tirto.id - Kendati menjadi juara Piala Dunia 2018, tak ada taburan konfeti yang melimpah ruah untuk para pemain Karpatalya pada 9 Juni 2018 di lapangan Donkey Lane, London barat daya itu. Laga final yang baru saja mereka menangi memang bukan dihelat oleh FIFA yang memiliki infrastruktur organisasi, media, dan finansial yang memungkinkan perayaan besar-besaran.
Putaran final Piala Dunia 2018 itu, yang bernama resmi "2018 Paddy Power World Football Cup", diselenggarakan oleh CONIFA, kependekan dari Confederation of Independent Football Associations (Konfederasi Asosiasi Sepakbola Independen), bukan oleh FIFA yang sedang punya hajat caturtahunan di Rusia walaupun punya predikat “World Football Cup”. CONIFA terdaftar di Swedia sebagai organisasi berdasarkan kesukarelaan dan pengurusnya tak dibayar sesen pun.
Piala Dunia 2018 versi CONIFA yang diikuti 16 tim ini merupakan turnamen level internasional serupa ketiga setelah 2014 (dimenangi Padania) dan 2016 (dimenangi Sápmi). Karpatalya sebenarnya menggantikan Felvidek (bagian dari Slowakia) yang mengundurkan diri. Karpatalya menjadi juara lewat adu penalti dengan skor 3-2 lawan Siprus Utara setelah bermain imbang dalam masa normal yang dipimpin mantan wasit Premier League, Mark Clattenburg.
CONIFA juga telah melaksanakan turnamen tingkat Eropa, bertajuk “CONIFA European Football Cup” pada 2015 dan 2017 (keduanya dimenangi Padania).
Menaungi yang Terpinggirkan
Menurut situsweb resminya, CONIFA adalah organisasi yang memayungi tim-tim yang tidak bernaung di bawah lindungan FIFA, berupa negara, kelompok minoritas, isolated dependencies, atau kawasan budaya. Tujuan utama CONIFA adalah memberikan kesempatan bagi tim-tim sepakbola tersebut untuk memperoleh tempat di panggung global dan memajukan diri baik dari segi sepakbola maupun personal.
Per 12 Juni 2018, CONIFA memiliki 47 anggota (sementara FIFA memiliki 211 anggota). Mereka tersebar di Eropa, Asia, Oceania, Afrika, dan Amerika Utara. Kendati ada nama yang sudah cukup akrab, misalnya Monaco dan Tibet, jauh lebih banyak yang sangat asing.
Kita jarang – atau bahkan tak pernah – mendengar Délvidék, Felvidék, Karpatalya, Matabeleland, Padania, Arameans Suryoye, Szekely Land, Franconia, bahkan juga Karpatalya, sang juara Piala Dunia 2018 CONIFA.
Ada juga anggota yang bukan merupakan entitas negara, melainkan komunitas yang diikat oleh perasaan dan pengalaman senasib. Karpatalya, misalnya, adalah kelompok minoritas keturunan Hongaria yang tinggal di Carpathian Ruthenia, Ukraina. United Koreans in Japan adalah komunitas keturunan Korea yang tinggal di Jepang. Quebec adalah komunitas penutur bahasa Prancis yang tinggal di Kanada.
Dengan latar belakang anggota seperti itu, CONIFA menegaskan bahwa mereka memang punya nilai yang ingin diusung di luar lapangan, tetapi tidak bersifat politis. Mereka ingin menjembatani dunia dan mempertemukan berbagai bangsa dari seluruh dunia. CONIFA tidak menilai apakah anggotanya layak menerima kemerdekaan politis. Secara politis, CONIFA 100 persen netral.
Isu-Isu yang Sensitif
Namun, karena didasarkan pada penanda identitas yang peka semacam itu, tentu saja acara yang dihelat CONIFA sensitif bagi beberapa pihak. Tak lama setelah menjadi juara Piala Dunia 2018 versi CONIFA, Igor Zhdanov, Menteri Olahraga Ukraina, negara tempat 150.000 orang dari kelompok minoritas Karpatalya bertempat tinggal, berkomentar negatif.
Di laman Facebook miliknya, sang menteri menulis:
“Saya menyerukan kepada Dinas Keamanan Ukraina untuk merespons dengan selayaknya atas aksi separatisme olahraga yang dilakukan secara terang-terangan. Perlu dilakukan interogasi atas para pemain tim tersebut, dan menganalisis secara terperinci berbagai kegiatan perwakilan organisasi ‘Carpathian’ yang bertujuan melakukan pelanggaran atas integritas teritorial Ukraina dan pertalian dengan kelompok teroris dan separatis.”
