tirto.id - Komisi Pengawas Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) melayangkan surat ke KPK untuk meminta audiensi sekaligus klarifikasi mengenai kasus pidana yang menjerat advokat Fredrich Yunadi. Pada hari ini, Anggota Komisi Pengawas Peradi Kaspudin Nor mendatangi Gedung KPK untuk menyampaikan surat tersebut.
"Mau menyampaikan surat minta audiensi dan klarifikasi untuk Fredrich," kata Kaspudin saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/1/2018) seperti dikutip Antara.
Fredrich Yunadi dan dokter RS Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo sudah ditetapkan sebagai tersangka di penyidikan tindak pidana dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan korupsi proyek e-KTP atas tersangka Setya Novanto.
KPK juga sudah mencekal mantan pengacara Setya Novanto itu dan tiga orang lain yang terkait kasus ini dari bepergian ke luar negeri selama 6 bulan sejak 8 Desember 2017 lalu.
Fredrich dan Bimanesh diduga bekerja sama mengatur agar Setya Novanto menjalani rawat inap di RS Medika Permata Hijau dengan memakai data-data medis yang terindikasi dimanipulasi. Tujuannya agar Novanto bisa menghindari panggilan dan pemeriksaan KPK.
Soal kasus ini, Kaspudin Nor mengatakan, Komisi Pengawas Peradi memerlukan klarifikasi dari KPK untuk keperluan identifikasi dan pengumpulan data mengenai kasus yang melibatkan Fredrich. Data-data itu diperlukan untuk proses sidang etik di Peradi terkait dengan pelanggaran Fredrich .
"Kami pengawas kan cari identifikasi, data-data sehingga nanti hasilnya akan kami nilai," kata dia.
Namun, Kaspudin mengaku belum bisa memastikan kapan Komisi Pengawas Peradi bisa beraudiensi dengan KPK.
Fredrich dan Bimanesh kini sudah ditahan KPK untuk kepentingan penyidikan selama 20 hari ke depan. Bimanesh ditahan pada Jumat malam (12/1/2018) usai menjalani pemeriksaan 10-an jam. Beberapa jam kemudian Fredrich dijemput paksa dan kemudian ditahan oleh KPK sejak Sabtu (13/1/2018).
Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang, yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi, dapat dipidana maksimal 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp600 juta.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom