tirto.id - Pembunuhan anak oleh ibu karena tekanan mental dan ekonomi seperti kasus di Brebes beberapa waktu lalusebenarnya bukanlah fenomena baru. Mirisnya semua kasus tersebut dibingkai dalam perspektif hukum mutlak dan si ibu kemudian dilabeli sebagai pelaku kejahatan.
Publik yang melihat kasus ini di permukaan melihat si ibu tak lebih dari pelaku perbuatan melawan hukum sehingga pantas diganjar pidana. Banyak juga dari mereka mengaitkan laku “jahat” itu dengan sterotipe gender perempuan sebagai makhluk penuh welas asih, kasih sayang, dan kelembutan, terutama pada buah hatinya.
Tak banyak yang menyorot bagaimana para perempuan menanggung beban berlapis sebagai anak dari orang tuanya sekaligus istri dan ibu dari anak-anaknya, pekerja domestik, bahkan penggerak roda ekonomi keluarga. Sementara itu, laki-laki belum tentu dibebani tuntutan status berlapis macam itu.
“Biasanya di pihak ibu juga pernah mengalami kekerasan. Jadi, dia berada di lingkaran setan dan tak ada penopang sehingga merasa sendiri menghadapi semua masalah ini,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani berpendapat.
Para ibu ini dituntut sempurna oleh lingkaran sosialnya. Namun dengan kehidupan yang kompleks, mereka jarang ataubahkan tak pernah mendapat celah waktu untuk berpikir dan memanjakan diri. Maka tak perlu heran banyak perempuan jadi merasa kehilangan diri dan kehidupannya yang dulu ketika menjadi ibu. Mereka lalu menjadi lebih rentan mengalamistres dan gangguan psikologis lain.
Lembaga konsultan analitis global Gallup pernah melakukan survei terkait fenomena itu pada 2012. Dalam survei itu, Gallup mewawancarai lebih dari 60 ribu perempuan di Amerika terkait risiko gangguan mental akibat kerja pengasuhan anak di bawah 18 tahun. Gallup membagi para perempuan ini menjadi tiga kelompok: ibu rumah tangga, ibu pekerja, dan perempuan pekerja tanpa anak.
“Ibu rumah tangga yang melakukan kerja domestik penuh punya skor emosi marah, sedih, dan depresi lebih tinggi dari dua kelompok lain,” demikian tulis Gallup.
Urutan kelompok berdasar peringkat emosi tertinggi adalah ibu rumah tangga, ibu pekerja, dan perempuan pekerja tanpa anak. Kelompok ibu dengan anak di bawah 18 tahun cenderung jarang tersenyum, jarang tertawa, hanya merasakan sedikit bahagia, dan menganggap dirinya tidak berkembang.
Skor kecemasan pada ibu rumah tangga berada di 47 persen, berbanding 39 persen pada ibu pekerja, dan 37 persen pada perempuan pekerja tanpa anak. Sementara ada 54 persen ibu rumah tangga yang terdeteksi mengalami stres, berbanding 49 persen ibu pekerja, dan 48 persen perempuan pekerja tanpa anak.
Bahkan survei lain oleh Harvard Medical School dan Universitas Michigan mengatakan bahwa 10 persen perempuan dengan anak di bawah usia 18 tahun terdeteksi mengalami gangguan depresi mayor. Tim survei dari dua kampus itu juga mendapati temuan semakin kecil usia dan jumlah anak, maka peluang depresi pada ibu semakin besar.
Perempuan Miskin Paling Sengsara
Kasus kekerasan yang melibatkan ibu dan anak selayaknya tidak dilihat dari satu dimensi saja. Ia harusnya melibatkan banyak faktor turunan, terutama kemiskinan. Survei Gallup turut menyebut bahwa ibu rumah tangga dari kelompok miskin adalah yang paling menderita secara psikologis.
Bagaimana tidak, pekerjaan domestik tak punya “jam kerja” yang jelas. Jika sekadar ingin istirahat meluruskan kaki, misalnya,seorang ibu idealnya dijarakkan dari kerja pengasuhan. Namun, hal itu sering kali tak mungkin dilakukan karena mereka tak punya kemampuan ekonomi untuk mengakses pengasuh anak. Sementara itu, negara kerap abai menyediakan fasilitas pengasuhan, seperti tempat penitipan anak atau ruang menyusui.
Dalam kondisi semacam itu, perempuan tentu saja jadi kesulitan menyejahterakan dirinya sendiri.
Ironi bertambah ketika hukum Indonesia tidak melihat spektrum masalah ini. Para ibu pelaku kekerasan-pembunuhan kepada anaknya selama ini diganjar hukuman pidana, alih-alih mendapat perawatan psikis terlebih dulu. Di penjara, meski terdapat fasilitas kesehatan, kata Andy, sekadar perawatan kesehatan dasar saja.
“Hukum Indonesia tidak mengenal kerja sosial. Pola rehab pelaku secara psikologis dan hukuman sosial sangat jarang, sementara dia (ibu pelaku pembunuhan) miskin. Jadi, yang tersisa adalah penjara,” ungkapnya.
Padahal Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani Bangkok Rules. Perjanjian ini merupakan standar internasional memperlakukan pelaku dan tahanan perempuan. Dalam Bangkok Rules, terdapat poin alternatif pemenjaraan seperti kerja sosial—yang terbukti lebih efektif mengurangi kejahatan berulang.
Masalah ini makin runyam ketika di tataran penegak hukum, pedoman pemeriksaan pelaku dengan kerentanan—termasuk perempuan—hanya dimiliki oleh Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Kepolisian sebagai lini pertama pemeriksaan pada pelaku justru tak punya pedoman serupa sehingga mereka cenderung tidak sensitif terhadap konteks terjadinya kejahatan.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi