tirto.id - Setelah VOC bubar, Priangan mengalami reformasi besar-besaran dalam berbagai lini. Wilayah yang semula berstatus daerah hinterland (pedalaman), bertransformasi menjadi kawasan metropolis yang saling terhubung dengan Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan. Distribusi barang menjadi lebih efisien dan murah sehingga para elite lokal di Priangan kian kaya.
Menurut sejarawan Belanda, Jan Breman, dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, Sistem Perdagangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (2014), di masa tanam paksa, kabupaten di Priangan yang paling banyak menghasilkan kopi adalah Cianjur. Lalu disusul oleh Bandung Parakanmuncang. Warsa 1806-1807, misalnya, jumlah panen kopi di Cianjur mencapai 1.444.106 pohon.
Di luar hubungan Priangan dan Hindia Belanda yang mesra dalam lingkaran merkantilisme dan kemudian kapitalisme, Cianjur sebagai perintis hubungan dua kelompok elite ini paling awal mendapat keuntungan secara politis.
Pada mulanya Cianjur berdiri sebagai kabupaten yang lemah secara legitimasi. Dibandingkan dengan Bandung, Sumedang dan Sukapura (sekarang Tasikmalaya), Cianjur tidak pernah mendapat restu Kerajaan Mataram untuk berdiri sebagai kabupaten.
Kendati telah memproklamasikan diri sebagai kabupaten mandiri sejak abad ke-17, Cianjur baru diakui sebagai kabupaten oleh entitas politik lain, yakni VOC pada tahun 1707. Itu pun terjadi karena Bupati Cianjur Wira Tanu III berhasil memberikan produksi kopi yang menguntungkan VOC sebagaimana disinggung di atas.
Angin politik yang melemahkan Kerajaan Mataram dan memperkuat cengkeraman VOC telah mengangkat harkat Bupati Cianjur sehingga diperhitungkan dalam dunia politik Priangan.
Puncak dari fenomena ini adalah didaulatnya Cianjur menjadi ibu kota Keresidenan Priangan pada 1815. Sejak itu, Cianjur resmi menjadi kota kediaman residen yang membawahi wilayah Kabupaten Bandung, Sukapura, Limbangan (Garut sekarang), dan Sumedang.
Kondisi ini, sebagaimana disebut R. Dienaputra dalam "Transformasi Sistem Politik di Cianjur: Dari Tradisional ke Modern" (2011), berbanding terbalik dengan kondisi dua abad sebelumnya di mana Sumedang yang menjadi pusat pemerintahan di Priangan atas persetujuan Kerajaan Mataram.
Dari Cianjur ke Bandung
Setelah Perang Jawa berakhir, peta politik di Priangan berangsur berubah kembali. Bandung yang sebelumnya hanya "kota udik", mulai berkembang menjadi kota modern.
Dilewatinya Bandung oleh Jalan Raya Pos membuat elite kolonial berminat membangun Bandung menjadi kota hunian bagi orang Eropa. Hal ini diawali dengan perpindahan pusat pemerintahan Bandung dari Dayeuhkolot ke sisi Jalan Raya Pos pada 25 September 1810.
Sementara Cianjur sebagai ibu kota Keresidenan Priangan mulai menarik minat beberapa tuan tanah untuk berinvestasi, salah satunya Andreas de Wilde. Sosok inilah yang kelak membuka jalan bagi berubahnya kembali peta politik di Priangan.
Sebagaimana disebut Dienaputra dkk. dalam Buku Ajar Sejarah Lokal Cianjur (2006), di satu sisi Andreas de Wilde menganggap letak Cianjur cenderung lebih dekat ke Batavia dibandingkan dengan daerah-daerah Priangan lain. Hal ini berimplikasi pada sulitnya koordinasi residen terhadap beberapa asisten residen yang berdiam di kabupaten-kabupaten yang terlampau jauh.
Di sisi lain, Andreas de Wilde memiliki kepentingan terhadap wilayah Cianjur sehingga dengan kuatnya posisi Cianjur dalam struktur politik kolonial telah menghambat kepentingannya di sana.
Ia bertekad untuk mencaplok wilayah Sukabumi--saat itu masuk wilayah Cianjur--agar menjadi daerah partikelir yang terbebas dari naungan elite lokal secara langsung.
Saran de Wilde itu disampaikan tahun 1819, namun tanggapan serius baru benar-benar terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Charles Ferdinan Pahud pada 1856.
Pahud menetapkan untuk dilaksanakannya rencana pemindahan ibu kota Priangan dengan pembangunan fasilitas-fasilitas penunjang di Bandung. Seluruh persiapan itu berhasil diselesaikan tahun 1864.
Maka pada tahun itu, sebagaimana disebut Dienaputra dkk. berangkatlah para pejabat Keresidenan Priangan ke Bandung yang berjumlah 26 orang. Berdasarkan catatan pemerintah kolonial, para pejabat keresidenan dipindahkan bersama dengan peralatan kantor mereka menggunakan kereta kuda.
Di Cianjur selanjutnya ditempatkan seorang asisten residen bersama perangkat-perangkatnya berupa satu orang kommies, satu orang juru tulis Eropa, satu orang juru tulis pribumi, satu orang korporaal-oppasser, dan lima orang opasser.
Perpindahan ibu kota Priangan ini memiliki semacam makna kultural di dalam pandangan orang Sunda. Seperti yang disinggung oleh R. Jaya pada Sejarah Sukabumi (2003), saat perpindahan ibu kota Priangan berlangsung muncul suatu ramalan atau uga yang disebut sebagai Uga Bandung:
"Bandung heurin ku tangtung, Cianjur katalanjuran, Sukabumi tinggal resmi, Sumedang ngarangrangan, Sukapura ngadaun ngora, Galunggung ngadeg tumenggung".
Bunyi ramalan ini pada dasarnya adalah proyeksi orang Sunda terhadap kondisi politik yang akan datang setelah proses pemindahan ibu kota Priangan.
Lebih jauh, mengutip paparan Nandang Rusnandar dalam "Uga Bandung: Pengetahun Orang Sunda dalam Ramalan dan Antisipasi terhadap Perubahan Fenomena Alam" (2011), perubahan politik di Priangan juga membawa perubahan kondisi alam dan lingkungan.
Ditetapkannya Bandung sebagai ibu kota baru Keresidenan Priangan menggantikan Cianjur membawa sejumlah konsekuensi baru, dan hal itulah yang kemudian diramal sebagai semacam langkah mitigasi.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi