Menuju konten utama

Perlambatan Ekonomi Cina Bisa Bikin Neraca Dagang Indonesia Jeblok

Pemerintah didorong lebih fokus mengantisipasi perlambatan ekonomi Cina, salah satunya menjangkau pasar alternatif di luar negeri tirai bambu itu.

Perlambatan Ekonomi Cina Bisa Bikin Neraca Dagang Indonesia Jeblok
ILUSTRASI. Sejumlah kendaraan melintas saat berlangsung aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (19/3). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Perlambatan ekonomi Cina disinyalir bakal berimbas pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, pada tahun ini. Kekhawatiran ini pun sempat disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pertengahan Desember 2018, usai Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan Indonesia yang kembali tekor.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan hal ini bakal jadi tantangan cukup serius buat perekonomian Indonesia beberapa bulan ke depan.

Sebagai salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, kata Shinta, pelemahan konsumsi Cina bakal berpengaruh pada net ekspor serta membuat rontok harga-harga komoditas dari Indonesia.

Ujung-ujungnya, kata Shinta, hal tersebut bakal kembali membuat kinerja perdagangan Indonesia jeblok.

Apalagi, Cina sedang mengalami rebalancing pertumbuhan ekonomi yang lebih berfokus pada konsumsi domestik.

“Kita pasti akan kena dampak karena kita salah satu mitra dagang besar. Makannya kita enggak bisa bergantung pada pasar Cina, makannya kita sekarang banyak mendobrak ekspor nontradisional [Mesir, Turki, dan sebagainya],” kata Shinta di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (7/1/2019).

Sinyal perlambatan ekonomi Cina pada tahun 2019 memang semakin kuat. Salah satu indikasinya adalah Purchasing Managers’ Index (PMI) pada Desember 2018 yang turun jadi 49,4--terendah sejak Februari 2016.

Sejumlah perusahaan multinasional yang menjual barangnya ke Cina juga banyak mengeluh lantaran turunnya permintaan. Apple Inc., misalnya, telah menurunkan estimasi penjualan triwulannya di Cina untuk pertama kalinya dalam 15 tahun terakhir.

Meski demikian, kata Shinta, hal ini bisa jadi peluang karena Cina juga perlu merelokasi pabrik dan mencari alternatif lain untuk mensuplai kebutuhan produk dalam negerinya.

Kondisi ini membuka peluang bagi Indonesia untuk dapat menjadi bagian dari supply chain Cina.

Sebab faktanya, kata Shinta, sejumlah perusahaan Cina sudah mulai merelokasi beberapa pabriknya agar barangnya tidak kena label buatan Cina.

Strategi ini dilakukan agar barang-barang buatan Cina aman dari kenaikan tarif yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

"Bagian dari supplai chain, seperti HP saja sebenarnya, kan, kita sudah bisa merakit beberapa bagian di Indonesia. Kita juga melihat Cina sekarang banyak merelokasi pabriknya. Mereka mau mengambil kesempatan pindah ke Indonesia,” kata Shinta.

Meski demikian, kesempatan ini bisa diraih tergantung bagaimana kesiapan Indonesia dalam bersaing dengan negara lain. Artinya, reformasi struktural harus berlangsung secara masif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

“Sekali lagi kita berkompetisi. Tahun ini adalah tahun kompetisi. Insentif fiskal itu penting, tapi, kan, perizinan ini jadi momok di Indonesia. Kemudian infrastruktur, walaupun kita sekarang sudah gencar, tapi kita, kan, mulai dari indeks yang rendah,” kata dia.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengungkapkan, perlambatan ekonomi Cina sebenarnya sudah terbaca oleh pasar sejak tiga bulan terakhir.

Tak heran, kata Bhima, jika SSE Composite Index melemah hingga 10,86% dalam kurun tiga bulan terakhir. Semua ini, kata Bhima, merupakan dampak dari perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat yang mulai terasa.

“Efek perlambatan ini lebih besar ke Indonesia daripada AS yang melambat karena global supply chain Indonesia lebih ke Cina yang panjang, daripada AS,” kata Bhima.

Rekonsiliasi Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping juga dinilai masih belum jelas. Batas waktu pengenaan kenaikan tarif kedua negara tersebut masih akan mengintai pada Maret 2019. Sementara kenaikan tarif sebelumnya masih terus berlaku.

Karena itu, kata Bhima, pemerintah harus lebih bisa fokus mengantisipasi hal ini dengan sejumlah strategi, salah satunya menjangkau pasar alternatif atau non-tradisional di luar Cina.

“Kalau ekspor barang sulit diandalkan, bisa dorong ekspor jasa seperti pariwisata, ekspor tenaga kerja profesional, IT dan jasa konstruksi,” kata Bhima.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebut saat ini bank sentral masih mengamati kondisi perkembangan pasar global, terutama perlambatan perekonomian Cina akibat perang dagang.

Perry mengatakan, BI sendiri memprediksi pertumbuhan ekonomi Cina tahun ini sebesar 6,5 persen, lebih rendah dari tahun lalu yang sebesar 6,6 persen.

Namun, kata Perry, masih ada kemungkinan prediksi tersebut berubah seiring dengan rencana Amerika Serikat dan Cina yang akan melakukan negosiasi perdagangan.

“Kami pantau terus, nanti Minggu depan bagaimana solusi dari ketegangan perdagangan, kelanjutannya itu juga tentu meredakan premi risiko di pasar keuangan global,” kata Perry, di kantornya Jumat pekan lalu.

Baca juga artikel terkait EKONOMI CINA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz