tirto.id - Jumat (28/9/18) gempa dan tsunami mengguncang Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Gempa berkekuatan 7,4 SR menghasilkan tsunami setinggi 1,5 meter dan menghantam apa saja yang berada di kawasan Pantai Donggala dan Palu.
Bencana dahsyat tersebut membuat Kota Palu dan Kabupaten Donggala berantakan. Bangunan-bangunan roboh, jalanan rusak parah, listrik mati, dan komunikasi sempat terputus. Gempa dan tsunami juga menelan korban jiwa. Hingga Minggu (30/9/18) siang, menurut BNPB ada 823 orang meninggal karena kejadian tersebut. Selain itu, 540 orang juga dirawat di rumah sakit, ada 16.732 penduduk Kabupaten Donggala dan Kota Palu memilih berada di tempat pengungsian.
Sayangnya, karena akses yang sulit, para warga Palu dan Donggala yang berada di tempat pengungsian juga dalam kondisi jauh dari nyaman. Menurut Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Humas BNPB, para pengungsi tersebut membutuhkan bantuan mendesak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti air bersih, listrik, makanan, perlengkapan tidur, alat penerangan, dapur umum, hingga BBM.
Prioritas bantuan pasca bencana memang terfokus pada kebutuhan fisik korban. Namun, bantuan pemulihan kesehatan mental para korban pun tak kalah penting. Pasalnya, usai terjadi bencana para korban selamat tak jarang mengalami trauma serta guncangan mental. Terlebih jika para korban selamat kehilangan kerabat dekat atau keluarga.
Belajar dari Rikuzentaka
Saat Gempa dan tsunami melanda Jepang pada 2011, Kota Rikuzentaka yang berada di Perfektur Iwate hampir sepenuhnya rata dengan tanah. Berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, Rikuzentaka yang sebetulnya bisa mencegah ombak setinggi 3-4 meter dilahap ombak setinggi 13 meter. Lebih dari 80 persen rumah yang terdapat di kota tersebut hancur tak bersisa.
Menurut laporan The Globe and The Mail, sekitar 20 persen hingga 40 persen penduduk Rikuzentaka meninggal dunia. Dan setelah kejadian itu, sejumlah penduduk Rikuzentaka yang selamat tidak pernah benar-benar bisa pulih secara mental atau psikis.
Saat tsunami itu terjadi, Hatsuko Ishikawa kehilangan putranya. Beberapa saat sebelum gelombang menerjang, putranya yang bekerja sebagai pemadam kebakaran ingin mengevakuasi orang yang berada di dekat laut. Namun, putranya justru ikut tersapu tsunami dan tak pernah kembali. Ishikawa lalu mengutuk dirinya sendiri karena membiarkan putranya pergi.
Dampak kejadian itu, pikiran Isihakawa sering kali kosong, tekanan darahnya naik, dan dia akan berakhir di rumah sakit. Namun, saat dokter menyarankan agar dia pergi ke spesialis, ia selalu menolak, “tidak ada orang asing yang mengerti apa yang ada di dalam hatiku. Aku harus menanggungnya sendirian,” ujar Ushikawa.
Apa yang dialami oleh Isihikawa merupakan salah dampak dari ketidakseriusan Jepang dalam mengatasi kesehatan mental para korban tsunami. Tiga minggu setelah bencana, pemerintah Jepang memang bergerak cepat dalam membangun kembali rumah-rumah penduduk di Rikuzentaka. Saat itu mereka juga memastikan bahwa para korban yang selamat tak kekurangan asupan makanan. Namun, menyoal kesehatan mental, mereka bergerak lambat.
Menurut laporan Reuters, pemerintah Jepang menyediakan sebuah klinik yang bisa digunakan korban tsunami untuk melakukan konsultasi psikologis di pusat evakuasi Rikuzentaka. Namun, klinik tersebut ternyata tak pernah ada orang. Yukio Kudo, salah seorang pengungsi yang istri dan anaknya menjadi korban keganasan tsunami, beberapa kali kecewa saat mendatangi klinik tersebut.
“Ketika saya mengetuk pintu ruang konseling psikologis, saya tidak pernah menemukan orang di sana,” tutur Yukio, yang selalu merasa sedih setiap kali menyadari bahwa ia sudah menjadi duda tunawisma.
Akibat masalah tersebut, pada 2014 atau berselang tiga tahun dari bencana, sebanyak 5.000 korban tsunami atau seperempat dari penduduk Kota Rikuzentaka, kemudian memilih tetap tinggal di pengungsian. Sebagian besar dari mereka memilih menderita sendirian daripada harus “memulai kehidupan baru”. Ushikawa adalah salah satu korban yang memilih tetap tinggal di pengungsian.
Pemulihan Trauma Pasca Bencana Sangat Penting
“Ketika ada gempa bumi, traumanya masih terasa.”
Kalimat itu muncul dari Dilla Darmayanti, salah seorang korban selamat dari gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 2004 silam. Satu dekade setelah kejadian itu, kepada The Diplomat ia bercerita bahwa saat gempa dan tsunami terjadi ia melihat ombak menghempaskan teman-teman sekolahnya. Saat itu Dilla masih berusia lima tahun.
Gempa dan tsunami di Aceh merupakan salah satu bencana yang paling dahsyat di Indonesia. Tidak hanya meratakan bangunan, gempa dan tsunami tersebut juga menelan 130 ribu korban jiwa. Bagi korban yang selamat, bencana itu bisa menyisakan trauma berkepanjangan. Menurut estimasi WHO, sekitar 20 persen sebuah populasi yang terkena bencana biasanya mengalami gangguan mental. Itu artinya, Dilla bukan satu-satunya orang Aceh yang mengalami trauma pasca bencana 14 tahun lalu.
Selain membangun kembali infrastruktur, perumahan, serta mata pencaharian dan bisnis, penyembuhan mental memang sangat penting bagi para korban bencana. Menurut Cat Wise dalam salah satu tulisannya di PBSO News Hour, hingga sebulan setelah tsunami di Aceh, bantuan-bantuan finansial asing bahkan diprioritaskan untuk penyembuhan mental para korban.
Pemerintah Norwegia hampir menghabiskan 2 juta dolar AS untuk membangun dan memaksimalkan rumah sakit kesehatan mental. Save Children dan Nortwest Medical Teams melakukan terapi kepada anak-anak melalui kegiatan seni. Dokter Pandu Setiawan, mantan direktur kesehatan mental Indonesia selama tsunami, bahkan melakukan terobosan untuk membantu para korban secara langsung.
“Kami (Indonesia) menyadari bahwa kami tidak memiliki sistem kesehatan mental sama sekali ketika tsunami terjadi sehingga kami membutuhkan model baru,” ujarnya.
“Kami tidak ingin hanya fokus terhadap rumah sakit kesehatan mental. Kami ingin menjangkau orang-orang di tingkat komunitas sehingga kami melatih perawat-perawat umum agar mampu merawat orang-orang sampai ke tingkat desa.”
Pada akhirnya, usaha-usaha untuk menyembuhkan gangguan mental pasca bencana memang belum sepenuhnya berhasil, mengingat masih terdapat korban yang belum bisa lepas dari trauma. Namun, selama harapan untuk hidup lebih baik masih ada, entah itu melalui usaha penyembuhan mental secara serius maupun melalui pembangunan kembali daerah yang terkena bencana, dampak positif akan selalu muncul.
Teuku Mirwan, salah satu korban yang harus kehilangan kedua orang tuanya dan saudaranya saat tsunami Aceh terjadi, sadar betul akan hal itu. “Kami harus berdiri lagi,” ujarnya. “Kami tidak hanya bisa duduk. Jika kami hanya duduk. Kami akan mengalami trauma sepanjang waktu.”
Editor: Suhendra