tirto.id - “Bangsa yang tidak bisa mem-produceer perncerminan daripada rasa-rasa objectief, bangsa itu adala bangsa kintel dan bangsa tempe, kataku. Aku merasa suka syukur ke hadirat Allah Swt. bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa yang demikian […] Tempe itu apa? Kacang-kacang, soyabean, sekumpul. Tidak. Bangsa Indonesia adalah satu bangsa yang mempunyai pikiran, mempunyai rasa, mempunyai emosi, mempunyai angan-angan.”
Kutipan ini diambil dari Amanat PJM Presiden Sukarno pada Peringatan Hari Pahlawan di Istana Negara, Jakarta, 10 November 1965 yang tercantum dalam buku Revolusi Belum Selesai suntingan Budi Setiyono dan Bonnie Triyana (2014: 127).
Kata tempe dalam pidato seperti ini boleh saja diasosiasikan dengan hal yang negatif pada masa lampau. Tetapi kini, tempe bertransformasi menjadi suatu kebanggaan. Selain itu, tempe bahkan diperjuangkan untuk mendapat status warisan budaya Indonesia dari UNESCO.
Sejak beberapa tahun silam, usulan ke UNESCO untuk menjadikan tempe sebagai warisan budaya tak benda telah dilakukan sejumlah organisasi. Tahun 2015, Antara menulis, usulan ini dibuat oleh Perhimpunan Pakar Gizi (Pergizi) dan Pangan Indonesia bersama Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Forum Tempe Indonesia (FTI).
Beberapa alasan yang mendasari usulan ini antara lain adanya dokumen yang menyebutkan tempe berasal dari Jawa Tengah dan pencantuman ‘tempe’ dalam Serat Centhini—yang berlatar abad 16-17; tempe telah mendunia; tempe kaya manfaat; dan nilai-nilai budaya tempe dapat menjadi nilai ekonomi. Usulan tempe masuk dalam daftar warisan budaya UNESCO juga diiringi dengan upaya petisi di Change.org yang dimulai oleh Pergizi Pangan Indonesia.
Prof. Made Astawan dari FTI menyatakan harapannya agar tempe bisa masuk daftar warisan budaya UNESCO pada 2021 mendatang. Optimismenya ini sehubungan dengan penetapan batik sebagai warisan budaya oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB tersebut pada tahun 2009. Dengan penetapan oleh UNESCO tersebut, diharapkan tempe semakin banyak dikonsumsi beragam kalangan dan menjadi komoditas ekspor dalam negeri.
Menurut sejarawan dari Universitas Padjajaran yang berfokus pada kuliner, Fadly Rahman, usulan ke UNESCO untuk menetapkan tempe sebagai warisan budaya digulirkan lagi karena penelitian-penelitian terkait teknologi produksi tempe telah gencar sekali dilakukan oleh sejumlah food scientist di berbagai negara.
“Indonesia tentunya tidak ingin kecolongan lebih jauh. Bukan hanya terkait konsumsi tempe, tetapi juga produksinya,” ungkap Fadly.
Tempe dalam Rekam Jejak di Indonesia dan Dunia
Salah satu narasi tentang tempe diungkapkan Ong Hok Ham dalam buku The Thugs, The Curtain Thief, and The Sugar Lord (2003). Pada bab berjudul “Tempe: A Culinary Contribution from Java” ia menulis, makanan ini kerap kali dilekatkan dengan masyarakat Jawa. Tempe telah menjadi bagian santapan sehari-hari masyarakat Jawa mulai dari bangsawan sampai kaum miskin.
Ada alasan mengapa tempe menjadi makanan yang jamak dikonsumsi orang-orang Jawa sejak dulu. Ong berargumen, semenjak diterapkannya sistem Pax Neerlandica—politik kolonial yang menjadikan kesatuan Nusantara berada di bawah kekuasaan Belanda—dan sistem tanam paksa, lahan-lahan perkebunan meluas menggeser lahan peternakan. Seiring dengan populasi penduduk Jawa yang menanjak sejak 1830, kebutuhan makanan pun meningkat. Kehadiran tempe menggantikan produk-produk hewani yang jumlahnya terdampak dari sistem tanam paksa.
