tirto.id - Menteri Keuangan, Sri Mulyani mulai mewaspadai perlambatan perekonomian pada kuartal kedua 2019.
Sebab hingga April 2019, pertumbuhan penerimaan hanya 0,5 persen, jauh lebih lambat daripada pertumbuhan penerimaan periode sama pada 2017-2018 yakni 20,5 persen dan 13,3 persen.
"Ini menggambarkan bahwa kita melihat ekonomi mengalami pelemahan meski tidak mengalami zona negatif. Namun, kita mulai waspada," ujar dia, dalam konferensi pers APBN KiTA di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2019).
Menurut dia, indikasi perlambatan ekonomi tak terlepas dari hasil implikasi perekonomian global yang tak kondusif, terutama akibat pertumbuhan ekonomi negara-negara maju atau mitra dagang utama Indonesia yang alami perlambatan.
"APBN tidak alami perubahan, kita melaksanakan Undang-undang APBN, namun tools lain tetap kita coba desain seperti peraturan pemerintah untuk insentif super tax deduction di bidang vokasi dan mobil listrik," ungkap dia.
Dia merinci, penerimaan negara yang minim, akibat penerimaan negara dari sektor perpajakan serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Sektor perpajakan tercatat tumbuh 4,7 persen, sedangkan PNBP sebesar 14,8 persen. Capaian pertumbuhan ini merosot dibandingkan bulan yang sama pada 2017 dan 2018.
Penerimaan perpajakan dan PNBP 2017-2018, dua tahun lalu masing-masing tumbuh 17 persen dan 38,1 persen. Sedangkan 2018, capaian perpajakan dan PNBP tercatat tumbuh 11,1 persen dan 21,5 persen.
Penerimaan negara yang berasal dari pajak pada bulan itu hanya mencapai Rp387 triliun, tumbuh 1 persen, lebih rendah dari tahun sebelumnya tumbuh 10,8 persen.
Adapun yang berasal dari bea dan cukai, terkumpul Rp49,4 triliun (tumbuh 47 persen), naik dari pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 14,7 persen
"Jadi ini ada beberapa faktor yang tidak bisa apple to apple. Meski begitu kita melihat indikator ekonomi menunjukkan adanya tanda-tanda yang harus kita waspadai," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Perlambatan penerimaan pajak terlihat di berbagai pos, mulai dari PPh 21 (pajak karyawan), hingga PPN dalam negeri (PPN DN).
Pajak karyawan atau PPh 21 hanya tercatat mencapai Rp46,27 persen atau tumbuh 12 persen, lebih rendah daripada tahun sebelumnya yang tumbuh 14,8 persen.
Sementara PPh dan PPN impor yang telah masuk masing-masing tercatat baru Rp18,71 triliun dan Rp56,44 triliun, atau tumbuh 3,8 persen dan 0,7 persen, turun dibandingkan April 2018 sebesar mencapai 28,7 persen dan 24,8 persen.
PPh Orang Pribadi (OP) dan PPh Badan juga mengalami nasib serupa dengan pertumbuhan masing-masing 14,4 dan 4,9 persen. Angka ini jauh di bawah pertumbuhan 2018 yang masing-masing tercatat 19,8 persen dan 23,6 persen.
Menurut Sri Mulyani, penerimaan PPh Badan masih terbilang aman, meski mengalami perlambatan pertumbuhan.
Hal itu disebabkan oleh berkurangnya laba yang dicetak oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Tahun 2018, kata Sri Mulyani, laba perusahaan-perusahaan terbuka. Hal ini, kata dia, hanya mampu tumbuh 7,12 persen, lebih rendah daripada pertumbuhan laba 2017 yang mencapai 22,7 persen.
"PPh OP kita melihat growth masih sangat kuat. Memang lebih rendah tapi ini masih double digit. Jadi individu masih sama-sama bagus. Namun yang kita harus hati-hati PPh badannya, PPh badan tahun lalu tumbuh 23,6 tahun ini tumbuh sedikit di bawah 5 persen," ujar dia.
Tiga sektor lainnya yakni PPh 26, PPh final dan PPN DN lebih miris lagi. Alih-alih tumbuh, setoran dari tiga jenis pajak tersebut malah turun masing-masing 20,7 persen, 1 persen dan 7,9 persen.
Capaian tiga jenis pajak itu jauh lebih rendah daripada periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat minus 4,3 persen dan tumbuh 12,7 persen dan 9,5 persen.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Zakki Amali