Menuju konten utama

Penyebab Orang Suka Menyalakan Lampu Sein Kanan, Tapi Belok Kiri

Sein ke kanan, beloknya ke kiri. Pasti pengendaranya ibu-ibu. Benarkah demikian?

Penyebab Orang Suka Menyalakan Lampu Sein Kanan, Tapi Belok Kiri
Ilustrasi lampu sein. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Apa yang ada di pikiran ibu-ibu saat naik motor matic dengan lampu sein kiri tapi malah belok ke kanan?

Pertanyaan ini barangkali hinggap di benak banyak orang saat menimpali kekeliruan para pemotor kala berkendara di jalan raya. Kekeliruan ini bisa terjadi karena adanya pemahaman lampu sein berfungsi untuk mengarahkan pengendara di belakang untuk bergerak sesuai arah nyala lampu sein. Misalnya, ketika hendak berbelok kanan, lampu sein malah yang dihidupkan bagian sebelah kiri. Maksudnya supaya pengendara di belakang beralih ke lajur kiri, padahal ini jelas keliru.

Pemahaman semacam ini bisa membuat bingung pengendara lain yang punya pemahaman sebaliknya. Sebab, seharusnya lampu sein berfungsi menunjukkan arah yang akan dituju. Sein kanan mengisyaratkan hendak berbelok kanan, sein kiri mengisyaratkan hendak berbelok kiri. Pemakaian lampu sein yang keliru itulah yang sering kali berbuntut pada kecelakaan

Berdasarkan data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri tahun 2018, kasus tabrak belakang merupakan jenis kecelakaan paling banyak kedua. Salah satu penyebabnya adalah karena salah dalam memberi aba-aba sein. Kesalahan dalam sein ini seringkali disematkan untuk kaum perempuan. Benarkah demikian?

Trihartanti Andayani, 22 tahun, punya cerita lain soal lampu sein. Mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri yang tinggal di daerah Ciputat, Tangerang Selatan ini termasuk yang bermasalah dengan lampu sein saat berkendara dengan sepeda motor. "Saya suka bingung pakai lampu sein untuk belok kanan atau kiri. Karena bingung itu, suka salah belok kiri malah nyalain sein kanan," katanya kepada Tirto.

Pengakuan Andayani bisa jadi tak mengada-ada, beberapa kasus ada orang-orang yang bermasalah saat menentukan arah, termasuk saat berkendara. Persoalan membedakan kanan dan kiri pernah diulas dalam penelitian berjudul "Sorry, I Meant The Patient's Left Side: Impact of Distraction on Left-Right Discrimination" oleh John McKinley, Martin Dempster, dan Gerard J Gromley" dari Queen's University Belfast terbitan Medical Education pada 2015. Kesulitan membedakan kanan dan kiri dipengaruhi oleh proses neuropsikologis, mencakup kemampuan mengintegrasikan saraf sensorik dengan informasi visual, kemampuan berbahasa, dan memori.

Observasi ditempuh dengan melibatkan 234 orang mahasiswa. Mereka kemudian dibagi ke dalam empat kelompok untuk melakukan Bergen Right-Left Discrimination Test (BRLDT) atau uji kemampuan membedakan arah. Kelompok pertama melakukan BRLDT di ruang teater yang sepi tanpa ada gangguan suara apapun. Kelompok dua diuji di ruang yang sama, sambil diperdengarkan suara-suara bising, seperti suara manusia, alarm, dan telepon dengan tingkat kebisingan sekitar 70 dB. Kelompok tiga diberi gangguan kognitif berupa tiga paket soal yang berisi pernyataan yang berhubungan dengan arah kiri dan kanan, dan dijawab dengan format benar-salah. Sementara, kelompok empat menjalani tes dengan gangguan suara dan kognitif.

Hasilnya, kelompok empat mendapatkan skor BRLDT paling rendah. Sedangkan skor paling tinggi diperoleh kelompok pertama. Selain itu, dari setiap kelompok, responden perempuan yang paling banyak keliru memilih arah kanan dan kiri. Observasi tersebut menunjukkan kemampuan menentukan arah mudah terganggu dengan kondisi lingkungan.

Kecerobohan berkendara dan kecelakaan tidak bisa selalu dikaitkan dengan ulah pemotor perempuan, khususnya ibu-ibu. Data Korlantas Polri menunjukkan, kasus kecelakaan yang terjadi sepanjang tahun 2018 ini lebih banyak dialami kaum muda usia 15-19 tahun, 20-24 tahun, hingga 25-29 tahun. Tidak disebutkan siapa paling banyak melanggar, apakah kaum perempuan atau laki-laki.

Lampu Sein dan Kecelakaan

Aturan penggunaan lampu sein termaktub dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di pasal 112 ayat 1, diterangkan bahwa setiap pengendara yang akan berbelok atau memutar arah harus memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan. Di ayat 2, pengendara juga diharuskan memberi isyarat seperti yang dijelaskan di ayat 1 ketika hendak berpindah jalur.

Jika kedapatan melanggar aturan di pasal 112 ayat 1, pasal 294 UU Nomor 22 Tahun 2009 menjelaskan pengendara bisa dikenai hukuman berupa kurungan satu bulan penjara atau denda Rp 250 ribu. Hukuman yang sama juga bisa dikenakan kepada setiap orang yang melanggar pasal 112 ayat 2.

Perihal cara menggunakan sein yang tepat, instruktur Safety Riding PT Astra International TBK-Honda, Irfandy Achmad punya anjuran tersendiri. “Sebaiknya kita beri sinyal atau informasi dengan menyalakan lampu sein tiga detik sebelum berbelok ke arah yang dituju. Hal tersebut bertujuan agar pengendara di belakang kita dapat mengetahui apa yang akan kita lakukan (arah berbelok),” Papar Irfandy seperti dicuplik dari laman Astra Honda Motor.

Terkait penggunaan lampu sein yang tepat, Department of Motor Vehicle State of California menyarankan pengendara menyalakan lampu sein pada jarak sekitar 30 meter sebelum berbelok. Tujuannya tidak lain untuk memberikan kesempatan pengguna jalan lain menyesuaikan kecepatan atau berpindah lajur.

Kesadaran menggunakan lampu sein secara tepat tentunya tidak hanya disarankan untuk wanita. Semua pengendara harus memahami betul fungsi lampu sein dan cara menggunakannya.

Infografik Lampu Sein

Penelitian Richard Ponziani tentang tingkat penggunaan lampu sein di jalan raya yang diterbitkan oleh Society of Automotive Engineering (SAE) tahun 2012, dikutip Thenewspaper, menjabarkan 25 persen dari 12 ribu pengemudi yang diamati di Ohio, Amerika Serikat mengabaikan lampu sein ketika hendak berbelok. Hasil observasi tersebut juga menunjukkan, pengemudi cenderung mengabaikan penggunaan lampu sein untuk memberi isyarat akan berpindah lajur. Hanya 51 persen yang menyalakan lampu sein ketika hendak berpindah lajur, sementara 49 persen lainnya langsung berpindah lajur tanpa memberi isyarat.

Meskipun wanita kerap dianggap sebagai pengendara yang ceroboh, faktanya justru pengendara pria yang lebih sering mengalami kecelakaan. Riset yang dilakukan University of New South Wales Transport and Road Safety tahun 2012, seperti dilansir motorbikewriter memaparkan bahwa laki-laki memiliki risiko kecelakaan lebih besar 1,6 sampai 1,7 kali dibandingkan wanita. Hal itu dikarenakan waktu berkendara laki-laki relatif lebih banyak dibandingkan wanita.

Masih dalam tulisan yang sama, statistik dari NSW Bureau of Crime Statistic and Research—lembaga di bawah departemen kejaksaan agung Australia, menunjukkan 72 persen pelaku pelanggaran lalu lintas adalah laki-laki. Hal itu juga yang menyebabkan banyaknya kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan para pria.

Senada dengan statistik tersebut, data Insurance Institute For Highway Safety (2013) mengungkap 91 persen kecelakaan lalu lintas yang fatal melibatkan laki-laki. Dikatakan Senior Vice President and Spokesman IIHS, Russ Rader, jumlah wanita pengendara sepeda motor terus bertambah setiap tahunnya, akan tetapi kasus kecelakaan masih didominasi oleh laki-laki.

“Demografi pengendara (sepeda motor) berubah seiring dengan waktu. Wanita yang berkendara sepeda motor bertambah lagi dan lagi, membuat jumlah mereka (wanita) yang mengalami kecelakaan bertambah, tapi porsinya tetap kecil (dibandingkan laki-laki),”ujar Russ dilansir Standarexaminer.

Fenomena "ibu-ibu sein kanan belok kiri" hanyalah refleksi dari rendahnya pemahaman tentang instrumen berkendara. Edukasi dan sosialisasi dari pihak kepolisian atau pelaku industri otomotif diperlukan untuk mereduksi kekeliruan. Pengguna jalan juga harus lebih mawas dalam menggunakan instrumen berkendara.

Baca juga artikel terkait LALU LINTAS atau tulisan lainnya dari Yudistira Perdana Imandiar

tirto.id - Otomotif
Penulis: Yudistira Perdana Imandiar
Editor: Suhendra