tirto.id - "Papua damai! Papua damai! Papua damai!"
Teriakan itu menggema berkali-kali dalam arena muktamar Partai Kebangkitan Bangsa di Bali, Selasa (20/8/2019). Yang meneriakkannya adalah kader PKB asal Papua. Mereka melakukan itu di hadapan Presiden Joko Widodo. Jokowi lalu menghampiri dan menyalami mereka satu per satu.
Setelah kerusuhan pecah di Manokwari dan demonstrasi di Jayapura, Senin (20/8/2019) kemarin, orang-orang memang berbondong-bondong menyerukan hal serupa.
Tidak terkecuali Jokowi. "Saudara-saudaraku, pace mace, mama mama di Papua, di Papua Barat, saya tahu ada ketersinggungan," katanya di Istana Merdeka. Tapi, lanjutnya, "sebagai saudara sebangsa dan setanah air yang paling baik adalah saling memaafkan."
Semua berawal dari peristiwa di asrama mahasiswa Papua, Jalan Kalasan No. 10, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (16/8/2019) siang. Para mahasiswa dituduh merusak bendera merah putih yang dipasang persis di depan asrama. Ormas, juga TNI, yang tak terima lantas mengepung tempat tersebut berjam-jam.
Makian rasis diteriakkan bertubi-tubi. Polisi bahkan memaksa masuk asrama dengan kekuatan penuh. Gas air mata dilontarkan. Empat mahasiswa terluka karenanya. Mereka ditangkap, tapi lantas dilepaskan karena tak cukup bukti untuk menuding mahasiswa sebagai pelaku perusakan bendera.
Peristiwa inilah yang memicu kerusuhan di Manokwari. Aksi ini, seperti dikatakan seorang demonstran, adalah ekspresi kekecewaan masyarakat Papua terhadap pengepungan asrama Surabaya. Mereka marah karena diperlakukan rasis.
Ambrosius, aktivis dari Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se Indonesia (AMPTPI), juga mengaku "muak" dengan perlakuan rasis terhadap dia dan kawan-kawannya. "Kami datang ke Jawa sini bukan untuk cari kerja, bukan untuk cari makan. Kami menumpang kuliah saja. Sementara orang-orang yang datang ke Papua mereka cari kerja dan cari makan di tanah kami, tapi kami tidak rasis seperti itu. Biasa-biasa saja," kata Ambrosius di Menteng, Sabtu (18/8/2019) lalu.
Meski peristiwa ini terjadi pada Jumat, respons seperti permintaan maaf atau seruan damai baru muncul saat kerusuhan terjadi. Sebelum itu, setidaknya berdasarkan penelusuran Google News, tak ada satu pun pihak yang mencoba meredam atau meminta maaf.
Pada Jumat hingga Ahad lalu, pemberitaan hanya terkait pengepungan itu sendiri, baik dari versi mahasiswa atau versi polisi.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini misalnya, baru "meminta maaf" pada Senin. Di saat pengepungan terjadi, 16 Agustus malam, dalam sebuah forum dia berpesan semua orang "bergandengan tangan" dan tidak "tercerai berai".
Dia juga bilang, "mari kita bersama-sama terus bekerja keras mewujudkan Surabaya jadi kota yang sejahtera bagi penghuninya."
Di Kantor DPP PDIP di Jakarta, Senin kemarin, Risma bilang, "kalau memang ada kesalahan kami di Surabaya, saya mohon maaf." Dia juga mengimbau semua pihak tidak merasa lebih tinggi dari yang lain. "Di mata Tuhan semua sama, siapa pun kita, dari mana pun asal kita," katanya.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga meminta maaf. Beritanya muncul Senin kemarin. "Saya sudah menelepon Gubernur Papua, Pak Lukas Enembe, dan kami mohon maaf karena itu sama sekali bukan mewakili masyarakat Jawa Timur," ujarnya.
Lukas Enembe pada Ahad, 18 Agustus, sudah meminta kepala daerah di seluruh Indonesia membina pelajar atau mahasiswa di wilayah masing-masing, "sebagaimana kami juga bertanggung jawab untuk melakukan pembinaan terhadap mahasiswa yang berasal dari Luar Papua."
Ini adalah respons pertamanya terhadap peristiwa di Surabaya.
Seruan agar semua orang menjaga ketentraman juga muncul dari para pemuka agama dan adat. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, misalnya, mengatakan persoalan ini harus diselesaikan dengan kepala dingin. "Kita semua menyayangi saudara-saudara kita di Papua," katanya di muktamar PKB, Selasa.
Sementara Ketua Lembaga Masyarakat Adat Tanah Papua yang juga merupakan Staf Khusus Presiden untuk Papua Lenis Kagoya menganjurkan "jangan sekali-kali bakar fasilitas umum". Dia juga mengaku sudah berkoordinasi dengan tokoh agama untuk menenangkan masyarakat.
Tidak Cukup
Namun, permintaan maaf dan seruan menjaga perdamaian tampaknya tidak cukup buat menyelesaikan masalah ini. Buktinya, seperti yang dilaporkan Antara, Rabu (21/8/2019) demonstrasi kembali terjadi di Fakfak, Papua Barat. Sejumlah fasilitas dilaporkan dibakar dalam demonstrasi itu.
Itu pula yang dikatakan Gubernur Papua Lukas Enembe. Dia tegas mengatakan masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan maaf. "Tidak bisa disederhanakan," katanya di Jayapura, Selasa kemarin. "Masalah Papua itu rumit. Rasisme itu terjadi bertahun-tahun kepada mahasiswa Papua di Jawa."
Dia lantas meminta Presiden Jokowi bertindak tegas dengan memerintahkan para pelaku rasisme ditangkap. "Tangkap mereka. Itu baru benar."
Hal serupa diungkapkan Ligia Judith Giay, orang berdarah Papua yang tengah bersekolah pascasarjana di Asia Research Centre, Murdoch University, Australia. Persoalan tak bisa diselesaikan dalam 'satu kali pukul' karena itu terus "dipelihara dan dipraktikkan" dalam bentuk stigma-stigma rasis.
Tidak benar pula, katanya, "pembangunan akan mengakhiri rasisme terhadap orang Papua."
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino