Menuju konten utama

Pertemuan Jokowi-AHY Tak Cuma Urusan Mengantar Undangan

SBY dinilai tengah menyampaikan pesan politik secara tersirat pada momen pertemuan Jokowi dan AHY di Istana.

Pertemuan Jokowi-AHY Tak Cuma Urusan Mengantar Undangan
Komandan Satuan Bersama (Kogasma) Partai Demokrat untuk Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta, Selasa (6/3/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dianggap tengah menyampaikan pesan politik lewat putra sulungnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Pesan itu tersirat dari kunjungan AHY ke Istana Negara (6/3) dan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) (7/3).

Secara formal, agenda AHY bertemu Jokowi memang hanya untuk menyampaikan undangan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat di Sentul pada 10-11 Maret 2018 mendatang. Namun, pertemuan dua orang ini pada pada Selasa (6/3/2018) tak cukup dilihat sebatas menyampaikan undangan.

Jokowi atau AHY barangkali sangat sadar pertemuannya akan dimaknai berbagai macam oleh publik. Salah satunya Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin yang mencoba memaknai pertemuan AHY dengan dan Jokowi, bahwa SBY sedang mengirimkan pesan politik. Pesan politik yang coba dimaknai soal sikap untuk tidak gampang marah alias baperan terhadap tokoh politik di Indonesia.

“Bisa saja SBY ini melakukan tindakan antitesa dari Megawati,” kata Ujang kepada Tirto, Rabu (7/3/2018).

Ia merujuk pada sikap Megawati Soekarnoputri yang tak pernah mengundang SBY saat menjabat Presiden dalam setiap acara yang digelar PDI Perjuangan. Sikap ini merupakan buntut pertentangan keduanya sejak sebelum Pemilu Presiden 2004.

Menurut Ujang, pesan kedua adalah SBY tengah mendidik Agus untuk mampu berkomunikasi dengan tokoh politik nasional. Sebagai politikus muda, AHY perlu menghargai tokoh-tokoh senior.

Selain itu, pertemuan itu bisa bermakna bahwa SBY ingin AHY mendapat citra positif bahwa sebagai politis muda harus menghormati Jokowi yang lebih senior yang juga sebagai presiden.

“[Ini] berdampak pada pemberitaan yang positif,” kata Ujang.

Selain tiga pesan di atas, Ujang menyebut, pesan politik yang paling terbaca adalah sinyal untuk berkoalisi atau sebaliknya. Sinyal elemen pertama, nampak dalam kedatangan AHY ke Istana. Ia menduga pertemuan ini menjadi bagian dari silaturahmi dan penjajakan AHY untuk menjadi calon wakil presiden bagi Jokowi pada Pemilu 2019.

Pesan Berkawan atau Berlawan

Ihwal sinyalemen kedua alias beroposisi usai pertemuan kedua orang itu, dosen di Universitas Al-Azhar Indonesia ini menyebut bisa muncul lantaran peluang AHY untuk maju menjadi cawapres tak akan mudah. AHY harus mendapat restu dari PDI Perjuangan selaku partai pengusung lantaran Jokowi sudah dideklarasikan partai berlambang banteng ini sebagai calon presiden untuk 2019.

Ia memperkirakan Megawati akan susah menerima AHY meskipun saat ini SBY sudah membuka diri untuk berkomunikasi dengan PDI Perjuangan yang menjadi oposisi SBY selama 10 tahun menjabat.

“[Megawati belum mau [membuka diri],” ucap Ujang.

Ihwal pesan berkawan atau berlawan yang dibawa AHY ini juga disoroti Manajer Riset Poltracking Faisal Arief Kamil. Faisal menyebut AHY dan Demokrat berada di posisi strategis. Saat ini, keduanya berada di antara kubu Jokowi atau Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra yang digadang akan kembali maju dalam Pilpres 2017.

“Kita bisa melihatnya dari dua sisi, mengajak koalisi dan kedua ingin menunjukkan bahwa ini ada AHY. Kalau tidak koalisi ya bisa ke Prabowo"," kata Faisal.

Dalam survei Poltracking yang dirilis akhir Februari 2018, AHY merupakan kandidat cawapres potensial berdasarkan survei nasional Poltracking terhadap 1.200 responden pada 27 Januari-3 Februari 2018. Ia meraih elektabilitas 3,6 persen.

Selain AHY, tokoh yang berpotensi menjadi cawapres berdasarkan survei itu adalah Gatot Nurmantyo dengan elektabilitas 4,2 persen, Anies Baswedan 4,1 persen, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) 3,7 persen, Ridwan Kamil 3,0 persen, dan Khofifah 2,4 persen.

“Kemungkinan poros ketiga yang digagas SBY melawan poros Jokowi dan Prabowo, meski kecil kemungkinan. AHY bisa saja jadi pasangan Prabowo atau Jokowi," ujar Faisal.

Jawaban Aman dari AHY

Di luar tafsiran yang dikemukakan oleh Faisal dan Ujang, pernyataan AHY hanya menegaskan pertemuan dengan Jokowi hanya untuk menyampaikan undangan Rapimnas Demokrat, termasuk saat bertemu Wiranto. Alumnus Akademi Militer tahun 2000 ini mengatakan, Demokrat menghendaki kedua tokoh politik itu memberi pesan buat kadernya.

“Tujuan utama Rapimnas adalah mengkonsolidasikan kader Demokrat. Oleh karena itu pasti ada hal-hal penting yang bisa disampaikan oleh pemimpin kita Presiden Jokowi dan sejumlah tokoh lainnya," kata AHY di Kantor Kemenko Polhukam,.

Alumnus Harvard University ini mengatakan pembicaraan koalisi untuk pemilu 2019 masih terlalu dini. Namun, ia tak memungkiri akan terus menjalin komunikasi dengan semua parpol hingga koalisi terbentuk.

Ia juga memastikan, partainya akan bergabung dengan salah satu poros koalisi di pemilu, meskipun dirinya tak menjelaskan apakah Demokrat hendak membuat poros baru atau bergabung dengan koalisi yang sudah ada.

“Saya belum bisa mengatakan hari ini, terlalu dini, karena masih akan terjadi banyak momentum dan juga komunikasi di antara elite dan kader-kader partai peserta pemilu mendatang. Semua masih mungkin,” ujar AHY.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih