Menuju konten utama
Perkembangan Islam di Asia

Perkembangan Islam di Korea Selatan: Populasi & Kondisi Terkini

Berikut ini sejarah perkembangan Islam di Korea Selatan, mulai dari jumlah populasi muslim hingga kondisi terkini di sana.

Perkembangan Islam di Korea Selatan: Populasi & Kondisi Terkini
Bendera Korea Selatan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Umat Islam di Korea Selatan termasuk golongan minoritas. Jumlah mereka kurang dari satu persen dari seluruh populasi negara tersebut. Meskipun demikian, pemerintah Korea Selatan terbuka terhadap perkembangan Islam. Berikut ini sejarah perkembangan Islam di Korea Selatan, mulai dari jumlah populasi muslim hingga keadaan terkini di sana.

Persinggungan Islam dan Korea sebenarnya telah dimulai sejak abad ke-9 masehi. Sejarah mencatat bahwa perkembangan Islam di Korea menempuh perjalanan panjang berliku-liku.

Ali An Sun Geun dalam buku Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh (2011) menyatakan bahwa Islam masuk ke Korea pada awal abad ke-9, bersamaan dengan kedatangan para pelayar dan pedagang Arab-Persia.

Kedatangan rombongan tersebut membawa serta ahli geografi Islam, kemudian mereka bermukim di wilayah itu dan membentuk perkampungan Islam.

Tidak berhenti hanya dengan bermukim, menurut Geun, penyebar Islam pada masa itu juga menikahi perempuan lokal. Dengan demikian, Islam pun perlahan-lahan bercampur baur dengan masyarakat setempat.

Pada perkembangan selanjutnya, Jeeyun Kwon (2014) dari dari Torch Trinity Center for Islamic Studies (TTCIS) menyampaikan pada awal abad ke-11, misi dagang Arab tiba di Korea.

Para pedagang yang bermukim di Korea itu membangun sebuah masjid di kota Kaesong, ibu kota Dinasti Goryeo yang berkuasa di Korea Utara saat itu.

Setelah penaklukan Mongol atas Korea pada 1270, serta Korea diintegrasikan ke dalam kerajaan Mongol yang multiagama, arus masuk orang-orang muslim kembali terjadi secara signifikan.

Muhammad Masrur Irsyadi dari UIN Syarif Hidayatullah menyampaikan bahwa kehadiran orang-orang Islam di masa Dinasti Goryeo diterima dengan baik karena disebut-sebut membawa produk peradaban, yaitu teknologi yang mempermudah kehidupan khalayak setempat.

Produk peradaban itu berupa teknologi astronomi, almanak, pengobatan, dan persenjataan yang juga dimanfaatkan oleh kekaisaran Mongol.

Runtuhnya Dinasti Goryeo segera digantikan oleh Dinasti Joseon yang memegang kekuasaan selama 5 abad lamanya.

Kemudian, di bawah Dinasti Joseon, pemerintah Korea melakukan penyeragaman identitas dan larangan menunjukkan identitas lain, selain identitas kecinaan pada waktu itu.

Menurut Irsyadi, kondisi demikian menyebabkan semenanjung Korea menjadi pemerintahan yang tertutup. Relasinya dengan komunitas-komunitas muslim kian terbatas. Selanjutnya, baru pada awal abad ke-20, Islam mengalami kebangkitan kedua di Korea.

Islam dan Korea Masa Modern

Pasca Perang Dunia II, Korea mengalami perang saudara yang memakan korban sekitar 5 juta warga sipil.

Perang Korea di awal 1950-an ini merupakan perseteruan kekuasaan dua kubu: Korea bagian utara dengan Korea bagian selatan.

Korea Utara yang waktu itu didukung oleh China dan Uni Soviet berhadapan dengan Korea Selatan. Di sisi sebaliknya, pihak Korea Selatan mendapat bantuan dari Amerika Serikat, Turki, dan beberapa negara sekutu lainnya.

Masih menurut Ali An Sun Geun (2011), selama Perang Korea, Turki mengirim tentara terbanyak setelah Amerika di bawah arahan PBB.

Orang-orang Turki yang beragama Islam juga banyak membantu mengurus sekolah-sekolah di Korea Selatan bagi anak yatim akibat perang. Dari situ, mereka mengajarkan Islam kepada masyarakat Korea.

Pada 1955, mereka membentuk Persatuan Orang Islam Korea. Selanjutnya, perkembangan komunitas muslim di Korea Selatan banyak mendapat sokongan dari negara lain dan berjalan cukup pesat.

Populasi mereka terus bertumbuh, terlebih pada 1962 Kerajaan Malaysia menawarkan bantuan finansial untuk pembinaan sebuah masjid di Seoul. Sayangnya, karena inflasi fiskal, pembiayaan itu terhenti.

Pada perkembangannya, pada 1970-an, hubungan ekonomi Korea Selatan dengan banyak negara Timur Tengah kembali menggeliat.

Orang Korea yang merantau dan bekerja di Arab Saudi banyak yang menjadi pemeluk Islam. Sekembalinya mereka ke negeri asal, Korea Selatan, mereka turut menambah jumlah populasi warga muslim di negara tersebut.

Kemudan, pada 1974 berdirilah masjid sentral di Seoul dan Islamic Centre, serta diikuti dengan dibukanya tempat-tempat ibadah umat muslim temporer di beberapa daerah, seperti disampaikan oleh Minardi (2011).

Negeri ginseng yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ini sangat menjaga toleransi dan menghargai perbedaan keyakinan.

Namun, kondisi ini sempat terguncang pasca peristiwa 11 September 2001, yakni serangan teroris pada menara kembar WTC di New York. Tragedi itu turut menyebarkan islamofobia hingga ke Korea Selatan.

Menurut Muhammad Masrur Irsyadi, secara sosial, peristiwa 9/11 dan kedatangan imigran asal negara-negara muslim membuat media-media di Korea Selatan sempat melabeli Islam sebagai agama ekstrimis dan radikal.

Tidak hanya itu, Jeong Min Seo dari Universitas Hankuk dalam "Children’s Media between Grooming and Persuasion: Religious Vision in the Case of Korea" menyebutkan bahwa sebenarnya sebelum serangan 9/11, sentimen anti-Islam atau anti-Arab telah tersebar luas di Korea karena dinamika aktivitas kalangan agama serta kesalahpahaman atau ketidaktahuan daerah terpencil terhadap ajaran Islam.

Jeong Min Seo melanjutkan bahwa jumlah artikel di surat kabar Korea yang mengandung kata "Islam" meningkat tiga kali lipat selama periode 2006-2009. Dari mulanya hanya berjumlah 85 menjadi 232.

Kata "Islam" di surat kabar menunjukkan bahwa tumbuhnya minat diskursus Islam meningkat secara dramatis. Artinya, isu Islam semakin banyak diminati, dicemaskan, atau kalau bukan, malah ditakuti oleh pemeluk agama lain.

Agar kedaan kembali kondusif, Pemerintah Korea Selatan, lewat proses yang juga berat, ingin menunjukkan komitmennya dalam toleransi umat beragama. Pada 2011, umat Islam di negeri ginseng untuk pertama kalinya memiliki sekolah Islam yang diresmikan pada Maret dengan izin yang diberikan oleh pemerintah (Minardi, 2011).

Selanjutnya, upaya itu diikuti dengan dibukanya pusat pengaduan masalah hak asasi manusia (HAM) yang diperuntukkan bagi masyarakat muslim di Korea. Lembaga HAM Muslim ini juga yang pertama berdiri di Korea Selatan.

Lika-liku perkembangan Islam di Korea Selatan, seperti yang telah dipaparkan di atas tidak bisa dilepaskan dari sikap toleransi masyarakat dan kebijakan anti diskriminasi pemerintah setempat. Sekarang, populasi umat muslim di Korea Selatan menyentuh angka 35.000 jiwa.

Kini, hubungan harmonis antarumat beragama sudah jamak ditemui di Korea Selatan. Sikap toleransi yang ditunjukkan pemerintah dan masyarakat Korea Selatan terhadap umat beragama, khususnya Islam menjadi jalan terang untuk memperkuat jalinan kerja sama dengan negara berpenduduk mayotitas muslim lainnya, termasuk Indonesia.

Baca juga artikel terkait PERKEMBANGAN ISLAM DI KOREA SELATAN atau tulisan lainnya dari Auvry Abeyasa

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Auvry Abeyasa
Penulis: Auvry Abeyasa
Editor: Abdul Hadi