Penjajahan Belanda dan Jepang berimbas terhadap meluasnya konsumsi dan penelitian pengembangan tempe. Fadly mengatakan, setelah sempat menduduki Indonesia, orang-orang Jepang memikirkan cara membangun sebuah bangsa pascaperang. Salah satu opsi yang mereka ambil adalah dengan memperkuat ketahanan pangan lewat konsumsi makanan yang cukup terjangkau, namun punya nilai gizi yang bagus. Orang Belanda pun mengonsumsi dan mengembangkan tempe pada masa-masa sulit setelah perang.
Dalam buku The Book of Tempeh (2001) disebutkan, J. J. Ochse menuliskan kata tempe dalam buku Vegetables of Dutch East Indies yang terbit pada 1931, disusul kemudian oleh I. H. Burkill yang menulis dalam buku A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula. Sebelumnya pada awal abad 20, peneliti-peneliti Belanda terlebih dahulu meriset tempe di Hindia Belanda.
Popularitas tempe meluas ke berbagai penjuru dunia setelah mikrobiolog Amerika dari Cornell University dan United State Department of Agriculture meneliti tempe pada awal 1960-an. Mikrobiolog dari Cornell University bekerja sama dengan Yap Bwee Hwa, pelajar Indonesia yang mendapat beasiswa Fullbright dan bekerja di Cornell sejak tahun 1958. Mereka merupakan orang pertama yang membuat tempe di Amerika.
Di lain sisi, peneliti dari USDA juga melibatkan orang Indonesia, Ko Swan Djien, dalam risetnya. Orang inilah yang sekembalinya ke Tanah Air membawa hasil penelitiannya sehingga menarik perhatian khalayak. William Shurtleff dan Akiko Aoyagi menulis dalam The Book of Tempeh bahwa pada September 1965, sejumlah surat kabar dalam negeri mencantumkan headline seperti “Tempe Melangkah ke Takhta Lebih Tinggi” selepas Ko menyebarluaskan penelitiannya.
Dari Negeri Paman Sam pula, juga dari Belanda, teknologi pembuatan tempe melibatkan mesin dan bungkus plastik sebagai pengganti daun pisang, demikian ditulis Ong. Biasanya di Jawa, tempe dibuat secara manual dengan tenaga manusia.
Kendati tempe telah dikonsumsi masyarakat Indonesia dari berabad-abad lalu, tidak jelas siapa orang yang pertama kali menggagas pembuatan makanan ini. Ditambah lagi, pada era terdahulu, wacana tentang paten suatu benda atau gagasan belum muncul. Aneka manfaat dan catatan sejarah tempe juga tidak serta merta membuat pemerintah secara khusus memberikan perhatian terhadap status makanan ini. Baru pada tahun 2017 tempe diakui sebagai warisan budaya nasional.
Gerakan Para Penggiat Tempe
Di Indonesia, ada sejumlah organisasi yang menaruh minat terhadap pengembangan produksi serta promosi konsumsi tempe di dalam dan luar negeri. Rumah Tempe Indonesia (RTI) dibentuk di Bogor sejak tahun 2012 oleh FTI dan Koperasi Pengrajin Tempe Indonesia (KOPTI). Ditulis dalam situs US Soybean Export Council (USSEC) pada tahun 2014, RTI telah mengadakan pelatihan kepada pelaku-pelaku industri tempe yang mencakup sejarah, nutrisi, ekonomi bisnis, serta tahap produksi higienis tempe. Pelatihan ini sempat diikuti peserta dari Thailand, Singapura, Inggris, dan Indonesia.
Promosi tempe juga dilakukan oleh Indonesian Tempe Movement (ITM), organisasi yang digagas oleh keluarga Winarno: F.G. Winarno, Wida Winarno, dan Amadeus Driando Ahnan-Winarno. F. G. Winarno sendiri merupakan seorang profesor yang telah dikukuhkan sebagai Bapak Ilmu Pangan Indonesia berkat kiprahnya dalam merintis dan mengembangkan ilmu pangan dan pendidikan tinggi ilmu pangan di Indonesia.
Dalam linimasa yang tertera di situs mereka, ITM telah menorehkan sejumlah catatan aktivitas mempromosikan tempe di kampus-kampus di berbagai negara. Tahun 2016, wacana tentang tempe mereka angkat di Manchester University & Oxford University (Inggris) serta Wageningen University, Rotterdam, Geldrop (Belanda). Setahun berikutnya, giliran mereka melakukan presentasi dan workshop di University of Massachusetts, Oregon, Washington DC, Harvard Business School (AS). Pada tahun 2017 pula, mereka tampil dalam ajang Ubud Writer Festival.
“Ini usaha yang baik karena gaung acara Ubud Writer’s Festival akan terdengar oleh publik internasional,” komentar Fadly.
Walaupun aktivisme terkait tempe sudah dilakukan organisasi-organisasi ini, Fadly menilai masih ada hal lain yang diperlukan untuk menyokong pengakuan tempe sebagai warisan budaya oleh UNESCO, antara lain: usaha keras dari pemerintah untuk melakukan propaganda konsumsi tempe dalam rangka memperbaiki gizi masyarakat. Kalau masyarakat secara kolektif sudah terbiasa mengonsumsi tempe, upaya agar tempe diakui sebagai warisan dunia akan terdukung.
"Kan tidak lucu bila kita mempromosikan tempe ke kancah dunia tetapi masyarakat sendiri tidak tahu kandungan gizi di dalam tempe, sejarah, dan budayanya,” papar Fadly.
Namun, tengah usulan tempe sebagai warisan budaya dunia, Fadly mengkritisi tentang bahan baku pembuat tempe di Indonesia. Menurut Fadly, saat ini pertanyaannya adalah: apakah Indonesia bisa memproduksi tempe dari kedelai dalam negeri, bukan impor. Hal yang sama juga terjadi pada rendang. Meski makanan ini sudah dikenal sebagai makanan kebanggaan Indonesia, ternyata konsumsi daging di Indonesia termasuk rendah karena harga daging yang mahal.
"Bagaimana kita mau membangun citra kuliner kalau demikian? Untuk tempe, bagaimana kita mau membentuk citra tempe sebagai warisan budaya Indonesia bila bahan bakunya berasal dari luar negeri?” kata Fadly.
Dilansir Kompas, menurut Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Agung Hendriadi, pada 2016, kebutuhan kedelai masyarakat Indonesia mencapai 2,59 juta ton. Sementara, data dari BPS menunjukkan, kedelai yang diproduksi dalam negeri hanya mencapai 859.653 ton. Karenanya, pemerintah mengizinkan masuknya kedelai impor.
Statistik dari Basis Data Pertanian memperlihatkan, Amerika Serikat menjadi pengekspor kedelai ke Indonesia dengan nilai paling besar, yaitu 947.232.488 untuk kedelai segar dan 9.060.542 untuk kedelai olahan. Beberapa negara pengekspor kedelai ke Indonesia lainnya adalah Kanada, Argentina, dan Uruguay.
Perhatian Fadly terhadap bahan baku tempe dapat disandingkan dengan tulisan Ong soal kedelai. Masih dari sumber yang sama, Ong mengatakan bahwa orang-orang Cina dan Jepang bisa jadi merupakan pihak yang pertama kali mengenal kedelai karena mereka menggunakannya untuk memproduksi tahu.
Namun pendapat Ong ini dikritisi oleh Mary Astuti, peneliti kedelai dan tempe dari Universitas Gajah Mada, seperti dikutip dari Historia. Menurutnya, jika kedelai berasal dari Tiongkok, mengapa bahan baku tempe tersebut tidak pernah disebutkan dalam komoditas yang diperjualbelikan di Jawa? Lebih lanjut ia menyatakan, ada dugaan bahwa kedelai hitam sudah ditanam di Jawa sebelum Cina datang ke sana.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nuran Wibisono