tirto.id - Namanya Robert Earl Freeberg. Sejumlah orang Indonesia mengenalnya sebagai Bobby Freeberg alias Bob. Sebelum membantu Indonesia di masa revolusi, Bob pernah bekerja di Commercial Air Lines Incorporated (CALI)--sebuah maskapai penerbangan di Filipina. Dia bekerja sebagai pilot pesawat angkut Dakota C-47.
Sebelumnya lagi, yakni saat Perang Dunia II, Bob pernah menerbangkan pesawat B-24 Liberator versi Angkatan Laut Privateer. Sebelum ikut RI, dia bolak-balik Yogyakarta-Filipina, hingga muncul tekadnya untuk membantu negara RI yang masih bayi.
Suatu hari pada bulan Juni 1947, tersiar kabar ada pesawat bomber Belanda mendarat darurat di Tasikmalaya. Namun esoknya kabar itu diralat, ternyata bukan bomber melainkan Dakota dan si pilot mengaku kenal dengan seseorang bernama Petit Moeharto--anggota TNI AU yang kelak bergabung dengan Permesta.
Petit Moeharto adalah kontak penting Bob dalam membantu Republik. Bob datang di saat yang tepat. Republik sedang membutuhkan pesawat angkut untuk menjual komoditas seperti vanili dan kina ke luar negeri, yang hasilnya dijadikan dana perjuangan.
“Untunglah ada Bob Freeberg. Seorang Petualang berkebangsaan Amerika [Serikat], veteran Perang Dunia II, sedang mencari rezeki perang,” tulis Boedihardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi (2005:34).
Setelah tiba di Yogyakarta, Bob mendapat pekerjaan mengantarkan 11 peti vanili dan 29 peti kina ke Manila, sementara Petit Moeharto dan Boedihardjo sebagai penanggungjawabnya. Di Yogyakarta pula pesawat Bob diberi nomor registrasi RI-002. Meski sempat mendapat masalah karena ulah perwakilan Belanda, Petit Moeharto dan Boedihardjo disambut hangat di Filipina.
Dari Manila pesawat Bob kembali lagi ke Yogyakarta. Dalam perjalanan kembali kali ini turut serta Kapten Ignacio Espina alias Igning, yang akan melatih pemuda Indonesia soal perang gerilya. Selama di Indonesia, Igning ditemani oleh Deddy Moeharto dan George Ruenekker. Deddy--yang punya hubungan saudara dengan Petit dan George sebagai sesama Indo-Jawa--adalah desertir dari ketentaraan Belanda. Sebuah tragedi menewaskan Igning dan Deddy.
Menurut Petit Moeharto dalam Matra edisi Oktober 1989, RI-002 terlibat dengan apa yang disebut ”serentetan penerbangan gelap”. Di antaranya adalah menerjunkan pasukan payung, menerobos blokade musuh, menyelundupkan senjata dan "barang-barang haram lainnya", serta mengangkut pejabat VI Republik. Bob dengan RI-002 juga pernah mengantar Presiden Sukarno ke Sumatra dan sejumlah daerah lainnya.
“Ini semua tentu saja demi revolusi RI,” kata Petit.
Pesawat angkut itu adalah sasaran empuk bagi pesawat pemburu Belanda. Artinya, serangkaian penerbangan gelap yang dilakoni Bob adalah penerbangan yang sangat berbahaya.
"Langkahi Dulu Mayat Saya"
Pada 17 Oktober 1947, Bob dan RI-002 mendapat tugas penting untuk pasukan pasukan payung RI untuk diterjunkan di Kalimantan. Dalam buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2008:117) disebutkan bahwa pesawat tersebut berangkat sekitar pukul 02.30 WIB. Tjilik Riwut bertugas sebagai penunjuk titik penerjunan, sementara Amir Hamzah sebagai jumpmaster. Pesawat kembali dengan selamat. Esoknya, RI-002 dan Bob kerja lagi.
“Pada tanggal 18 Oktober 1947, RI-002 dengan awak: Bob, Petit, dan saya (Boedihardjo), pergi ke Manila lagi. Para penumpangnya antara lain: Sersan Udara Mulyono dan Dhomber dari PHB AURI. Juga 6 kadet AURI yang direncanakan bakal dididik menjadi penerbang,” kata Boedihardjo.
Para kadet itu adalah Suharno Harbini, Mulyono, Suhodo, Sunarjo, Bambang Septoadji, dan Suhardjo Sigit. Boediardjo menambahkan, pesawat mendarat di Labuhan untuk mengisi bahan bakar. Daerah itu di bawah otoritas Inggris, dan konsul Belanda di sana meminta agar penguasa Inggris menahan para penumpang RI-002.
”Silakan, asal melangkahi dulu mayat saya,” kata Bob lantang.
Pesawat pun melanjutkan penerbangan ke Manila. Namun, sesampainya di Filipina kadet-kadet AURI ditahan lagi atas kemauan pihak berwenang Belanda, dan lagi-lagi berhasil dibebaskan. Menurut Petit Moeharto, di Filipina konsul Belanda menyewa pengacara yaitu De Witt, Parkinson, dan Ponce Enrile. Sementara Indonesia sering dibantu seorang senator berdarah Moro yang bernama Salipada Pejaten.
Rakyat Filipina bisa disebut termasuk yang peduli dengan perjuangan Indonesia. Setidaknya dengan membeli vanili dan kina yang dibawa Moeharto dan Boediardjo. Dan Bob dalam beberapa penerbangan awalnya di Indonesia kerap dibantu dua juru mesin dari Filipina.
Bob memang pilot bayaran. Seperti tentara bayaran, dia siap mati demi pihak yang mempekerjakannya. Dan dia adalah seorang pemberani yang dapat diandalkan.
“Bobby tak pernah mengeluh. Misalnya, karena cuaca buruk atau karena muatan penumpang dan barang melebihi kapasitas. Bahkan soal bensin berkualitas cuma 91 oktan yang kami pakai, baginya cukup buat tinggal landas,” ungkap Petit.
Kepada orang-orang yang kurang beres mengurus pesawatnya, Bob pun tidak pernah marah. Dia memang pendiam, kecuali jika sedang mabuk wiski.
Bob tewas pada awal Oktober 1948. Setelah singgah di Banten, pesawat RI-002 jatuh di sekitar Sumatra Selatan. Sejumlah pihak menduga pesawat Bob disikat pesawat pemburu Belanda. Selama 30 tahun Bob dan RI-002 sempat dinyatakan hilang, sebelum akhirnya kerangka RI-002 ditemukan pada 14 April 1978 di Kotabumi, Lampung. Rangka korban tak diikenali lagi lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjungkarang, Lampung.
Editor: Irfan Teguh