Menuju konten utama

Pesona Sakral Situs Megalitik Lebak Cibedug

Situs Megalitik Lebak Cibedug diperkirakan dibangun pada era Neolitik. Sakralitasnya terus terjaga hingga kini.

Pesona Sakral Situs Megalitik Lebak Cibedug
Header Mozaik Situs Lebak Cibeduk. tirto.id/TIno

tirto.id - Sekira 3000 tahun Sebelum Masehi, bangsa penutur bahasa Austronesia mulai bermigrasi ke Kepulauan Nusantara. Mereka datang membawa kebudayaannya yang kemudian turut mewarnai Nusantara. Salah satunya adalah budaya megalitik dan kepercayaan terhadap roh nenek moyang.

Seturut arkeolog prasejarah Soejono dalam Jaman Prasejarah di Indonesia (1993), budaya megalitik dan pemujaan terhadap roh nenek moyang saling terkait. Roh leluhur dianggap masih memengaruhi kesejahteraan masyarakat yang hidup dan pertaniannya.

Bangunan megalitik kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah dan sekaligus menjadi lambang si mati,” tulis Soejono (hlm. 205).

Salah satu contoh akan hal ini bisa kita tilik di Lebak Cibedug. Situs megalitik ini sekarang masuk dalam wilayah Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Areanya juga termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun.

Seturut Bagyo Prasetyo dalam Megalitik, Fenomena yang Berkembang di Indonesia (2015, hlm. 91), keberadaan situs Lebak Cibedug pertama kali dilaporkan oleh seorang kontrolir Belanda J.W.G. Prive pada 1896.

Laporan J.W.G. Prive tentang struktur kuno Lebak Cibedug tersebut dimuat dalam majalah Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG) edisi tahun yang sama. Situs Lebak Cibedug juga disebut dalam tulisan kepurbakalaan Van Tricht yang terbit di majalah Jawa (1929).

Lain itu, ada pula van der Hoop yang mendeskripsikan situs Lebak Cibedug sebagai salah satu tinggalan prasejarah di Sumatera Selatan dan Jawa Barat dalam Megalithic Remains in South-Sumatra (1932).

Tinggalan Era Neolitikum

Situs Lebak Cibedug merupakan situs punden berundak berdenah segi empat yang terbagi dalam beberapa tingkatan ruang atau halaman. Di beberapa terasnya kita bisa melihat formasi batu yang membentuk semacam altar dan menhir.

Kompleks situs ini berorientasi ke barat dan dibuat semakin tinggi ke arah timur. Jalan atau pintu masuknya berada di sebelah barat melalui anak tangga.

Menurut studi Agus Aris Munandar dkk. dalam Bangunan Suci Sunda Kuno (2011, hlm. 121), Situs Lebak Cibedug memiliki kesamaan tipologi dengan punden-punden berundak yang ada di Tatar Sunda.

Hal itu dicirikan dari struktur undakan yang dindingnya disusun dari batu-batu alami dan permukaan teras-terasnya juga ditutup dengan batu-batu—orang Sunda menyebutnya dibalay.

Penelitian arkeologis menunjukkan bahwa punden berundak Lebak Cibedug maupun punden berundak lain yang berada di sekitar kawasan Banten dan Jawa Barat diperkirakan dibangun pada masa Neolitik (sekira 2500-1500 SM).

Situs Megalitik Lebak Cibedug menyimpan serbaneka tinggalan prasejarah yang bervariasi, seperti menhir, batu tegak, batu datar, dan takhta batu dengan punden berundak sebagai bagian yang sakral.

Lain itu, di sekitar area situs juga tersebar beberapa tinggalan prasejarah. Di antaranya berupa sumuran, kompleks menhir di Pegunungan Pasir Manggu, batu bergores yang biasanya digunakan untuk upacara, dan batu tukuh.

Yang cukup istimewa dari tinggalan prasejarah itu adalah batu tukuh. Seturut keterangan Balai Arkeologi Jawa Barat, batu tukuh merupakan punden dengan menhir yang oleh masyarakat dianggap merupakan penanda pendirian suatu kampung. Karenanya, masyarakat sekitar pun turut menyakralkan batu tukuh ini.

INfografik Mozaik Situs Lebak Cibeduk

INfografik Mozaik Situs Lebak Cibeduk. tirto.id/TIno

Lestari

Situs-situs batu tukuh tersebar di sebelah barat kompleks Lebak Cibedug. Semua berada di daerah datar, dekat aliran sungai, dan tidak ada yang lebih tinggi dibanding punden Lebak Cibedug.

Batu-batu tukuh tersebut bisa berbentuk bangun persegi (batur punden) atau juga berupa bangunan berundak-undak yang kemudian dilengkapi dengan menhir atau batu datar di bagian teratasnya,” demikian tulis Balar Jawa Barat.

Sakralitas situs Lebak Cibedug dan tinggalan prasejarah lain di sekitarnya memang lestari hingga kini. Kemungkinan budaya itu merupakan turunan dari masyarakat pembangun Lebak Cibedug di masa lalu.

Dalam laporannya di majalah Jawa, Van Tricht menyatakan bahwa masyarakat sekitar Lebak Cibedug menyebut area ini dengan taneuh atau leuweung larangan. Dalam bahasa Sunda, leuweung artinya hutan. Area ini bisa dikatakan merupakan tanah yang sangat sakral yang tidak boleh diusik.

Budaya menyakralkan hutan larangan seperti itu juga bisa kita tengok dalam tradisi masyarakat Baduy yang juga berlokasi di Lebak. Hutan larangan ini umumnya terdapat di puncak-puncak bukit di setiap kampung.

R.C. Eka Permana dalam Tata Ruang Masyarakat Baduy (2006) menyebut bahwa masyarakat Baduy boleh memanfaatkan hutan di luar yang telah ditetapkan sebagai hutan larangan. Mereka menyebutnya reuma yang umumnya terletak di lereng-lereng bukit.

Kini wilayah Citorek di mana Situs Megalitik Lebak Cibedug berada masuk dalam wilayah adat Kasepuhan Banten Kidul. Kasepuhan Banten Kidul merupakan kelompok masyarakat adat yang masih mengamalkan ajaran adat-istiadat lama yang tersebar di wilayah Gunung Halimun-Salak, mulai dari Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Lebak (Banten).

Merekalah yang kini menjaga dan melestarikan kesakralan Situs Megalitik Lebak Cibedug.

Baca juga artikel terkait SITUS PURBAKALA atau tulisan lainnya dari Ary Sulistyo

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ary Sulistyo
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi