tirto.id - Pengadilan Tipikor sudah memvonis mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam 12 tahun penjara dan denda Rp2,7 miliar (28/03/2018). Nur Alam justru mengajukan gugatan terhadap saksi ahli yang diajukan KPK, Basuki Wasis ke Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat atas kesaksiannya yang dinilai menyebabkan kerugian terhadap pelapor.
Lewat kuasa hukumnya, Nur Alam menggugat akademisi Institut Pertanian Bogor tersebut dengan menggunakan pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Lebih lanjut dalam surat gugatannya Nur Alam menuntut Basuki Wasis untuk mengganti kerugian materiil yang ia alami sebesar Rp1,7 miliar dan kerugian immateril sebesar Rp3 triliun.
"Tapi sebelum masuk ke substansi gugatan, pertanyaannya apakah Pak Wasis boleh digugat?" tanya salah satu kuasa hukum Wasis, Muji Kartika Rahayu, Senin (16/04/2018) di kantor YLBHI, Jakarta Pusat.
Menurut Muji, pasal 1365 KUHPerdata memang membolehkan untuk menuntut semua orang yang dinilai melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian. Namun, undang-undang tersebut sudah diperbarui lewat pasal 66 UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa tiap orang yang memperjuangkan hak lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pun mengatur bahwa orang-orang yang berposisi sebagai saksi, ahli, pelapor, dalam tindak pidana apapun.
"Jadi dalam kasus ini, Pak Wasis karena dia posisinya sedang menjadi ahli dalam kasus lingkungan maka ia dilindungi oleh undang-undang lingkungan dan undang-undang perlindungan saksi," kata Muji.
Sebelumnya Basuki Wasis selaku ahli perhitungan kerugian dampak lingkungan dihadirkan oleh Jaksa Penuntut KPK untuk menjadi ahli di persidangan tindak pidana korupsi Gubernur Sulawesi Tenggara non-aktif Nur Alam (14/02/2018) lalu.
Dalam kesaksiannya, Basuki Wasis mengungkapkan bahwa perkara korupsi yang melibatkan Nur Alam mengakibatkan kerugian negara yang berasal dari dampak lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabaena sebesar Rp2,7 triliun rupiah.
"Kita hanya menggunakan metode yang selama ini memang kita gunakan. Banyak putusan-putusan kita lakukan selama ini diterima sama majelis hakim, tidak ada masalah," kata Basuki Wasis, Senin (16/4/2018) di kantor YLBHI, Jakarta Pusat.
Lebih lanjut, menurut Basuki, ia hanya menggunakan metode yang sudah dibakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, ia mengungkapkan angka Rp2,7 triliun yang ia keluarkan merupakan estimasi minimum dari total kerusakan lingkungan akibat ulah Nur Alam.
"Jadi banyak yang kita turunkan karena kami rasa sudah terlalu besar," tutup Basuki.
Mengancam Pemberantasan Korupsi
Sementara itu, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW mengatakan perhitungan dampak ekologis yang dilakukan oleh KPK dan Basuki Wasis adalah terobosan dalam dunia pemberantasan korupsi. Menurutnya, selama ini perhitungan kerugian negara hanya berkisar pada yang benar-benar hilang dalam suatu tindakan korupsi.
"Jadi ini menurut saya sesuatu yang sedang diserang adalah kerja pemberantasan korupsinya. Kerja KPK-nya," kata Tama (16/04/2018) di kantor YLBHI, Jakarta Pusat.
Oleh karena itu, Tama mengatakan KPK harus melakukan banding untuk mempertahankan perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Basuki Wasis. Selain itu, KPK juga harus melakukan proteksi terhadap Basuki dengan menjadi tergugat intervensi.
Selain itu peran dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan juga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga dituntut dalam kasus kriminalisasi terhadap Basuki Wasis ini.
"Jadi harus ada komitmen, kalau kemudian ada ahli yang digugat kemudian pihak yang memanfaatkan keahliannya tidak ada proteksi, menurut saya ini bencana," tutup Tama.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri