tirto.id - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump kembali dimakzulkan pada rabu (13/1/2021). Ia menjadi presiden pertama sepanjang sejarah AS yang dua kali dimakzulkan.
Penyebab pemakzulan Trump ini berterkaitan dengan kerusuhan dalam penyerbuan Gedung Kongres AS pada pekan lalu yang menyebabkan lima orang tewas dan puluhan orang ditangkap.
"Presiden Amerika Serikat telah menyulut huru-hara ini, (menyulut) pemberontakan bersenjata melawan negara kita ini," kata Ketua Dewan Perwakilan, Nancy Pelosi, di hadapan para anggota sebelum pemungutan suara dilakukan.
"Ia harus pergi. Ia merupakan bahaya yang jelas dan (ada) saat ini bagi bangsa yang kita semua cintai," ujar Pelosi.
Dalam pemungutan suara di DPR AS yang didominasi oleh Partai Demokrat tersebut, hasilnya menunjukkan yaitu 232 setuju pemakzulan Trump dan 197 tak setuju.
Bahkan, 10 anggota Dewan Perwakilan dari Partai Republik (partai yang mengusung Donald Trump) telah setuju dengan usulan bahwa Trump menyulut pemberontakan massa.
Sepuluh orang anggota dari Partai Republik, partai Trump, yang memberikan suara setuju atas pemakzulan Trump itu antara lain Liz Cheney dan Jaime Herrera Beutler.
"Saya tidak memihak pada kubu apapun, saya memihak kebenaran," kata Jaime Herrera Beutler dalam pernyataan dukungannya untuk pemakzulan, yang disambut tepuk tangan para anggota dari Partai Demokrat.
"Ini adalah satu-satunya jalan untuk mengalahkan ketakutan," ujar dia.
Keputusan pemakzulan Trump yang disetujui Dewan Perwakilan AS dengan alasan "menyulut pemberontakan" itu berfokus pada pidato hasutan yang Trump sampaikan kepada ribuan pendukungnya sebelum mereka menyerbu Gedung Capitol para Rabu (6/1/2021).
Penyerbuan di Capitol disertai kerusuhan itu mengganggu jalannya proses pengesahan Presiden Terpilih Joe Biden dalam pemilu 3 November 2020--yang membuat anggota Kongres harus menyelamatkan diri dan mengakibatkan lima orang tewas, termasuk satu petugas kepolisian.
Setelah pemungutan suara, Pelosi kemudian menandatangani keputusan pemakzulan untuk dikirimkan kepada Senat. Ia menyebut bahwa ia melakukan "dengan sedih, dengan hati yang hancur".
Sebanyak dua pertiga mayoritas diperlukan untuk menyingkirkan Trump dari kursinya, yang berarti harus ada sedikitnya 17 anggota Partai Republik dari total 100 anggota di Senat yang setuju.
Tak ada satupun presiden AS yang berhasil diturunkan dari jabatan melalui pemakzulan. Tiga presiden, yakni Trump--proses pertama di tahun 2019, Bill Clinton pada 1998, dan Andrew Johnson pada 1868, mendapat pemakzulan dari Dewan Perwakilan namun dibebaskan oleh Senat.
Sebelumnya, Presiden Donald Trump menghadapi pemakzulan usai sebagian besar DPR AS sepakat bahwa Trump menyalahgunakan kekuasaan untuk menekan presiden Ukraina dan menghalangi proses penyelidikan kongres, 19 Desember 2019.
Pada pemungutan suara sesi pertama, sebanyak 230 suara mengatakan "ya" dan menganggap Trump menyalahgunakan kekuasaan. Sementara 197 suara mengatakan "tidak".
Pada sesi pemungutan suara kedua pemakzulan Donald trump, sebanyak 229 anggota DPR AS sepakat Donald Trump telah menghalangi upaya Kongres dan 198 lainnya memilih "tidak sepakat" dengan tudingan soal menghalangi upaya Kongres.
Editor: Agung DH