tirto.id - Anggota Pengurus Pusat Persatuan Jaksa Indonesia, Reda Manthovani menyatakan semua aparat penegak hukum di Indonesia saat ini semakin berisiko mendapat serangan. Karena itu, menurut dia, regulasi yang khusus mengatur pelindungan terhadap semua aparat hukum semakin dibutuhkan.
Menurut Reda, kasus penyerangan penyidik senior KPK Novel Baswedan hanya salah satu bukti perlu segera ada regulasi itu. Reda menambahkan aksi terorisme dengan sasaran aparat kepolisian semakin menegaskan besarnya ancaman ke semua aparat hukum.
Dia menyebut, ancaman kepada jaksa juga bermunculan. Contoh kasus terbaru adalah penculikan terhadap anak seorang jaksa di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kundrat Mantolas. Penculikan itu dilakukan oleh terdakwa perkara yang ditangani oleh jaksa itu.
"Hakim ada yang meninggal ditembak. Jaksa juga ada yang ditembak. Jadi, memang harus ada satu regulasi yang memberikan perlindungan secara menyeluruh. Suatu regulasi yang memang untuk keseluruhan, bukan cuma untuk hakim, jaksa, penyidik," ujar Reda dalam Diskusi Publik di Bakoel Koffie, Jakarta, pada Minggu (3/6/2018).
Reda khawatir, tanpa ada regulasi tersebut, perlindungan keamanan terhadap semua aparat hukum berjalan parsial.
"Bagaimana hakim yang enggak punya senjata? Polisi saja yang punya senjata saja masih bisa diserang teroris. Jadi, bagaimana proteksinya [harus] secara menyeluruh," kata Reda.
Dia berpendapat, bentuk perlindungan itu bisa berupa mempersenjatai aparat hukum atau memberikan pengawalan keamanan. Derajat perlindungan bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
"Ada klasifikasi perkara-perkara apa yang perlu diproteksi. Enggak semuanya perkara. Tapi, [bisa berlaku] untuk seluruh aparat penegak hukum. Contohnya, perlindungn terhadap penyidik, jaksa penuntut umum, hakim dalam perkara terorisme, illegal logging. Perkara pencurian handphone enggak perlu dikawal-kawal begitu kan," ujarnya.
Mekanisme perlindungan yang paling memungkinkan untuk jaksa dan hakim, menurut dia, ialah melalui metode pengawalan. Sebab, selama itu tidak smeua aparat hukum bisa menggunakan senjata.
"Kalau hakim dipersenjatai, dia enggak biasa latihan menembak. Jaksa juga enggak semua dapat pelatihan menembak. Kasihlah (wewenang menembak) kepada yang profesional," ujarnya.
Reda menambahkan salah satu mekanisme pengawalan bisa dengan bantuan TNI. Dia mencatat, pada sebulan lalu, kejaksaan dan TNI telah meneken MoU (Memorandum of Understansding/MoU) dengan salah satu poin tentang kerja sama kedua institusi dalam menegakkan hukum.
"Apakah ada dasarnya di undang-undang? Ternyata ada dalam UU peraturan militer tahun 1997, bahwa Jaksa Agung adalah penuntut umum tertinggi bagi militer. Berarti masih ada benang merah,” kata dia.
“Oleh karena itu, kalau mereka (TNI) membantu penegakan hukum, misal memberikan pengawalan, itu bukan hal yang luar biasa," dia menambahkan.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom