tirto.id - Rutinitas Prabu, 16 tahun, tiap selesai kelas adalah berkumpul bersama kawan-kawannya di parkiran motor yang terletak di luar sekolah. Di sana mereka membicarakan apa saja. Di sela-sela perbincangan selalu ada asap mengepul, berasal dari rokok yang mereka hisap.
Prabu pertama kali mencoba merokok ketika duduk di kelas delapan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sekitar usia 13 tahun. Ia mencoba karena penasaran, kebetulan pula ketika itu ada teman menawari.
Prabu sempat mencoba untuk berhenti merokok, tapi hanya bertahan sehari. Mayoritas temannya di sekolah merokok. Itu membuat dia semakin sulit melepas ketergantungan terhadap rokok. Kini Prabu menjadi perokok aktif yang menghabiskan rata-rata sekitar setengah bungkus setiap hari.
Harganya pun masih terjangkau dibanding uang jajannya. “Menurut saya enggak terlalu mahal, masih murah,” kata Prabu di kawasan Jakarta Timur kepada reporter Tirto, Selasa (22/1/2019).
Kedua orang tua Prabu belum tahu ia merokok, meskipun mereka juga perokok. “Ayah, ibu, ngerokok. Dua-duanya ngerokok. Biasanya keduanya ngerokok depan Prabu, dari Prabu kecil.”
Prabu adalah satu dari sekian banyak anak di bawah 18 tahun yang bisa dengan mudah mengakses rokok. Ia bisa membelinya di warung-warung sekitar sekolah, rumahnya, dan di mana saja.
Padahal, menurut Peraturan Pemerintah tentang Tembakau tahun 2012, para penjual dilarang menjajakan rokok kepada anak di bawah 18 tahun.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (PDF), angka prevalensi (hal yang umum; lazim) merokok pada usia remaja, 10-18 tahun, terus meningkat. Pada 2013, terdapat 7,2 persen remaja yang rutin merokok. Tiga tahun kemudian, angkanya naik menjadi 8,8 persen. Riset terakhir, pada 2018, angka tersebut kembali naik jadi 9,1 persen.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Kesehatan dan NAPZA, Sitti Hikmawatty mengatakan banyak faktor yang membuat remaja merokok.
“Iklan cukup signifikan. Kemudian karena lingkungan. Mereka penasaran karena melihat, ‘ini apa sih? orangtua saya, kok, kalau habis merokok [terlihat] nyaman?” kata Hikmawatty saat ditemui di Jakarta Pusat, Selasa (22/1/2019).
Kebijakan Longgar dan Banjir Iklan
Berdasarkan data Yayasan Lentera Anak, masih sedikit kota yang benar-benar menerapkan kawasan tanpa rokok (KTR) atau memiliki kebijakan yang membatasi penempatan iklan, promosi, atau sponsor (IPS) rokok.
Sejauh ini, wilayah yang relatif baik menerapkan KTR adalah Bukit Tinggi, Padang Panjang, Sawahlunto, Pasaman Barat, DKI Jakarta, Kota Bogor, Kota Padang, Kabupaten Bekasi, Payakumbuh, dan Banjarmasin. Meski masih bisa dihitung jari, tapi kebijakan ini tetap patut diapresiasi, kata Hikmawatty. Sayangnya tidak begitu dengan IPS.
Sejumlah reklame iklan rokok yang berada di pinggir jalan, misalnya, masih dengan mudah ditemui di kota mana saja.
“Iklan ini masih sangat masif. Kita lihat dari sekian banyak industri yang kreatif memberikan iklan, salah satunya adalah industri rokok. Dia memberikan gambaran bahwa betapa sangat bagusnya kalau merokok,” kata dia.
Hikmawatty juga mengatakan fenomena semakin banyaknya remaja merokok karena penerapan PP Tembakau yang belum menyertakan sanksi yang ketat. Selain sanksi, kelemahan lainnya adalah rokok masih bisa dijual eceran, padahal dalam aturan itu tidak boleh.
“Atau tidak boleh memunculkan harga. Sekarang iklan memperlihatkan harganya itu sekian, sehingga orang bisa menghitung ‘oh kalau seribu rupiah sangat masuk di kocek anak’,” jelasnya.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Iskan Qolba Lubis. Iskan mengatakan permasalahan rokok di kalangan anak ini akibat bombardir iklan yang tidak diimbangi pengawasan ketat.
“Kebijakan belum tegas, buktinya konser-konser ada iklan rokok. Itu menipu anak-anak. Spanduk-spanduk juga. Anak-anak jadi menganggap kalau rokok itu hebat. Jadi harus tegas dulu kebijakannya,” kata Iskan kepada reporter Tirto.
Politikus PKS itu menilai pemerintah tidak serius dalam menangani permasalahan ini. Pengawasannya sama sekali longgar.
“Harus ada pengawasan, [aturan] turunannya juga harus ketat. Harusnya dibatasi tempat-tempat mana saja [untuk berjualan rokok]. Jadi tidak bisa di tempat umum,” ujar Iskan.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Gilang Ramadhan