tirto.id - Joko Widodo mengatakan pemerintah sangat mungkin melarang Front Pembela Islam (FPI)--ormas yang memposisikan diri sebagai oposisi--pada periode kedua pemerintahannya. Ini diutarakan saat wawancara dengan media asing, Associated Press.
"Ya, tentu saja (melarang FPI), sangat mungkin jika pemerintah meninjau dari sudut pandang keamanan dan ideologi menunjukkan bahwa mereka tidak sejalan dengan bangsa," kata Jokowi, presiden ke-7 yang terpilih lagi untuk periode kedua.
Status FPI saat ini masih menggantung. Izinnya sudah habis dan mereka masih belum melengkapi syarat perpanjangan dari Kementerian Dalam Negeri. Salah satu yang masih bolong adalah rekomendasi dari Kementerian Agama. FPI juga belum menyerahkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga mereka.
Pernyataan Jokowi dikritik Rivanlee Anandar, anggota Kontras, ormas yang fokus dalam penegakan Hak Asasi Manusia, terutama pernyataan bahwa pembubaran mungkin dilakukan selama itu bertentangan dengan bangsa.
Jokowi tidak bisa mengatasnamakan "bangsa" untuk mengatakan keinginan "pemerintah", kata Rivanlee.
"Jangan sampai yang dimaksud bangsa oleh dia adalah ormas-ormas yang ada di belakangnya saja, ormas-ormas yang bisa menafsirkan kata bangsa sesuai kepentingan sepihak," kata Rivanlee kepada reporter Tirto, Senin (29/7/2019).
19 Juli 2017 pemerintah mencabut SK Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI pun resmi dibubarkan dengan alasan bertentangan dengan Pancasila--meski dalam AD/ART mereka menyebut dasar organisasi adalah Pancasila. Saat itu ormas keagamaan seperti NU mendukung langkah pemerintah.
Direktur Eksekutif YLBHI Asfinawati sepakat pula bahwa pernyataan Jokowi yang mengatasnamakan bangsa dalam rencana pembubaran FPI berbahaya. Karena atas nama bangsa itu, sangat mungkin organisasi lain kena sasaran sepanjang tidak sejalan dengan Pancasila versi pemerintah.
"Dan sekali itu dipakai," kata Asfin kepada reporter Tirto, "pola/model ini dapat digunakan untuk kelompok lain."
Asfin khawatir pernyataan Jokowi ditafsirkan jadi "mengesampingkan hukum" bahkan oleh masyarakat. Ini misalnya pernah terjadi ketika Jokowi bicara soal "gebuk PKI," yang, oleh ormas anti-demokrasi, justru jadi pembenaran terhadap aksi massa untuk menyerang LBH dua tahun lalu.
Selain kelompok yang dicap PKI, LGBT juga rentan. Sudah berkali-kali mereka dipersekusi. Ma'ruf Amin, cawapres Jokowi, sempat bilang kalau LGBT "tidak sejalan dengan Pancasila."
Idealnya, kata Asfin, Jokowi terus mengarusutamakan hukum dalam setiap retorikanya. Jika ada pernyataan soal bertentangan dengan Pancasila, Jokowi semestinya bisa menunjukkan bagaimana atau apa saja ciri-ciri spesifik anti-Pancasila itu.
Sayangnya itu tak tampak dalam wawancara, atau ketika dia berpidato di Sentul, 14 Juli lalu. Saat itu dia bilang, "tidak ada toleransi sedikit pun bagi yang mengganggu Pancasila! Yang mempermasalahkan Pancasila!" tanpa penjelasan lebih spesifik.
Pada akhirnya pernyataan Jokowi adalah indikasi akan munculnya kebijakan yang mengesampingkan HAM.
"Bisa saja dibubarkan apabila suatu organisasi melakukan advokasi supremasi ras atau etnis. Itu pun dalam ukuran demokrasi harus melalui pengadilan agar tidak menjadi sewenang-wenang," tegas Asfin.
"Sudah Domain Politik"
Kadiv Advokasi FPI Sugito Atmo Prawiro mengatakan status FPI memang sudah masuk ranah politis, alih-alih hukum. Karenanya dia mengaku tak akan kaget jika izin FPI tidak akan diperpanjang.
"Sudah jadi domain politik. Kalau misalnya presiden bukan Pak Jokowi, FPI akan bisa dengan mudah dapatkan izin," katanya kepada reporter Tirto.
Sugito juga bilang saat ini ada kelompok yang tengah berupaya melabeli FPI sebagai organisasi anti-Pancasila. Dia menegaskan FPI tidak termasuk dalam kategori itu.
"Ini ideologi yang mana? Sikap bertentangan apa yang selama ini FPI lakukan?" tanya Sugito.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino