslon dapat berkah ke NU-an tadi," imbuh Agung.
Lantaran tak cukup sekadar memanfaatkan NU sebagai basis, PKB mestinya memperluas ceruk suaranya. Misalnya, dengan menarik perhatian Gen Z dan Milenial. Kemudian, berupaya menarik hati kaum petani, nelayan, dan ibu rumah tangga yang merupakan basis pemilih mayoritas di Jatim.
"Harus ada inovasinya. Jadi, tidak bisa hanya mengandalkan dia NU, dia Muhammadiyah, atau dia muslim yang satunya nonmuslim. Harus semua sosio-demografi itu dioptimalkan basis-basisnya," pungkas Agung.
Sementara itu, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, mengaku tak masalah dengan kekalahan Luluk Nur Hamidah di Pilkada Jatim 2024. Hal itu disampaikan Muhaimin saat menghadiri Musyawarah Nasional V Perempuan Bangsa di Jakarta Pusat, Sabtu (30/11/2024) malam.
"Meskipun tidak terpilih [sebagai Gubernur Jatim], seluruh dunia sudah mengenal nama Bu Luluk Nur Hamidah. Kalau ada pilkada kabupaten, tanpa biaya, menang sudah," tuturnya, dikutip Kompas.com.
Tirto sudah berupaya meminta konfirmasi terkait kekalahan paslon PDIP di Pilkada Jatim kepada Juru Bicara PDIP, Chico Hakim. Namun, hingga berita ini dirilis, Chico belum merespon pertanyaan yang disampaikan Tirto.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi