Menuju konten utama

"Persoalannya Bukan Hanya Dwelling Time"

Persoalan logistik sering dikaitkan dengan pelabuhan laut termasuk dwelling time. Padahal, logistik juga dipengaruhi banyak hal. Dunia usaha lah yang paling tahu dan merasakannya.

Wakil Ketua Kadin bidang Perhubungan, Carmelita Hartoto. [Foto/petroenergy.id]

tirto.id - Persoalan tingginya biaya logistik di Indonesia tak hanya menjadi perhatian pemerintah. Dunia usaha sebagai pihak yang merasakan langsung punya pandangan tersendiri. Salah satunya soal waktu bongkar hingga keluar barang dari pelabuhan alias dwelling time yang kini mencuat lagi.

Apakah cukup dengan dwelling time yang rendah? Ternyata, dunia usaha tak merasa lega bila salah satu persoalan logistik ini bisa diselesaikan. Persoalan yang lebih besar di luar dwelling time juga harus dibenahi. Apa saja yang harus dibenahi? Berikut wawancara Arbi Sumandoyo dari tirto.id dengan Wakil Ketua Umum Bidang Perhubungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Carmelita Hartoto, Kamis (15/9/2016)

Bagaimana pandangan Anda dari dampak dwelling time terhadap biaya logistik?

Sekarang begini, ini kan sekarang kalau kita berbicara waktu menunggu ini, kita jangan berbicara dwelling time lah, kalau dwelling time itu biasanya untuk barang-barang ekspor-impor. Itu untuk barang-barang luar negeri. Kalau di dalam negerinya sendiri semua pelabuhan juga pasti waktu menunggunya lama.

Semua pelabuhan pasti ada waktu menunggu untuk masuk pelabuhan, jadi kalau namanya biaya logistik, namanya infrastruktur belum terbangun dengan benar, kemudian juga tarif pelabuhan juga tidak dibatasi, masih terus naik, seterusnya kita akan memiliki biaya logistik yang tinggi.

Kemudian konektivitas di pelabuhan juga harus baik, karena kalau konektivitasnya tidak sesuai Service Level Agreement/Guarantee (SLA/SLG), tentunya akan selalu di bawah rata-rata dibanding dengan negara lain.

Jadi kalau mau ngomongin biaya logistik terkaitnya macam-macam, jadi mulai dari pelabuhannya, kemudian infrastruktur jalan, itu juga pengaruh dan juga kemacetan jalan juga pengaruh.

Jadi menurut Anda soal logistik ini tak hanya soal dwelling time di pelabuhan?

Kuncinya infrastruktur, pelabuhan itu kan harusnya terintegrasi, pelabuhan-pelabuhan kita ini semuanya ada di dalam kota sehingga untuk membesarkan pelabuhan yang sudah ada agak sulit untuk integrasi.

Harusnya seperti pelabuhan-pelabuhan yang baru dibangun seperti Kuala Tanjung, seperti Pelabuhan Teluk Lamong, mereka bangunnya dari awal, jadi dekat dengan stasiun, dekat dengan bandara, dekat dengan industri, harus seperti itu namanya pelabuhan.

Kalau sekarang pelabuhan pelabuhan yang sudah kita punya itu ada di dalam kota, jadi untuk diperluas lagi untuk dekat dengan industri itu sudah sulit. Rata-rata pelabuhan di Indonesia ini banyak sekali yang bisa langsung direct call ke luar negeri.

Percuma bangun pelabuhan besar-besar, kalau akhirnya pelabuhan itu juga tidak didatangi oleh kapal-kapal besar. Kan cita-citanya begitu.

Anda katakan infrastruktur memengaruhi biaya logistik nasional, bisa jelaskan?

Sekarang misal jalanan, jalanannya macet terus ngantre lama belum sampai ke sana, kapalnya menunggu, masa kapalnya nunggu barang datang, itu kan nggak mungkin. Sampai ke sana barangnya telat 2 atau 3 jam, itu kan enggak bisa juga. Makanya harusnya pembangunan pelabuhan itu harus membangun pelabuhan baru yang tidak di dalam kota lagi. Kalau tidak ya akan terus seperti ini.

Bagaimana Anda melihat regulasi?

Kita mau berbicara soal pelabuhan mana? di Tanjung Priok sendiri katanya sudah bagus. Yang saya dengar sekarang dwelling time sudah 3,5 hari, kan sudah baik. Tinggal sekarang, kargo ini sedang turun, 3,5 hari itu sudah bagus.

Sekarang itu maunya bagaimana, sekarang itu sudah ada Indonesia National Single Window (INSW) dengan Inatrade kan, tinggal di jalankan dengan benar saja INSW dan Inatrade. Di Makassar sama Medan, yang belum Surabaya dan Jakarta, kalau sudah di jalankan dan sangat bagus.

Ya harapan kita, saat kargo sudah mulai banyak, kan sekarang sedang turun kan. Kargo mau masuk Indonesia juga sedikit, jadi masih 3,5 hari nanti ke depan kalau sistem itu sudah berjalan dengan baik harus stay di situ. Harus dipertahankan disitu di 3,5 hari atau 4 hari.

Nah, sistem itu diberlakukan di beberapa kota di Indonesia, seperti Surabaya, Medan, Makassar, semua harus diberlakukan itu INSW dan Inatrade. Kalau itu sudah berjalan dengan baik, saya rasa sudah satu pintu kan, itu yang saya harapkan supaya tidak ada lagi ke depan, instansi-instansi yang jumlahnya 15 lembaga (di proses pre-clearance dalam dwelling time), tidak perlu lagi karena sudah sudah satu pintu. Ya diberesin lah, ya nanti pada saat kargo kita sudah naik, sehingga nanti dwelling time bisa teratasi.

Artinya kalau ini sudah berjalan dengan baik, biaya logistik di Indonesia bisa turun?

Ya paling tidak waktu menunggunya berkurang. Kalau biaya cek, itu tidak hanya soal dwelling time tapi juga soal infrastruktur, kemudian tarif, itu berhubungan semua.

Kalau semua daerah-daerah mengikuti sistem-sistem tadi harusnya semua pelabuhan di daerah bisa terkontrol. Selama mereka mengikuti dan mereka juga harus memberikan syarat yang baru-baru. Kadang-kadang ada sistemnya tetapi alat mereka masih barang lama, kalau memang mereka berinvestasi, alatnya berjalan baik, ikuti sistemnya, saya rasa dwelling time bisa hilang.

Tetapi itu tidak memengaruhi biaya logistik, banyak faktor. Biaya logistik bukan hanya dwelling time tetapi di daratnya juga ada. Segala permasalahan di dalam juga, jalanannya, mungkin biaya pelabuhan, biaya buruhnya, itu banyak sekali keterkaitannya.

Misal seperti di Pelabuhan Belawan, tarif bayar buruh juga tinggi. Di daerah Kalimantan, juga tinggi tidak seperti di Pelabuhan Tanjung Priok mungkin biaya tenaga kerja bongkar muat (TKBM) lebih murah. Mungkin murah tidak di luar kota seperti di Papua, itu bisa Rp1 juta. Saya bilang, soal biaya logistik tidak hanya dwelling time tetapi lebih banyak komponen-komponennya.

Bagaimana Anda melihat target pemerintah menurunkan biaya logistik?

Kalau sebenarnya, itu sebenarnya bukan hanya dari pemerintah saja, tetapi juga dari pihak swasta. Jadi sekarang kita harus duduk bersama-sama, saling membuka saja, jadi saling membuka diri berapa cost dikeluarkan, cost-nya meraka berapa. Jadi bisa kelihatan, mana yang untung banyak. Kalau mau membuka diri, nanti kita lihat siapa yang paling untung.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Suhendra

Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti