tirto.id - Ada satu hal yang belum sepenuhnya berubah bila dibandingkan dengan era 2000 SM: persepsi tentang menstruasi.
Egyptologist dari Universitas Kopenhagen, Paul John Frandsen, pernah menelusuri artefak Mesir kuno untuk mengetahui anggapan masyarakat setempat soal menstruasi. Temuan yang dirangkum dalam “The Menstrual Taboo in Ancient Egypt” (2007) itu mengungkap bahwa pada masa tersebut perempuan yang sedang menstruasi biasanya tidak bekerja dan harus mengungsi keluar rumah sampai haid berakhir.
Menurut catatan orang Mesir yang hidup di era Byzantium, tempat pengungsian para perempuan haid ini bisa berupa rumah komunal atau ruangan yang dibuat di bawah tangga. Frandsen sebenarnya berniat menggali lebih detail soal tempat pengungsian ini. Termasuk penyebab munculnya pandangan berbeda terhadap perempuan menstruasi. Namun sayang, minimnya pendokumentasian pada masa tersebut membuat rasa keingintahuan Frandsen tidak bisa sepenuhnya terjawab dan membuat temuan hanya bisa menyajikan bukti-bukti soal aktivitas perempuan yang tengah haid.
Meski demikian, kisah soal perempuan yang diungsikan ketika haid itu masih relevan hingga kini. Awal Januari lalu, CNN mengabarkan seorang perempuan asal Nepal tewas di dalam bangunan yang diperuntukkan bagi perempuan menstruasi. Perempuan itu diduga tewas akibat menghirup asap beracun yang berasal dari bangunan sekitar ‘rumah pengungsian’.
Si perempuan Nepal itu tengah mempraktikkan chhaupadi--tradisi masyarakat Nepal dan India yang mengharuskan perempuan menstruasi tinggal jauh di bangunan ala kadarnya dan tidak bersentuhan, beraktivitas, atau berkomunikasi dengan orang lain terkecuali anak balita karena mereka dianggap ‘kotor’.
Pemerintah setempat sebetulnya sudah melarang praktik ritual lawas tersebut sejak 2017. Mereka bahkan dijanjikan akan menikmati berbagai fasilitas pemerintah dengan mudah apabila berhenti menjalani chhaupadi. Selain itu ada pula aturan denda bagi keluarga yang masih mempraktikkan ritual tersebut.
Pemerintah Nepal mengaku bahwa mereka masih butuh waktu panjang untuk memotivasi sekaligus memastikan seluruh warga Nepal tidak lagi melakukan ritual lawas tersebut.
Di India, pemberitaan soal chhaupadi sudah jarang terdengar. Namun, mereka masih punya pandangan serupa dengan warga Nepal: menstruasi adalah hal yang memalukan.
Tayangan dokumenter Period. End of Sentence--yang memenangkan kategori Film Dokumenter Terbaik Oscar 2019--mengisahkan perempuan-perempuan dari Hapur, desa yang berjarak 60 kilometer dari New Delhi. Di sana, para perempuan remaja hingga manula baru mengenal pembalut sekitar dua tahun terakhir. Sebelumnya, mereka terbiasa menggunakan kain sebagai pembalut.
Kesulitan beraktivitas saat haid akhirnya membuat sebagian besar perempuan remaja di sana memutuskan berhenti sekolah. Mereka merasa tidak kuat bila harus izin kelas dan berjalan belasan kilometer untuk membersihkan atau membuang kain penampung darah.
Pada 2017, seorang pria lantas mengenalkan mesin pembuat pembalut kepada para perempuan di desa. Mesin itu akhirnya jadi sumber mata pencaharian para perempuan produktif di Hapur. Ada yang bekerja sebagai buruh pembuat pembalut, dan ada pula yang bekerja sebagai tim penjual yang menjajakan pembalut ke berbagai desa terdekat.
Time mencatat bahwa kini para perempuan Hapur telah menjual pembalut ke 40 desa. Mereka pun mulai meninggalkan kebiasaan lama--menggunakan kain ketika haid-- dan membiasakan diri menggunakan pembalut.
Kisah miris soal ketersediaan pembalut ini tak hanya terjadi di negara berkembang. Cerita serupa pun sempat terjadi di London, Inggris. Rachel Krengel, perempuan yang tinggal di selatan London pernah mengalami kesulitan finansial hingga tidak mampu membeli pembalut. Bila punya sedikit uang tambahan, ia membeli pembalut dan menggunakannya selama 20 jam, padahal idealnya pembalut diganti setiap 4 jam. Bila tidak memiliki uang, ia membiarkan darah mengalir begitu saja di celananya.
Permasalahan serupa tidak hanya dialami Krengel. Pada 2017, lembaga riset Plan International mengungkap bahwa 48 persen responden di usia 14 hingga 21 tahun masih menganggap menstruasi adalah hal memalukan. Riset yang mengambil 1.000 orang responden di Inggris ini juga bilang bahwa 40 persen responden menggunakan tisu toilet untuk menampung darah menstruasi. Isu utamanya adalah: banyak yang tak mampu atau kesulitan membeli pembalut.
Para aktivis perempuan di Inggris telah berupaya mendesak pemerintah mengeluarkan regulasi penyediaan pembalut gratis bagi perempuan yang tak mampu membeli pembalut. Namun sampai hari ini usulan tersebut tak kunjung ditindaklanjuti.
Orang-orang Inggris yang peduli terhadap kesehatan reproduksi perempuan menstruasi ini pun kerap melakukan aksi demonstrasi, termasuk di Downing Street, di depan kediaman Perdana Menteri Theresa May. Aksi ini juga menarik beberapa selebritas perempuan ikut berdemonstrasi. Sebagian besar dari mereka kaget setelah membaca riset Plan International, bahwa masih banyak perempuan Inggris yang tak sanggup membeli pembalut. Selain itu mereka juga menentang anggapan menstruasi sebagai sesuatu yang tabu.
"Rasanya bikin malu bahwa masyarakat kita ada yang tak mampu membeli pembalut, dan kita masih merasa malu bicara soal menstruasi," ujar Suzie Murray (18), salah satu demonstran pada CNN.
Elizabeth Tunstall, Associate Professor jurusan Design Anthropology di Swinburne University of Technology menyatakan demonstrasi serupa pernah terjadi di Spanyol.
“Bentuk protes seperti ini bermaksud untuk mengkritisi nilai-nilai tentang perempuan yang terdegradasi dalam masyarakat, seperti pandangan tabu terhadap darah menstruasi. Yang saya maksud dengan tabu adalah larangan-larangan bagi perempuan menstruasi untuk melakukan sejumlah aktivitas fisik,” tulis Tunstall di The Conversation.
Tunstall masih percaya berbagai protes terkait pandangan soal menstruasi masih akan terus terjadi di berbagai belahan dunia. Keyakinan itu muncul lantaran Tunstall turut mengamati aksi protes di Australia yang digagas komunitas feminis Destroy The Joint, dan aksi penandatanganan petisi guna mengeluarkan tampon dan pembalut dari kategori barang mewah dan dibebaskan dari pajak.
Di Indonesia jenis protes menstruasi itu mungkin belum santer terdengar. Menurut penelusuran Tirto, pemerintah masih ada pada tahap membangun fasilitas kebersihan dan memberi pendidikan tentang menstruasi pada para siswi remaja. Hal ini dilakukan karena masih banyak remaja di Indonesia yang masih malu berbagi cerita soal pengalaman pertama menstruasi.
Editor: Nuran Wibisono