tirto.id - Di pantai berpasir putih yang bertemu laut jernih warna toska di bawah cuaca terik tropis, puluhan kalau bukan ratusan laki-laki beringas nan lusuh sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sebagian sekadar leyeh-leyeh, mungkin karena bokek dan karenanya menanti-nanti kapten atau kru suatu kapal merekrut mereka agar kembali mendapatkan pemasukan. Lebih banyak lagi yang menghabiskan waktu di kedai minum atau rumah bordil, melepaskan berahi yang lama tertahan usai berhari-hari atau berminggu-minggu hidup di lautan.
Hanya segelintir yang tak sama lusuhnya, malahan berpakaian rada modis untuk standar abad ke-17 dan 18. Lelaki macam ini mungkin disibukkan aktivitas senang-senang serupa, kalau bukan bisnis. Mereka bersua dengan satu sama lain, yang bisa jadi tampak sama mencoloknya, membuat kesepakatan dan perencanaan--urusan khusus antarkapten dan para awak bajak laut terpercaya.
Gambaran itu jamak ditampilkan dalam kisah romantisasi para perompak semacam Black Sails. Sangat mungkin pula memang bisa ditemukan di berbagai penjuru dunia terutama di sekitar titik-titik lautan terpanas masa itu, yang disebut sebagai Zaman Keemasan Perompakan, baik di Afrika hingga utara Amerika, dari pulau di Samudra Hindia sampai gugusan pulau di Karibia.
Beberapa pulau atau kota disinyalir pernah menjadi "pirate utopia", di mana hukum dan pemerintahan absen sepenuhnya. Para perompak serta pelacurlah yang berkuasa.
Madagaskar, misalnya, sempat jadi semacam basis bagi para garong lautan, menjadi titik tolak sebelum melakukan serangan di Samudera Hindia. Pulau besar di timur Afrika ini jadi saksi kala "Raja Bajak Laut" Henry Every membangun aliansi dengan kapten lain untuk melancarkan salah satu perompakan terbesar dalam sejarah.
Tempat macam ini lebih jamak lagi ditemukan di Karibia. Pulau Tortuga di Haiti ditampilkan dengan imaji sarang perompak dalam waralaba populer Disney, Pirates of the Caribbean. Sedangkan Port Royal di Jamaika sejak 1660-an memperoleh reputasi sebagai "Sodom Dunia Baru", mengacu pada Sodom yang dihancurkan Tuhan. Berkat pengaruh Henry Morgan (lebih populer dengan sebutan Captain Morgan) yang menjabat deputi gubernur, kota pelabuhan ini menjadi tempat singgah favorit para privateer atau bajak laut berlisensi.
Satu titik lain di sudut Kepulauan Bahama mencuat sebagai episentrum para kriminal. Kota Nassau di Pulau New Providence mulai ramai ditempati para perompak sejak Henry Every--orang pertama yang menjadi subjek perburuan orang atau manhunt--tiba di sana pada 1696 dan menyogok pemerintah setempat untuk tidak melaporkan keberadaannya pada kerajaan.
Nassau sempat terbengkalai sebelum akhirnya para perompak generasi berikutnya, yang terinspirasi kisah "Raja Bajak Laut", tiba di tempat itu dan menjadikannya markas sampai mendirikan Republik Bajak Laut.
Negara Demokratis Para Perompak
Ketika kata "republik" dihadirkan, ia tentu tidak melulu berarti negara yang berdaulat dan diakui statusnya oleh negara-negara lain. Republik Bajak Laut, yang berdiri selama sekitar sebelas tahun dari 1706 hingga 1718, lebih menyerupai pangkalan bagi para perompak, di mana persiapan, bisnis, dan kesepakatan dilangsungkan. Di lain sisi, ia juga bisa dibilang sebagai entitas politik dengan pemimpin terpusat, konsep demokrasi (ala bajak laut), serta "konstitusi"-nya sendiri.
Pendiri Republik Bajak Laut adalah duet eks-privateer yang sebenarnya berstatus rival, Henry Jennings dan Benjamin Hornigold. Jennings menjabat komodor, sementara komandan kedua Hornigold, tak lain Edward Teach alias Blackbeard, berlaku sebagai magistrat. Republik ini disebut mengibarkan jolly roger (bendera bajak laut) bergambar tengkorak dan tulang bersilang.
Nassau dipilih lantaran posisinya strategis, mudah dijangkau dari Selat Florida dan jalur pelayarannya sibuk, dipenuhi dengan kapal-kapal Eropa yang melintasi Atlantik. Pelabuhan New Providence juga dapat dengan mudah menampung ratusan kapal, tapi pula terlalu dangkal untuk kapal-kapal Royal Navy (Angkatan Laut Kerajaan Inggris) yang lebih besar. Lantaran tiadanya benteng dan resimen Inggris yang ditempatkan di sana, Nassau pun menjadi area terbaik untuk beristirahat sembari menanti kapal sasaran melintas.
Dalam tujuh tahun pertama, para penghuninya masih berstatus privateer. Berakhirnya The War of the Spanish Succession pada 1714 menghilangkan legalitas privateer untuk menyerang kapal lain. Sebagian besar dari mereka lantas beralih status menjadi perompak dan memicu periode ketiga Zaman Keeemasan Perompakan.
Ada lebih dari 1.000 perompak di Nassau pada waktu itu, jauh melampaui populasi penduduk kota yang hanya mencapai seratusan. Banyak bajak laut tadinya adalah prajurit pengangguran atau mantan pelaut yang tak puas akan kondisi kerja di kapal-kapal sebelumnya. Sebagian perompak juga adalah orang-orang Jacobite yang berniat memulihkan garis monarki Stuart yang baru saja digulingkan di Inggris. Beberapa sumber bahkan menyebutkan Nassau menampung para pelacur dalam jumlah yang setara dengan para perompak.
Praktis, tanpa diniatkan sekalipun, kota ini sudah menjadi markas alami bagi para perompak.
Karena semua yang terjadi, tidak heran jika perekonomian Nassau pun menggeliat, setidaknya untuk urusan minuman keras di kedai-kedai, tempat favorit nomor dua bagi para perompak sehabis rumah bordil.
Republik Bajak Laut dijalankan dengan Code of Conduct, mirip seperti Pirate Code yang diterapkan perompak macam Bartholomew Roberts. Menurut peraturan tersebut, para perompak menjalankan kapal dengan aturan-aturan pelayaran yang demokratis. Misalnya, selain kapten, mereka berbagi porsi jarahan yang setara. Diatur pula bahwa kapten bisa digulingkan kapan saja selama memang dikehendaki para awak, yang dibuktikan lewat pemungutan suara.
Lebih lanjut, orang Afrika dan Irlandia dikatakan bisa menjadi anggota kru yang setara (mengingat kebanyakan awak berasal dari Kerajaan Britania). Orang-orang keturunan Afrika atau Eropa daratan seperti Olivier Levasseur pun bisa menjadi kapten.
Code of Conduct Republik Bajak Laut bahkan lebih maju ketimbang Pirate Code Bartholomew Roberts dalam hal kesetaraan gender. Banyak kapten yang masih percaya perempuan adalah pembawa sial, dan karenanya melarang mereka ada di kapal. Itu tertera jelas dalam Pirate Code-nya Bartholomew Roberts. Di sisi lain, salah satu kapten yang tergabung dalam Republik Bajak Laut, Calico Jack Rackham, justru tercatat memiliki dua kru perempuan, Anne Bonny dan Mary Read.
"Banyak dari cita-cita libertarian ini dimotivasi oleh tirani yang dialami banyak pelaut saat bekerja untuk pedagang atau Angkatan Laut Kerajaan," demikian situs Golden Age of Piracy menjelaskan mengapa semua ini dapat terjadi.
Atas dasar itu semua, Republik Bajak Laut kerap dinilai jauh lebih demokratis dan egaliter ketimbang kebanyakan masyarakat sipil pada masanya.
Masa Kejayaan
Motor utama Republik adalah The Flying Gang, sebuah kolektif beranggotakan para kapten perompak dan awak yang kesohor seperti Calico Jack, Charles Vane, dan Blackbeard. Mereka berhasil menjadikan Nassau sebagai pangkalan permanen bagi para perompak pada 1715. Ketika itu perompak mulai jorjoran membangun kota berkat hasil jarahan kru bajak laut Jennings dari armada harta karun Spanyol yang karam di pesisir Florida pada tahun yang sama.
Dalam buku The Republic of Pirates: Being the True and Surprising Story of the Caribbean Pirates and the Man Who Brought Them Down, Colin Woodard menulis bahwa pada masa kejayaannya, geng bajak laut Bahama berhasil memisahkan Inggris, Prancis, dan Spanyol dari kerajaan Dunia Baru mereka, memutus jalur perdagangan, menghambat pasokan budak ke perkebunan gula Amerika dan Hindia Barat, juga mengganggu arus informasi antar benua.
Pada 1717, para perompak menjadi sedemikian kuat sehingga mereka tak hanya mengancam kapal-kapal yang melintas, tapi juga seluruh koloni Eropa di Amerika. Para bangsat lautan menduduki pos-pos Inggris di Kepulauan Leeward, mengancam akan menyerang Bermuda, dan berulang kali memblokade South Carolina. Sebagian dari mereka sukses mengumpulkan kekayaan yang cukup untuk membeli kesetiaan para pedagang, pemilik perkebunan, bahkan para gubernur kolonial itu sendiri.
Namun operasi mereka membajak kapal-kapal berbendera negeri-negeri kolonial bagai pisau bermata dua. Di satu sisi memang memperkaya diri serta melambungkan nama ke seantero lautan dan daratan, tapi di sisi lain memperbesar ancaman. Kepala mereka diganjar bayaran tinggi.
Kapten Hornigold sebenarnya sudah mengantisipasi hal itu dengan tidak menyerang kapal-kapal dari Inggris. Namun sikap ini justru dianggap sebagai kelemahan dan memicu pemberontakan. Para awaknya lantas melakukan pemilihan ulang kapten. Mereka mendepak Hornigold dan mengangkat Samuel Bellamy sebagai pemimpin.
Kekhawatiran Hornigold terbukti. Begitu kepentingan komersial mereka mulai terancam, kekuatan kolonial berhenti mengabaikan Republik Bajak Laut. kerajaan Inggris paham betul bagaimana menangani persoalan macam ini, dan kelak menjadi pihak yang sepenuhnya mengakhiri keberadaan republik ini.
Editor: Rio Apinino