tirto.id - Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual masih sangat minim, bahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini dipaparkan langsung Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Irawati Harsono.
"KUHAP justru lebih banyak mengatur perlindungan terhadap pelaku, misalnya hak untuk mendapatkan pendampingan hukum dan lain-lain," jelas Irawati dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (16/3/2017).
Menanggapi hal itu, Komnas Perempuan mendesak agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini sedang dibahas DPR untuk menjadi RUU inisiatif legislatif, segera disahkan menjadi undang-undang.
Dalam naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, korban ditempatkan sebagai subjek dan definisi hak-haknya tercantum secara jelas.
"Pemenuhan hak korban meliputi hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan bertujuan mencegah keberulangan kekerasan seksual dan dampak yang berkelanjutan terhadap korban," kata Irawati menuturkan.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016, setiap hari sedikitnya lebih dari 35 perempuan, termasuk anak perempuan, mengalami kekerasan seksual di Indonesia.
Kasus kekerasan seksual ini meningkat setiap tahun. Pada 2010, tercatat 2.645 kasus, 2011 tercatat 4.335 kasus, 2012 tercatat 3.937 kasus, 2013 tercatat 5.629 kasus, 2014 tercatat 4.458 kasus, 2015 tercatat 6.499 kasus, dan 2016 tercatat 5.786 kasus.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016 yang diluncurkan 7 Maret 2017 itu menyatakan kasus kekerasan seksual terjadi di ranah komunitas menempati urutan pertama sebanyak 74 persen, diikuti kekerasan fisik 16 persen dan kekerasan lain di bawah 10 persen.
"Jenis kekerasan seksual yang paling banyak adalah perkosaan mencapai 1.036 kasus dan pencabulan 838 kasus," tuturnya sebagaimana dikutip dari Antara.
Irawati mengatakan data pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan itu berasal dari laporan mitra-mitra yang ada di daerah. Kasus yang terjadi akan selalu lebih besar, sehingga kekerasan seksual merupakan fenomena dari puncak gunung es.
Irawati menjadi salah satu nara sumber dalam Diskusi Panel "Urgensitas Pembentukan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual" yang diadakan Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC).
Selain Irawati, narasumber lain adalah Happy Farida Djarot, istri Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat; Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Hendrik Jehaman dan anggota Komisi IX Nihayatul Wafiroh.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari