tirto.id - Pada 27 Januari 1953, tepat hari ini 68 tahun lalu, Presiden Sukarno berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan. Dengan gayanya yang khas dan berkobar-kobar, ia menyatakan:
“Negara yang kita inginkan adalah negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia. Jika kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang penduduknya bukan Islam, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kei, dan Sulawesi, akan memisahkan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi wilayah Indonesia, tidak akan mau menjadi bagian dari Republik.”
Ketika Sukarno menyampaikan pidato itu, pertentangan politik antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis netral agama sedang meruncing. Pemilihan umum memang belum diselenggarakan, tapi persaingan dua kelompok besar itu sudah mewujud sepenuhnya dalam ranah politik. Delapan tahun sebelumnya, kelompok Islam mesti "mengalah" karena aspirasi mereka tentang formalisasi syariat gagal disahkan.
Di saat yang sama juga timbul pertentangan terselubung, setidaknya persaingan, di antara partai-partai Islam itu sendiri. Tapi beberapa minggu menjelang pemilihan umum, pada Juli 1955, empat partai Islam terpenting, yaitu Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) kelihatannya telah bersepakat untuk menunda serangan satu sama lain sampai pemilu selesai. PKI membuat persetujuan serupa dengan PSII pada April 1955, mungkin untuk mencegah dirinya dipandang sebagai anti-agama. Herbert Feith dalam karya klasiknya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962: 233), menyimpulkan bahwa “Perdebatan besar terjadi antara PNI dan Masyumi” sedangkan “Partai Komunis dari suatu segi merupakan pihak utama ketiga.”
Sementara menurut Bernard Johan Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1971: 50), “perdebatan besar” ini sering disederhanakan publik menjadi hanya pilihan antara negara berdasar Pancasila dan negara berdasar Islam. Dalam hal ini partai-partai Islam tidak berhasil meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa pendapat mereka tidak bertentangan dengan Pancasila. Baik Masyumi maupun NU memberi kesan bahwa mereka bertujuan membentuk suatu negara Islam, apa pun artinya istilah itu.
Ketika Sukarno menyampaikan pidato di Amuntai itu, publik mulai melihat bahwa Presiden Republik Indonesia secara pribadi telah menerjunkan dirinya ke gelanggang polemik.
Klarifikasi Sukarno
Selama berbulan-bulan, pidato Amuntai 1953 menjadi buah bibir. Gara-gara pidato itu pula perpecahan antara Masyumi dan Sukarno bermula. Juru bicara terdepan Masyumi dalam polemik ini adalah Muhammad Isa Anshary. Politikus sekaligus ulama dari Persatuan Islam (Persis) itu menyatakan, sebagaimana dikutip Sin Po edisi 11 Maret 1953, “Pidato Presiden Sukarno itu djiwa dan semangatnja adalah tidak demokratis dan tidak konstitusionil.”
Sebenarnya apa yang dikemukakan Bung Karno dalam pidato Amuntai bukanlah hal yang sama sekali baru. Menurut sejarawan Cornelis van Dijk dalam Rebellion under the banner of Islam: the Darul Islam in Indonesia (1981: 242), Mohammad Hatta juga pernah menggunakan argumen yang sama pada Agustus 1945, saat itu dengan maksud memperoleh dukungan kalangan Islam untuk Undang-Undang Dasar 1945. Namun, keadaan politik pada 1953 sudah berbeda dibanding delapan tahun sebelumnya.
Sukarno kemudian mengemukakan keterangan dan klarifikasi atas pidato Amuntai dalam berbagai ceramah.
Tatkala Sukarno berkunjung ke Aceh pada 12 Maret 1953, di dekat lapangan Blang Bintang dia disambut sebuah poster yang bertuliskan “Pidato Presiden di Amuntai kami sesalkan”. Maka dalam rapat raksasa di Kotaraja, Sukarno memberi penjelasan dengan terlebih dahulu bertanya kepada hadirin perlu tidaknya poster tersebut diberi penjelasan. Hadirin pun menjawab: "Perlu!" Dan memang itulah yang diharapkan.
Bung Karno pun memberikan penjelasan, seperti dikutip Sajuti Melik dalam Demokrasi Pantjasila dan Perdjuangan Ideologiesnja (1953: 8), sebagai berikut: “Di Amuntai dulu Presiden menerangkan, bahwa Negara yang kita dirikan ini adalah Negara Nasional. Karenanya di dalam rapat raksasa di Kotaraja ini pun dijelaskan lagi, apa yang dinamakan Negara Nasional itu. Negara yang kita dirikan dan kita miliki sekarang serta yang masih akan kita sempurnakan lagi ini adalah Negara Nasional. Artinya negara untuk seluruh bangsa Indonesia dari seluruh bangsa Indonesia dan oleh seluruh bangsa Indonesia pula. Bahkan negara untuk kaum penjajah bukan dari kaum penjajah dan bukan pula oleh kaum penjajah.”
Penjelasan itu, menurut Sajuti Melik, membuat rakyat Aceh puas. Tapi jika ditelisik lebih lanjut, pendapat Sajuti Melik bisa jadi kurang jeli. Hanya enam bulan setelah itu, pada 21 September 1953, Teungku Mohammad Daud Beureueh, ulama masyhur Aceh, memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) untuk daerah Aceh dan sekitarnya sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia buatan S.M. Kartosoewirjo. Menurut Fachry Ali, berdasarkan hasil wawancara dengan Hasan Aly, bekas Perdana Menteri Darul Islam Aceh, salah satu faktor penyebab Beureueh "memberontak" adalah pidato Sukarno di Amuntai.
"Pidato klarifikasi" lain yang terkenal adalah ceramah Sukarno dalam kuliah umum di Universitas Indonesia pada 7 Mei 1953. Bagi Herbert Feith, ceramah ini merupakan “jawaban” terhadap pelbagai reaksi atas pidato Amuntai (hlm. 282). Dalam kuliah umum yang diberi judul “Negara Nasional dan Tjita2 Islam” itu, Sukarno menyinggung geger politik yang terjadi adalah “gara-gara Amuntai”.
"Sudah barang tentu satu orang jang duduk disini atau berdiri disini jang tidak mengetahui akan 'gara2 Amuntai'. Bukan saja maksudkan dengan perkataan 'gara2' itu ribut2-an, sama sekali tidak. Tetapi terbangunnja minat mengenai soal jang didalam tjeramah ini hendak saja kupas, jaitu soal mengenai negara nasional dan Tjita2 Islam. Sebenarnja telah lama diminta kepada ku untuk memberi pendjelasan sekadarnja tentang pidato saja di Amuntai itu dan pendjelasan itupun buat sebagian telah saja berikan tatkala saja berdiri dihadapan chalayak ramai di Kotaradja beberapa bulan jang lalu, dihadapan puluhan ribu rakjat jang buat sebagian jang terbesar berdiri dari orang2 jang beragama Islam," kata Sukrano.
Sukarno dalam pidatonya ini menyebutkan tentang “Pidato Amuntai 1953” dalam dua hal. Meskipun pada dasarnya hanya menyangkut satu pokok persoalan saja, yaitu bagaimana keberadaan cita-cita Islam dalam satu negara nasional. Pertama disebutnya:
"Dan saudara2, tatkala aku berdiri di Amuntai menghadapi pertanjaan Bung Karno, minta pendjelasan: Negara Nasionalkah atau Negara Islamkah? Pada wakktu itu aku berdiri disana sebagai Presiden Republik Indonesia, tidak sekedjap matapun aku mempunjai lubuk pikiran dibelakang kepalaku ini melarang kepada pihak Islam untuk mengandjurkan atau mempropagandakan tjita2 Islam. Sama sekali tidak. Kita mempunjai undang2 dasar jang dengan tegas berdiri diatas dasar Pantjasila, jang salah satu dari padanja ialah dasar demokrasi."
Kedua, dikemukakan pula oleh Bung Karno secara rinci tentang maksud dari “Pidato Amuntai 1953” ini sebagai berikut:
"Djadi tatkala aku berdiri di Amuntai, berhadapan dengan chalajak ramai, warga-negara2 Indonesia dan mereka tanjakan kepadaku: Ini Negara demikianlah anggapanku, Negara ini, entah Negara Nasionalkah atau Negara Islamkah? Aku sebagai Presiden jang terikat kepada sumpah: melindungi, mendjaga, mendjungdjung tinggi konstitusi, aku mendjawab, djuga dengan tegas: Negara ini, Negara sekarang ini, adalah Negara Nasional. Sebab tegas pula didalam Preambule (Mukaddimah) dari pada konstitusi itu, baik konstitusi Negara R.I.S. apa pula Negara R.I. jang dulu, tetapi djuga didalam konstitusi, Undang2 Dasar Sementara Negara Kesatuan sekarang ini adalah Negara Nasional, aku tidak mengurangi sedikitpun haknja tiap2 warga negara untuk mempunjai faham sendiri untuk mempropagandakan paham2nja itu sendiri. Orang Islam, kataku di Amuntai, mempunjai hak penuh untuk mempropagandakan tjita2nja, sebagaimanapun organisasi Komunis mempunjai hak penuh untuk mempropagandakan tjita2nja.
[...]
Oleh karena itu Saudara2, djanganlah Saudara2 mengira bahwa djikalau aku berkata Negara ini adalah Negara Nasional, aku melarang engkau mempropagandakan Negara Komunis, faham komunis, ideologie komunis, atau engkau mempropagandakan faham Islam, tjita2 bahkan umpama diantara kita ini oleh satu orang jang bertjita2kan national-socialisme, nazidom, fascism, hak penuh untuk mempropagandakan ideologie naziisme itu. Komunis mempunjai hak penuh untuk mempropagandakan ideologienja."
Demikianlah pembelaan Sukarno atas pidato di Amuntai yang masyhur itu. Isinya memang hanya pembelaan dalam bentuk penjelasan agar ide-ide yang telah dilontarkannya dapat diterima kalangan Islam. Namun masalah itu tidak selesai begitu saja karena perbincangannya masih berlanjut dalam forum-forum politik. Tapi paling tidak, dengan penjelasan tersebut, gagasan Sukarno tentang negara nasional menjadi lebih mantap untuk bersaing dengan wacana pendirian negara Islam.
==========
Muhammad Iqbal adalah sejarawan, pengajar IAIN Palangka Raya, dan editor penerbit Marjin Kiri. Baru-baru ini ia menulis buku berjudul Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953.
Editor: Ivan Aulia Ahsan