Menuju konten utama

Perlawanan Hacktivist terhadap Lembaga yang Mereka Anggap Busuk

Para hacktivist tidak mencari keuntungan pribadi atau kelompok. Mereka bergerilya melawan pemerintah/negara/entitas yang dianggap berkelakuan buruk.

Perlawanan Hacktivist terhadap Lembaga yang Mereka Anggap Busuk
Ilustrasi Hacker. FOTO/iStockphoto

tirto.id - "Hack (retas), merupakan kata terpopuler zaman ini," ujar Ben Yagoda, akademisi University of Delaware sekaligus penulis buku The Sound on the Page (2005).

Para psikolog, mengutip CNN, menggunakan kata ini untuk mengajari masyarakat mencapai kebahagiaan hakiki dengan cara "meretas molekul kebahagiaan." Dan mencoba menyadarkan masyarakat bahwa pelbagai kebutuhan tak selalu harus dibeli, lahirlah situs web bernama lifehacker.

Sementara itu, karena ingin uang investasi yang diberikannya tumbuh melesat, Paul Graham, salah satu penggagas Y Combinator, mengingatkan para pendiri startup untuk memiliki "mata hacker".

"Hack" pertama kali muncul dalam kosa kata bahasa Inggris sekitar tahun 1200 M yang artinya "dipotong dengan kuat dengan cara yang tidak teratur atau acak". Sedangkan kata "retas" dalam bahasa Indonesia berarti "sudah putus benang jahitannya".

Dalam benak masyarakat saat ini, pendefinisian "hack" atau "retas", melenceng dari apa yang disebutkan dalam kamus.

Pertama kali dipopulerkan oleh mahasiswa Massachusett Institute of Technology (MIT) pada 1950-an, "hack" atau "hacker (orang yang melakukan hack)" disebut sebagai "mengotak-atik" atau "working on".

Istilah ini digunakan oleh sang mahasiswa untuk mendeskripsikan usaha membenahi sistem (khususnya komputer) dengan cara kreatif tanpa melihat instruksi yang termuat dalam buku manual.

Pendeskripsian ini dicatat dalam The Jargon File, glosarium komputer yang diterbitkan pada 1975 sebagai "[tindakan] seseorang yang senang menjelajahi detail sistem komputer yang dapat diprogram untuk mengembangkan kemampuannya."

Dalam buku Hackers: Heroes of the Computer Revolution (1984), Steven Levy, editor at large Wired, juga menyebut "hack" atau "hacker" sebagai "[tindakan] seorang programer atau perancang komputer yang menganggap sistem komputasi sebagai benda paling penting di dunia. Mereka bak penjelajah, pengambil risiko, seniman yang melihat komputer sebagai alat revolusioner, dan mengembangkan komputer dengan cara apapun untuk memperbaiki dunia."

Dengan kata lain, "retas" atau "peretas" merupakan seseorang atau tindakan yang dilakukan seseorang untuk mengembangkan komputer dengan cara nyeleneh atas kemampuan/pengetahuan luar biasa soal komputer.

Secara umum, definisi ini berkonotasi positif. Musababnya, ujar Levy, "berbagi, keterbukaan, dan desentralisasi untuk memperbaiki dunia" merupakan pondasi utama "hack atau hacker" di dunia.

Lewat prinsip meretas inilah TX-0 atau Transistorized Experimental Computer Zero lahir, komputer pertama yang sepenuhnya memanfaatkan transistor berbahan semikonduktor.

Pergeseran Makna

Di luar The Jargon File dan buku yang ditulis Levy, muncul arti lain dari kata "hack" atau "hacker". Seperti termuat dalam buku berjudul Crime by Computer (1976), "hack" atau "hacker" lantas dianggap sebagai salah satu bentuk atau pelaku kejahatan yang beraksi lewat kemampuan komputer tingkat tinggi.

Pergeseran arti ini sejak 1990-an kian menjadi-jadi dan menenggelamkan makna positif "hack" atau "hacker". Pasalnya, banyak anak-anak ingusan ditangkap polisi setelah mengutak-atik sistem digital milik pemerintah Amerika Serikat. Saat ditangkap, mereka bangga mendaku sebagai hacker.

"Hack" atau "hacker" lantas identik dengan kelakuan buruk. Keduanya kerap dituding sebagai penyebab rusaknya sistem digital, pencurian uang atau harta benda dari pelbagai layanan keuangan digital, dan kebocoran data.

Menariknya, dari arti "hack" atau "hacker" yang telah bergeser ke arah negatif ini, muncul sub-definisi baru. Dipaparkan Paul A. Taylor dalam "From Hackers to Hacktivist: Speed Bumps on the Global Superhigway" (New Media & Society, 2005), sub-definisi itu bernama "hacktivist".

Hacktivist mengotak-atik demi merusak sistem komputer bukan untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok, tetapi untuk bergerilya melawan pemerintah/negara/entitas yang dianggap berkelakuan buruk.

Sub-definisi ini yang tampaknya tengah diperagakan oleh peretas bernama Bjorka.

Pergerakan Para Anonymous

Pada tahun 2003, pemuda berusia 15 tahun asal New York City bernama Christopher Poole mendirikan 4chan, forum seperti Kaskus yang mengkhususkan diri sebagai tempat bagi penggunanya untuk berbincang tentang anime.

4chan mengedepankan anonimitas. Tak seperti Facebook, MySpace, atau Friendster, 4chan melarang penggunanya menggunakan nama asli untuk menjaga segala perbincangan di sistem mereka tak merembet ke kehidupan sehari-hari.

Para penggunanya hanya menggunakan username, nama alias. Atau, jika pengguna tak ingin membuat username/nama alias, 4chan memberikan nama default (bawaan sistem), yakni "Anonymous".

Merasa kelakuan atau tindakan mereka di 4chan tak akan merembet ke kehidupan luring, para pengguna akhirnya tak hanya berbincang soal anime. Mereka juga memperbincangkan pornografi, skatologi, rasialisme, dll.

Tak lama setelah didirikan, muncul sub-forum bertajuk /b/ atau bastards di 4chan sebagai tempat bagi penggunanya berbincang segala tetek-bengek soal "prank". Bukan dalam arti berbagi lelucon, tetapi berbagi kiat, tip, serta kisah melakukan peretasan sistem digital.

Awalnya, sub-forum ini menjadi semacam medium merancang aksi peretasan dalam rangka guyonan semata. Namun setelah Gawker Media memproteksi video tentang Tom Cruise yang berbicara soal Scientology, para pengguna /b/ bergerak.

Mereka meretas Gawker Media agar video tersebut dapat ditonton di situs web manapun, termasuk di Youtube.

Setelah menang melawan Gawker Media, sejak 2008 /b/ bertransformasi menjadi gerakan. Peretasan yang mereka lakukan tak bertujuan untuk mengeruk keuntungan finansial, melainkan bermotif aktivisme politik dan sosial atau "hacktivist" dengan mendompleng kebijakan yang dipopulerkan 4chan: "Anonymous".

Merasa segala ucapan Tom Cruise soal Scientology hanya omong kosong, gerakan ini lantas melakukan serangan DDoS pada situs web resmi Scientology. Setelah itu bersama-sama menyerang sistem digital milik MasterCard, Visa, dan PayPal pada 2010 dalam aksi yang bernama "Operation Payback".

Atas dorongan Pemerintah AS, pelbagai institusi keuangan tersebut membekukan rekening donasi milik WikiLeaks. Tindakan itu menurut oleh Anonymous semena-mena, terutama karena WikiLeaks dianggap berhasil membongkar kedok negara yang mempermainkan rakyat.

"Ada beberapa hal yang tidak bisa dilakukan WikiLeaks. Untuk segala yang tidak bisa dilakukan itu, ada Operation Payback [guna membantu mereka]," ujar Anonymous atau para pengguna sub-forum /b/ di 4chan. Belakangan, forum ini ditinggalkan karena 4chan menjadi medium tukar pikiran kaum ekstrem kanan.

Pada 2011, Anonymous juga membantu WikiLeaks dengan cara yang lebih ganas, yakni memberi dokumen-dokumen rahasia milik Strategic Forecasting, kontraktor di bidang intelijen yang disewa Central Intelligence Agency (CIA).

Perlahan, gerakan membocorkan dokumen rahasia milik negara inidilanjutkan di pelbagai negara lain dengan menggalang aksi Operation Libya, Operation Bahrain, dan Operation Morocco. Termasuk melakukan serangan siber pada Al-Qaeda, Boko Haram, dan berbagai organisasi/institusi yang dianggap busuk oleh Anonymous.

Menurut Jeremy Hammond, hacktivist yang dijebloskan ke penjara oleh Pemerintah AS setelah membocorkan dokumen Strategic Forecasting, gerakannya mencoba membangkitkan semangat "pembangkangan sipil [berbasis] elektronik, karena hacktivist merupakan sarana terbaik memperjuangkan keadilan sosial dengan memberikan tekanan langsung pada politikus dan institusi negara."

Bukan hanya tentang pemilihan subjek yang hendak disasar serangan siber, pelaku Anonymous juga dapat mengikrarkan nama alias, bahkan nama asli mereka sendiri. Menjadi seorang "Egofags" atau "namefags" dalam kamus gerakan ini. Bjorka, peretas yang tengah menjadi buah bibir di Indonesia, merupakan Anonymous varian ini.

Tanpa tameng Anonymous, Bjorka seolah seorang diri melakukan aksi peretasan di Indonesia secara bertubi-tubi. Peretasan-peretasan yang menurut Semuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Teknologi Informasi & Komunikasi (TIK), seharusnya ditinggalkan Bjorka.

"Kalau bisa jangan menyerang, lah. Orang itu ilegal, kok,” kata Semuel. Pernyataannya ini kemudian dibalas Bjorka dengan keras, "Pesan saya terhadap Pemerintah Indonesia: Stop bertindak bodoh."

Mengusung filosofi Anonymous, Bjorka berkata bahwa tindakannya merupakan cara untuk menghentikan kesewenang-wenangan negara, yang sayangnya tak pernah dilawan rakyat.

"Berbagai cara telah dilakukan, termasuk cara yang benar. Apakah berhasil? Jadi, saya memilih menjadi martir untuk membuat perubahan dengan menampar wajah mereka," terangnya.

Baca juga artikel terkait HACKER BJORKA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi