Menuju konten utama

Penjelasan Satgas soal Kenapa Relaksasi PPKM Perlu Persiapan Matang

Kebijakan relaksasi yang tepat penting dipersiapkan secara matang karena menentukan keberhasilan penanganan pandemi Covid-19.

Penjelasan Satgas soal Kenapa Relaksasi PPKM Perlu Persiapan Matang
Juru Bicara Pemerintah Prof Wiku Adisasmito di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (12/1/2021). (FOTO/Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Negara)

tirto.id - Pengambilan keputusan terkait kebijakan relaksasi aturan pembatasan kegiatan masyarakat pada masa pandemi Covid-19 perlu dipersiapkan dengan matang. Selain itu, kebijakan relaksasi itu juga perlu diiringi komitmen dan kesepakatan dari semua unsur pemerintah maupun masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan.

Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito saat memberi keterangan pers di Graha BNPB, Jakarta pada Selasa (20/7/2021).

"Kedua hal itu menjadi kunci terlaksananya relaksasi yang efektif dan aman, serta tidak memicu kasus kembali melonjak," tambah Wiku.

Dia menjelaskan, pemerintah selama ini menerapkan pola kebijakan yang bersifat pengetatan dan relaksasi atau langkah gas dan rem secara bergantian di penanganan pandemi Covid-19.

Selama 1,5 tahun penanganan pandemi, kebijakan pengetatan dan relaksasi dilakukan sebanyak 3 kali. Penerapan aturan PPKM Darurat pada 3 - 20 Juli 2021 menjadi pengetatan yang keempat.

Langkah pengetatan aturan pembatasan kegiatan masyarakat biasanya diterapkan selama periode 4-8 pekan, dengan tujuan agar laju penambahan kasus baru menurun. Lantas, kebijakan tersebut akan diikuti dengan relaksasi aturan pembatasan selama sekitar 13-20 pekan. Relaksasi itu untuk meminimalisir dampak pelambatan ekonomi yang terjadi akibat kebijakan pengetatan.

Menurut Wiku, kebijakan relaksasi yang tepat penting dipersiapkan secara matang sebab ia dapat menentukan keberhasilan penanganan pandemi Covid-19. Ia mengatakan pengambilan keputusan terkait relaksasi musti mempertimbangkan pelajaran dari pengalaman sebelumnya.

Pada periode sebelumnya, kebijakan relaksasi belum diikuti oleh penyediaan sarana dan prasarana fasilitas pelayanan kesehatan maupun protokol kesehatan yang ideal. Lain itu, kebijakan relaksasi juga kerap disalahartikan sebagai keadaan aman. Persepsi macam itu menyebabkan pelaksanaan protokol dilupakan sebagian orang, dan ujungnya adalah jumlah kasus baru melonjak lagi.

Wiku mencatat, akibat dari melemahnya kedisiplinan dalam pelaksanaan protokol kesehatan pada masa relaksasi, jumlah kasus baru bisa meningkat hingga 14 kali lipat. Hal ini yang harus dijadikan refleksi bersama.

Sebab, kebijakan pengetatan melalui PPKM Darurat yang telah berjalan dalam dua minggu ini telah berdampak positif berupa penurunan tingkat keterisian tempat tidur atau bed of ratio (BOR) rumah sakit di wilayah Jawa - Bali. Pada periode yang sama, mobilitas penduduk pun berangsur menurun.

Di sisi lain, Wiku menilai penambahan kasus baru masih tinggi sekalipun kebijakan pengetatan di masa PPKM Darurat sudah menunjukkan hasil.

Dalam 24 jam hingga 20 Juli 2021, penambahan harian masih mencapai 38.325 kasus, atau lebih dari 2 kali lipat apabila dibandingkan dengan periode 3 pekan sebelumnya. Sementara kasus aktif masih sebanyak 542.938 (18,65 persen dari total kasus).

Kata Wiku, penanganan pandemi di tanah air pun perlu mempertimbangkan kenyataan bahwa kini sudah ada berbagai varian baru Covid-19 (varian of concern) yang masuk ke Indonesia, khususnya varian delta yang telah mencapai 661 kasus di Pulau Jawa-Bali.

Itulah mengapa, pemerintah saat ini berusaha maksimal melakukan pengetatan lewat pembatasan mobilitas masyarakat, meningkatkan kapasitas rumah sakit, menyediakan obat-obatan serta alat kesehatan untuk perawatan pasien Covid-19.

Banner BNPB Info Lengkap Seputar Covid19

Banner BNPB. tirto.id/Fuad

Baca juga artikel terkait PANDEMI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Iswara N Raditya