Seruan itu dipertegas dengan pernyataan Federasi Sepakbola Ukraina (FFU). Mereka menyatakan akan mengkaji perilaku para pemain yang terdaftar dalam pangkalan data FFU dan telah serta akan berpartisipasi dalam pertandingan yang dinaungi oleh CONIFA, termasuk ajang Piala Dunia 2018 yang berlangsung sejak 31 Mei hingga 9 Juni 2018 di London.
Hasil pengkajian akan berlaku bagi para pemain tersebut, khususnya berbentuk diskualifikasi. Sehingga, mereka tidak diizinkan ikut serta dalam turnamen amatir maupun profesional yang dilangsungkan di wilayah Ukraina yang dinaungi FFU. Senada dengan sang menteri, FFU juga mendorong penegak hukum Ukraina untuk menyelidiki tindakan para pemain itu sebagai bentuk propaganda separatisme dan pelanggaran integritas teritorial dan kedaulatan Ukraina.
Menanggapi komentar negatif otoritas sepakbola Ukraina itu, CONIFA menegaskan bahwa badan organisasi ini netral secara politis. Melalui pernyataan resmi, CONIFA menegaskan pemain, administrator, dan ofisial tim sepakbola Karpatalya tidak pernah mengungkapkan sentimen atau ambisi separatis. Bendera, logo, dan seragam tim Karpatalya juga mengandung unsur-unsur Ukraina maupun Hongaria.
Sekretaris Jenderal CONIFA selanjutnya menyatakan prihatin atas seruan untuk melakukan penyelidikan atas tim Karpatalya. CONIFA juga percaya bahwa setiap orang harus dapat merepresentasikan identitasnya melalui sepakbola, dan mendesak Menteri Zhdanov dan FFU untuk mempertimbangkan lagi keputusan mereka.
Di kalangan anggota sendiri juga sempat terjadi kontroversi. Pada perhelatan 2018 ini, keturunan Siprus Yunani mengirimkan surat protes kepada dewan kota Enfield lantaran keikutsertaan Siprus Utara. Beberapa pemain Kabylia menolak ikut serta lantaran takut akan berakibat dikenai tindakan opresif oleh pemerintah Aljazair. Setelah dikalahkan Barawa, Isle of Man mengundurkan diri dari turnamen karena menuduh ada satu pemain Barawa yang telat didaftarkan.
Tetap Bergembira dalam Sepakbola
Beberapa peristiwa unik terjadi dalam perhelatan Piala Dunia 2018 versi CONIFA itu. Misalnya, para suporter Tibet memberkati para pemain Matabeleland yang menjadi lawan tanding. Suporter Matabeleland sendiri, di antaranya terdapat kiper legendaris Liverpool Bruce Grobbelaar yang sudah sepuh (60 tahun), tak henti-hentinya menari dan menyanyi.
Karena tidak berafiliasi dengan FIFA, CONIFA juga bisa membikin peraturan sendiri. Organisasi ini mengembangkan sistem kartu hijau untuk menghukum pemain yang terus-menerus mendebat wasit dan melakukan tipuan. Rene Jacobi, wasit dari Jerman, menjelaskan bahwa kartu kuning tidak berguna karena tidak berakibat langsung kepada pelaku, sehingga si pemain merasa tidak ada masalah jika terus mendebat wasit atau melakukan tipuan di kotak penalti lawan.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam penyelenggaraan, termasuk salut Nazi oleh beberapa penonton, para pemain dari keenam belas entitas yang terpinggirkan oleh FIFA itu, beserta para fansnya, tetap menikmati sepakbola. Kegembiraan besar dirasakan tim juara Karpatalya. Alex Svedjuk, salah satu pemain tim itu, mengatakan gelar itu seperti hadiah hari libur. Ia berharap, khalayak kini akan tahu bahwa ada Karpatalya dalam peta.
Presiden CONIFA, Per-Anders Blind, menyatakan Piala Dunia 2018 alternatif ini melampaui harapannya karena atmosfer yang seru dan banyak pertandingan yang penuh luapan emosi. Para anggota yang ikut serta dalam ajang itu bisa menunjukkan diri dan mengisahkan cerita mereka kepada dunia.
Editor: Zen RS