tirto.id - Menteri Kesehatan Nila Moeloek mendesak masyarakat yang kerap menolak imunisasi, atau biasa disebut kelompok Anti-vaksin, mengubah sikap. Dia meminta kelompok ini bersedia mengikuti imunisasi Difteri. Hal ini menyusul adanya kejadian luar biasa (KLB) penyakit itu di 11 Provinsi di Indonesia.
Nila menegaskan sikap masyarakat, yang masih menolak anaknya mengikuti imunisasi Difteri, bisa membahayakan orang lain. "Saya kira mereka harus sadar. Jangan merusak (kekebalan kelompok) untuk masyarakat yang lain," kata Nila di Jakarta, pada Senin (11/12/2017) seperti dikutip Antara.
Menurut Nila, imunisasi dengan menggunakan vaksin, yang selama ini ditolak sebagian kalangan dengan alasan agama, membawa lebih banyak kemaslahatan ketimbang mudharat. Dia juga menyampaikan bahwa imunisasi merupakan upaya memenuhi hak anak untuk sehat.
Nila menjelaskan KLB difteri terjadi karena adanya kesenjangan imunitas (immunity gap) di kalangan penduduk suatu daerah. "Keadaan ini terjadi karena ada kelompok yang tidak mendapatkan imunisasi atau status imunisasinya tidak lengkap sehingga tidak terbentuk kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri difteri, sehingga mudah tertular difteri," kata dia.
Ia mengingatkan laporan kasus difteri, yakni sejak Januari hingga November 2017, menunjukkan ada 593 kasus Difteri dengan 32 kematian di 95 kabupaten-kota di 20 provinsi Indonesia. "Meski Difteri sangat mudah menular, berbahaya dan dapat menyebabkan kematian, Difteri ini dapat dicegah dengan imunisasi," kata Nila.
Biofarma Diminta Percepat Produksi Vaksin Imunisasi Difteri
Sebagaimana dilansir laman Kemenkes, Nila menyatakan telah meminta PT Biofarma mempercepat produksi vaksin untuk imunisasi Difteri (DPT-HB-Hib, DT, Td). Menurut dia, stok vaksin saat ini hanya cukup untuk Outbreak Response Immunization (ORI) pada 2017.
''Kami kemarin sore rapat dengan Biofarma, ketersediaan vaksin untuk sisa tahun 2017 ini mencukupi untuk ORI. Kami meminta untuk segara dibuat lagi sehingga Januari 2018 bisa mulai (ORI) lagi,'' kata Nila di Jakarta Selatan pada Minggu kemarin.
Menurut rencana, ORI akan dilakukan secara bertahap, mulai Senin (11/12/2017) di 12 kabupaten/kota di tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa barat, dan Banten. Selanjutnya ORI akan dilakukan pada Januari dan Juli 2018 di provinsi lainnya. Imunisasi akan diberikan untuk warga berusia 1 sampai kurang dari 19 tahun dan bisa didapatkan secara gratis di puskesmas.
''Kita fokus kepada 3 provinsi dulu. Kami meminta Biofarma membuat vaksin ini lebih dipercepat. Jadi tahun 2017 untuk ketersediaan vaksin, kami meminta untuk lebih difokuskan,'' kata Nila.
Nila mengatakan imunisasi difteri perlu dilakukan saat bayi berusia 2 bulan setelah lahir, 3 bulan, dan 4 bulan, dan kemudian diulang pada usia 18 bulan. Setelah itu, imunisasi kembali diberikan saat anak duduk di kelas 1, kelas 2, dan kelas 5 sekolah dasar.
''Ini akan kami lakukan, dan saat ini pengulangan akan dilakukan kepada anak-anak yang berusia 1 sampai 18 tahun,'' kata Nila.
Ia menambahkan imunisasi difteri hanya memberikan imunitas sementara. Karena itu, imunisasi difteri harus dilakukan secara berulang.
''Kami mencoba lakukan penelitian antibodi masyarakat, ternyata memang rendah, hanya mencapai sekitar 60 persen. Saya kira ini membuktikan bahwa telah terjadi gap imunisasi di masyarakat. Dan memang setelah kita coba melihat orang yang tidak punya antibodi mungkin salah satunya karena penolakan atau tidak lengkapnya melakukan imunisasi,'' kata Nila.
Menurut Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Mohamad Subuh, Kemenkes sudah meminta WHO di India dan Geneva untuk membantu suplai obat difteri ADS. WHO sudah merespon akan menyiapkan kebutuhan Indonesia.
ADS lebih berperan untuk menurunkan membran putih, dan biasanya dalam waktu 3 sampai 5 hari bisa turun. Selain ADS, perlu antibiotik terutama bagi orang yang dekat dengan penderita Difteri.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom