Menuju konten utama

Perluasan Wewenang DPR pada RUU Migas Hambat Penetapan Harga BBM

Perluasan kewenangan DPR dalam menentukan harga BBM dan kuota impor BBM dinilai pengamat ekonomi energi menghambat bisnis migas.

Perluasan Wewenang DPR pada RUU Migas Hambat Penetapan Harga BBM
Penumpang dengan perahu karet melaju dengan latar belakang Kapal Gas Walio pengangkut gas elpiji PT Pertamina yang bersandar di dermaga terminal gas OPSICO PT Pertamina di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (18/10/2018). ANTARA FOTO/Aji Styawan

tirto.id - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi mengatakan, perluasan wewenang DPR dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Minyak dan Gas dapat memicu masalah.

Hal ini, kata dia, terkait perluasan yang bisa memperlambat proses pengambilan keputusan dalam industri migas. Sedangkan, pengusaha memerlukan kepastian untuk menjalankan bisnis.

Fahmy merujuk pasal 22 ayat 4 RUU Migas. Di dalamnya membuat klausul penetapan harga BBM perlu mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu.

Ditambah lagi, kata dia, perluasan kewenangan juga terkait persetujuan terhadap penetapan kuota impor BBM dan gas termasuk pengendalian Badan Usaha Khusus (BUK) Migas.

"Setiap proses permintaan persetujuan DPR terhadap keputusan aksi korpotasi tidak bisa dihindari akan terjadi tawar-menawar dengan DPR," kata Fahmy kepada reporter Tirto, Minggu (24/3/2019).

Fahmy juga mengatakan masalah kewenangan tidak dapat dipisahkan dari konsekuensi wacana pembentukan BUK Migas.

Saat ini UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas sedang direvisi oleh Komisi VII DPR RI. Anggota Komisi VII menunggu masukan dari pemerintah untuk melanjutkan pembahasan.

Menurut dia, dalam pasal 44 RUU Migas, BUK merupakan entitas baru yang dibuat untuk mengatur kegiatan usaha migas dari hulu ke hilir.

Namun, kata dia, BUK berada di bawah presiden lantaran tidak dipandang sebagai entitas korporasi, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan bisnis secara langsung.

Belum lagi, imbuh dia, kedudukannya juga berbeda dengan BPH Migas, SKK Migas, dan Pertamina yang berada dalam Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN.

Dampak posisi BUK Migas, kata dia, rawan diintervensi oleh anggota DPR. Hal ini, lanjut dia, terkait kewenangan persetujuan DPR mencangkup pemilihan pimpinan BUK dan setiap keputusan BUK.

"Penempatan BUK Migas yang berkedudukan langsung di bawah presiden berpotensi mengundang intervensi DPR secara berlebihan," ucap Fahmy.

Daripada membentuk BUK, kata Fahmy, pemerintah membentuk perusahaan holding (induk) migas dalam bentuk persero untuk menjalankan kewenangan BUK. Nantinya, lanjut dia, urusan hulu-hilir dapat dijalankan oleh anak usaha migas yang ada.

Menurut dia, holding migas berkedudukan secara kelembagaan di bawah Menteri BUMN dan secara teknis di bawah Menteri ESDM.

Oleh karena itu, bukan di bawah presiden, maka masalah yang dapat ditimbulkan akibat perluasan wewenang DPR tidak terlalu berdampak.

Di sisi lain Fahmy juga menyarankan agar ketentuan dalam draft RUU Migas yang mengatur perluasan kewenangan dan kontrol DPR perlu dipertimbangkan, bahkan dihapus. Hal ini, imbuh dia, untuk menjamin iklim industri migas yang berpotensi bermasalah akibat perluasan tadi.

"Kontrol DPR terhadap holding migas dapat dilakukan melalui Menteri BUMN dan Menteri ESDM," ucap Fahmy.

Baca juga artikel terkait MIGAS atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali