tirto.id - Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT), Jumat (30/9/2019) lalu. Acara yang menghadirkan beberapa narasumber serta pihak-pihak terkait ini diadakan dalam rangka penulisan buku Sejarah Toponim Kota Yogyakarta.
Diskusi yang digelar di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta, Jalan Brigjen Katamso No. 139, Mergangsan, Yogyakarta, ini menghadirkan dua penulis sekaligus akademisi sejarah, Nur Aini Setiawati dan Heri Priyatmoko.
Kota Yogyakarta bersama Kota Malang (Jawa Timur) dipilih sebagai tema penulisan buku toponim sejarah dalam tahun 2019 ini. Untuk Kota Yogyakarta, penulisan buku dikerjakan oleh Nur Aini Setiawati dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Heri Priyatmoko dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Direktur Sejarah Kemendikbud, Triana Wulandari, mengatakan bahwa alasan Yogyakarta dipilih sebagai tema penulisan toponim sejarah karena kota ini merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sarat akan nilai-nilai budaya dan sejarah.
Toponim dalam Konteks Sejarah
Toponim atau toponimi bisa dimaknai sebagai pengetahuan tentang asal usul nama tempat dan pernah menjadi pembahasan strategis terkait kedaulatan negara dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, dikutip dari draf buku Toponim Kota Yogyakarta (2019) yang ditulis Nur Aini Setiawati dan Heri Priyatmoko, memaparkan bahwa toponimi yang selama ini lebih banyak dikenal dalam dunia geografi sebenarnya bisa dimaknai lebih luas.
Toponim, lanjut Hilmar, adalah identitas masyarakat yang menempati wilayah tertentu. Menulis toponim asal-usul nama lokasi dari perspektif sejarah menjadi kajian menarik dalam memperkaya identitas keindonesiaan.
Hilmar dalam kata sambutannya untuk draf buku tersebut menambahkan, membaca toponim Kota Yogyakarta dari perspektif sejarah penamaan tempat, terutama nama kampung-kampungnya, sangat khas.
Nama kampung maupun kelurahan berhubungan dengan nama tokoh dan peristiwa yang hampir semuanya mengerucut pada sejarah berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Penjelasan Hilmar dilengkapi Nur Aini Setiawati yang hadir sebagai salah satu narasumber utama dalam diskusi.
Menurut akademisi sejarah UGM ini, pembentukan Kota Yogyakarta diawali dengan pembangunan fisik istana Kesultanan Mataram Islam yang terletak di Desa Pacetokan, diapit dua sungai yakni Winongo di sebelah barat dan Code di sebelah timur.
Dalam perkembangannya, Kesultanan Mataram Islam inilah yang nantinya terpecah menjadi empat kerajaan, termasuk dua kerajaan yang masih eksis di Yogyakarta hingga saat ini yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Sejarah Kampung di Yogyakarta
Penamaan kampung-kampung yang ada di Kota Yogyakarta saat ini terkait erat dengan sejarah kerajaan kota ini, semisal Kauman, Patehan, Wirobrajan, Patangpuluhan, Pringgokusuman, Notoyudan, dan masih banyak lagi.
Maka, penulisan toponim sejarah Kota Yogyakarta, dilihat dari daftar isi draf buku tersebut, juga bisa diartikan sebagai penulisan sejarah asal-usul kampung-kampung atau tempat-tempat di Yogyakarta yang hampir semuanya berkaitan dengan wilayah, tokoh, serta riwayat kerajaan.
Dalam diskusi, Heri Priyatmoko yang juga terlibat dalam penulisan buku ini menambahkan bahwa kajian toponim Kota Yogyakarta perlu dilakukan karena adanya ungkapan sejarah kecil yang terabaikan dan mengakibatkan identitas suatu wilayah yang hilang.
Oleh karena itu, lanjutnya, tujuan penulisan toponim sejarah Kota Yogyakarta adalah untuk menggali local knowledge (pengetahuan lokal) dan local wisdom (kearifan lokal) yang tersembunyi di lorong kampung-kampung yang tersebar di Kota Yogyakarta.
Sumber-sumber yang digunakan, papar akademisi sejarah Universitas Sanata Darma ini, tidak hanya menggunakan sumber primer, seperti catatan-catatan atau peta-peta lama dari zaman kolonial, tapi juga memakai sumber-sumber lisan, termasuk wawancara dengan pelaku sejarah atau tokoh masyarakat setempat.
Menanggapi draf buku yang sudah disusun, Agus Murdiastomo dari Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengatakan, sistematika penulisan yang dibuat secara administratif dinilai sudah tepat sehingga memudahkan pembaca yang ingin memperoleh informasi nama tempat dengan mudah.
Agus juga menyoroti tentang banyaknya identitas tempat di Kota Yogyakarta yang sudah menghilang. Orang-orang, imbuhnya, banyak yang lebih mengenal nama-nama baru atau nama jalannya ketimbang nama kampung awalnya.
Dengan adanya penulisan toponim sejarah ini, seperti dikutip dari sambutan Direktur Sejarah Kemendikbud, Triana Wulandari, diharapkan dapat memberi manfaat dan pemahaman pembaca tentang identitas dan keistimewaan Kota Yogyakarta secara historis maupun kontekstual, termasuk pembangunan masyarakat dan budayanya.
Editor: Agung DH