tirto.id - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia (PTFI) hingga 2061 bermuatan politis. Sebab, peluang perpanjangan itu dilakukan di tengah situasi tahun politik dan di akhir jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Itu lebih politis, karena Jokowi ingin menunjukan legasi bahwa dia memang akhirnya menguasai Freeport sampai dengan 61 persen," kata Fahmy saat dihubungi Tirto, Sabtu (18/11/2023).
Pemerintah sebelumnya memang memberikan dua syarat khusus terkait perpanjangan kontrak IUPK PT PTFI di tambang Grasberg, Papua. Kedua syarat tersebut yaitu penambahan saham pemerintah sebanyak 10 persen serta pembangunan smelter di Papua.
Namun, Fahmy melihat tidak ada keuntungan yang didapat Indonesia lewat perpanjangan tersebut, sekalipun dua persyaratan itu akan dilakukan Freeport.
"Di luar itu saya kira tidak ada keuntungan diperoleh Indonesia. Jadi itu saya kira keputusannya lebih politis," kata Fahmy.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengatakan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia (PTFI) diperpanjang hingga 2061. IUPK PTFI saat ini akan berakhir pada 2041.
"Freeport ya itu 2061 nanti, karena kan dia sudah sekian puluh tahun ada dalam persyaratannya kan ada cadangan masa kita mau putus, cari lagi," ujar Arifin di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta dikutip Antara, Jumat (17/11/2023).
Arifin juga mengatakan, kepemilikan saham mayoritas PTFI saat ini dikuasai oleh Pemerintah Indonesia. Namun, kata dia, untuk masalah teknis seperti pengeboran tetap dilakukan oleh PTFI.
"Dipegang mayoritas Indonesia, operator ship-nya MIND ID tetapi kan manajemen kalau untuk perihal teknik pertambangan, apa segala macam tetap saja kita perlu yang jago ngebor dalam," ujar Arifin.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto