tirto.id - Reza adalah investor saham pasar modal yang tinggal di Jakarta. Pria 30 tahun ini tak begitu peduli dengan ingar bingar dan drama proses penentuan capres dan cawapres yang beberapa hari terakhir cukup menghangat. Ia lebih khawatir soal sentimen global yang bisa mempengaruhi pasar saham di dalam negeri ketimbang urusan politik domestik.
"Menurut saya sih [pilpres] agaknya enggak ngaruh-ngaruh amat. Sentimen lebih kuat dari pasar global yang tidak tentu. Jadi, sepertinya untuk saat ini, saya tinggal dulu aja,” kata pria berumur 30 tahun ini kepada Tirto.
Apa yang jadi keyakinan Reza ada benarnya, berselang beberapa jam pasca deklarasi capres dan cawapres Pilpres 2019, pada Kamis Malam (9/8), saat Jokowi berpasangan dengan Ma'ruf Amin dan Prabowo dengan Sandiaga Uno (Sandi), reaksi pasar malah positif. Pada perdagangan Jumat pagi (10/10/2018), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat 0,31 persen ke level 6.084, dan makin menguat ke level 6.093 saat penutupan perdagangan sesi siang. Gerak IHSG yang menguat juga diikuti nilai tukar dolar terhadap rupiah.
Mata uang Garuda pada Jumat pagi dibuka menguat 0,02 persen menjadi Rp14.429 per dolar dari sebelumnya senilai Rp14.432 per dolar. Kondisi pasar yang positif ini ada analis pasar saham yang menganggap tak berkorelasi langsung dengan ingar bingar deklarasi capres dan Cawapres.
“Menghijaunya IHSG pada perdagangan pagi ini, saya kira bukan disebabkan pengumuman capres dan cawapres. Secara teknikal, IHSG memang sedang mencoba menembus 6.250,” kata Kiswoyo Adi Joe, Kepala Riset Narada Aset Manajemen kepada Tirto.
Namun, tak bisa dipungkiri apa yang terjadi pasca deklarasi, punya sentimen terhadap pergerakan harga saham, setidaknya nampak dari pergerakan harga saham PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. Harga saham Saratoga dibuka Rp3.800 per saham, naik 2,39 persen dari sebelumnya Rp3.710 per saham. Kondisi serupa juga terjadi sehari sebelumnya, saat isu pencalonan Sandi sudah beredar di media. Kepemilikan Sandi di perusahaan yang melantai di bursa 26 Juni 2013 ini, hingga per 31 Desember 2017 mencapai 27,797 persen saham. Pergerakan saham Saratoga menandakan ada sentimen positif bagi perusahaan milik wakil gubernur DKI Jakarta ini.
Di luar sentimen positif terhadap IHSG dan saham perusahaan milik Sandi, tetap saja ada anggapan bahwa proses politik seperti Pilpres maupun Pemilu bisa memberikan ketidakpastian bagi investor di pasar modal. Dengan asumsi, peluang adanya rezim baru yang membawa kebijakan baru sangat terbuka. Artinya, arah ekonomi dan sektor keuangan juga bisa berpotensi berubah. Pasar menghendaki kepastian. Ihwal semacam ini cukup terasa di Amerika Serikat (AS). Masa-masa pemilihan presiden membuat tingkat volatilitas pasar saham meningkat ketimbang hari normal.
Berdasarkan riset The Vanguard Group Inc mencatat adanya volatilitas pasar cenderung meningkat pada 100 hari sebelum hari pemilihan presiden AS 2016. Kala itu, tingkat volatilitas naik 0,39 persen dibandingkan dengan hari normal. Tingkat volatilitas yang meningkat itu perlahan-lahan normal kembali usai masa Pilpres berakhir. Dari riset Vanguard, tingkat volatilitas pada 100 hari setelah Pilpres hanya naik 0,04 persen, dan 200 hari setelah Pilpres hanya naik 0,02 persen.
“Pasar tidak suka ketidakpastian, dan pemilihan presiden secara definisi, menambah lapisan ketidakpastian lain,” kata Jonathan Lemco, Senior Strategist Vanguard Investment Strategy Group dikutip dari situs resmi Vanguard.
Selain tingkat volatilitas yang cenderung meningkat saat jelang Pilpres, riset Vanguard ini juga mengungkapkan bahwa pola pergerakan sebelum dan sesudah Pilpres sejak 1853 sampai dengan 2015 hampir identik, tidak peduli partai mana yang menang. Jika melihat pola pergerakan saham di masa pilpres, bisa dibilang efek momen Pilpres hanya bersifat jangka pendek. Untuk itu, investor dengan fokus investasi jangka panjang cenderung tidak khawatir dengan momen Pilpres.
Kepercayaan diri para investor itu juga terlihat dari pergerakan saham yang tumbuh positif. Dikutip dari Kiplinger, pergerakan saham indeks Dow Jones Industrial Average sejak 1833 rata-rata tumbuh 10,4 persen sebelum tahun Pilpres, dan 6 persen pada tahun Pilpres.
Bagaimana dengan di Indonesia, apakah mengalami hal serupa?
Bergerak Positif di Tahun Pemilu
Bila melihat tahun-tahun sebelumnya, pergerakan IHSG pada saat periode Pilpres 2004, 2009, dan 2014 bergerak positif. Pada 2004, pergerakan IHSG sejak pendaftaran hingga pelantikan presiden tumbuh 13 persen. Pada 2009, pergerakan IHSG naik signifikan yakni 37 persen. Namun, pola pergerakan IHSG pada Pilpres 2014 agak berbeda. Selain lebih volatile, pergerakan IHSG juga hanya naik tipis 0,5 persen.
IHSG pada pertengahan 2014 memang bergerak cukup fluktuatif. Bukan karena sentimen Pilpres, melainkan tingginya dana asing yang keluar (capitaloutflow). Pada Agustus, September dan Oktober, total arus modal yang keluar mencapai Rp11,9 triliun (PDF). Dalam tiga bulan tersebut, pergerakan IHSG memerah. Dari sebelumnya IHSG di level 5119, turun 0,58 persen menjadi 5.089,. Dalam tiga bulan itu juga, IHSG sempat mencapai level terendah di angka 4.913,.
Pada masa pemilihan presiden 2019, tantangan untuk mengerek angka IHSG agaknya cukup berat. Hal itu dikarenakan persoalannya yang dihadapi kurang lebih sama ketika Pilpres 2014, yakni tingginya capital outflow. Dana asing yang keluar dari pasar saham Indonesia sejak awal tahun hingga 3 Agustus 2018 sudah menembus Rp48 triliun. Pada saat bersamaan, kondisi tersebut membuat IHSG terperosok hingga 4 persen.
“Nah, dana asing yang balik lagi sedang kita tunggu. Karena biasanya, ketika mereka balik, dana yang dibawa lebih besar. Paling lambat November kalau asing ingin dapat profit,” tutur Kiswoyo.
Ihwal pengaruh proses Pilpres terhadap pasar saham, Kiswoyo termasuk yang meyakini pilpres tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pergerakan IHSG, termasuk saat pembukaan perdagangan Jumat (10/8) hari ini. Menurutnya, sentimen dana asing justru yang menjadi perhatian pelaku pasar saham saat ini.
Meski pengaruh Pilpres dianggap yang tidak sebesar sentimen lainnya, tapi proses Pilpres patut untuk terus diperhatikan investor, terutama terkait dengan rencana dan kebijakan ekonomi dari masing-masing calon presiden. Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada termasuk yang mengingatkan masalah ini. Ini karena reaksi pasar secara historis punya pertalian dengan program yang akan diusung masing-masing pasangan.
Pada Pilpres 2014, pasar sempat khawatir dengan program kerja Prabowo Subianto yang menyuarakan kemandirian ekonomi, dan menjaga jarak dengan asing. “Ini yang dinantikan apakah sikap Prabowo jadi lebih soft. Sementara untuk Jokowi, apa saja yang masih perlu untuk diselesaikan atau adakah kebijakan tambahan lainnya,” kata Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada kepada Tirto.
Editor: Suhendra