tirto.id - Stasiun TV Al Jazeera memutuskan untuk memberhentikan 500 pekerjanya. Sebagian besar adalah pekerja di markas besar mereka di Qatar. Al Jazeera kini mulai fokus pada pengembangan konten digital. Fenomena ini sebenarnya telah lama diperkirakan. Setidaknya pada November 2013 Jim Edwards melalui Business Insider memberikan laporan panjang berdasarkan analisis data rating, tentang kejatuhan TV konvensional.
Sebelumnya, pada Januari, Al Jazeera mengatakan akan menghentikan operasi kerja mereka di Amerika Serikat yang kesulitan mendapat penonton. Perusahaan itu memang kesulitan mendapatkan penonton, meski sebenarnya sudah menyajikan liputan yang menarik seperti laporan in-depth mengenai reformasi kesehatan, narkoba, dan kejahatan bersenjata di Chicago. Meski menutup jaringan kerja mereka di Amerika Serikat, Al Jazeera berencana akan mengembangkan konten digital mereka dan membuat platform baru yang disukai publik Amerika.
Apa yang dilakukan Al Jazeera bukan yang pertama dilakukan. Rogers Media perusahaan media yang berbasis di Toronto Kanada juga melakukan pemutusan hubungan kerja pada 200 orang. Restrukturisasi ini dilakukan pada divisi televisi, radio dan penerbitan. Pemberhentian ini telah dilakukan sejak Februari dan akan terus dilakukan hingga mencapai 200 orang. Andrea Goldstein dari Rogers Media menyebut industri media mengalami tekanan serius dari perubahan perilaku penonton dan kompetisi global.
Rogers Media memiliki jaringan televisi City dan Omni television, serta 50 stasiun radio dan 40 ragam varian majalah. Salah satu yang terbesar adalah channel televisi nasional Sportsnet channels. Setahun terakhir di Kanada memang telah ada gelombang pemecatan oleh perusahaan penyiaran dan media cetak. Bell Media, salah satu perusahaan media di Kanada juga merumahkan 380 pekerjanya. Channel 11 LP, perusahaan media TV di Kanada juga mengumumkan kebangkrutan pada Desember tahun lalu dan merumahkan 129 pekerja penuh dan 38 pekerja paruh waktu mereka.
Laporan dari Citi Research menyebut bahwa rating penonton TV konvensional di Amerika Serikat terus menurun sejak September 2011. Analis media Craig Moffett dan Michael Nathanson pada 2013 menyebut, TV berbayar mengalami 12 bulan terburuk dalam industri mereka. Setidaknya pada tahun itu semua stasiun TV besar kehilangan 113.000 pelanggan pada kuartal ketiga 2013 termasuk pelanggan internet mereka.
Business Insider menyebut lebih dari lima juta orang menghentikan langganan TV kabel mereka sejak 2010 sampai 2013 lalu. Tom Rutledge, CEO dari Charter Communications, menyebut bahwa 1,3 juta dari 5,5 juta pelanggan mereka hanya mau langganan internet saja tanpa TV. Laporan terbaru Bloomberg membenarkan hal ini. Stasiun TV konvensional mulai ditinggalkan dan TV streaming berbasis internet mulai diminati banyak orang, terutama anak muda.
Viceland Channel, salah satu kanal TV milik jejaring media online Vice menjadi salah satu primadona baru televisi online. Vice Media Inc, induk perusahaan mereka beberapa waktu lalu merilis enam episode tayangan mereka di Facebook, YouTube dan vice.com. Untuk penonton di kanal YouTube kanal ini telah ditonton lebih dari 166.000 kali (untuk episode Ellen Page’s “Gaycation”) dan 6,3 juta kali (untuk episode “Weediquette”).
Viceland memang menargetkan kanal televisi mereka untuk anak muda. Vice menyebut 72 persen penonton online mereka berusia 18-34 tahun, 73 persen diantaranya adalah lelaki. Sebuah angka yang segar dan agak berbeda dengan demografi jaringan TV konvensional.
Jaringan televisi konvensional jarang memberikan episode konten mereka secara gratis di media sosial. Namun, apa yang dilakukan oleh Viceland memberikan pemahaman baru tentang perilaku penonton modern. Misalnya konten unggulan TV berlangganan dari Fox semacam “Family Guy,” “Empire,” “Scream Queens” dan “Gotham,” ditonton lebih dari 1,8 juta tayangan secara online melalui kanal Hulu dan situs Fox.
Robert Kyncl, Chief business officer dari YouTube memberikan pernyataan menarik terkait pola perilaku penonton modern. Saat menjadi pembicara di acara Consumer Electronics Show di Las Vegas, Kyncl memberikan alasan bahwa video digital akan menggantikan TV konvensional. Ia memperkirakan pada akhir dekade ini orang akan lebih banyak menonton video secara online daripada melalui TV konvensional.
Meski demikian, ia punya pendapat menarik tentang konten digital dan TV konvensional. Menurutnya, yang saat ini membuat video streaming di internet menarik karena konten yang menarik. Ia mengakui memang 75 persen video di masa depan akan ditransmisikan via internet, tapi bukan berarti TV konvensional akan mati total. Mereka akan punya penonton loyal, juga konten yang tak akan bisa ditandingi oleh streaming video.
Saat ini TV konvensional memang ketar-ketir dengan keberadaan video online. Rating yang menjadi tolok ukur nilai sponsor semakin menurun. Sementara jaringan video online seperti Netflix dan YouTube semakin banyak dikunjungi penonton. Saat ini Netflix berekspansi ke 130 negara termasuk Indonesia dan mencapai 12 miliar jam penonton pada akhir tahun lalu.
Sementara YouTube sendiri memiliki 1 miliar pengunjung per bulan, kira kira 1 dari 7 orang di dunia saat ini sedang membuka YouTube. Kyncl mengatakan bahwa berdasar riset YouTube dan Nielsen rata-rata 9 persen dari mereka yang berusia 18-34 tahun menghabiskan menoton TV konvensional. Sementara 48 persen yang lain menghabiskan waktu menonton YouTube, apalagi dengan peningkatan jumlah ponsel di dunia. Rata-rata setiap orang menghabiskan 40 menit waktu mereka menonton video melalui ponsel mereka.
Di Indonesia senjakala TV konvensional mungkin masih belum terjadi. Tetapi beberapa taipan media telah berupaya masuk ke konten digital sebagai peralihan. Salah satunya Hary Tanoe, pemilik MNC, yang sudah mempersiapkan kanal me.tube untuk mempersiapkan peralihan TV konvensional. Ke depan, para pemain industri televisi harus mulai menggarap konten digital ini agar tidak ketinggalan penonton.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti