tirto.id - Mahkamah Agung (MA) memberikan penjelasan terkait putusan peninjauan kembali yang diajukan pemerintah terkait gugatan class action korban kerusuhan Maluku tahun 1999.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menerangkan, MA menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) pemerintah setelah memutus kasasi memenangkan penggugat yang merupakan perwakilan korban kerusuhan Maluku 1999. Putusan mengacu nomor 1950 K/PDT/2016.
"Tolak PK Pemohon artinya permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum, maka putusan kasasi MA tetap berlaku," kata Andi kepada Tirto, Jumat (16/8/2019) malam.
"Berhubung permohonan PK Pemohon ditolak, maka putusan sebelumnya yaitu putusan kasasi Nomor 1950 K/PDT/2016 yang dimohonkan PK tetap berlaku," tegas Andi.
Andi menerangkan, MA akan mengirim berkas perkara dan putusan PK kepada pengadilan pengaju tentang isi putusan PK. Lalu, pengadilan pengaju memberitahukan isi putusan PK kepada pihak-pihak yang berperkara. Kemudian putusan dieksekusi pengadilan.
"Apabila pihak Termohon eksekusi tidak bersedia atau enggan melaksanakan secara sukarela putusan tersebut, maka Pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan negeri setempat meminta supaya putusan a’quo dilaksanakan," ujar Andi.
Kisah gugatan masyarakat Maluku yang menjadi korban kerusuhan Maluku tahun 1999 naik ke permukaan setelah MA memutus PK tentang ganti rugi korban kerusuhan Maluku 1999. MA memerintahkan agar pemerintah membayar ganti rugi kepada ribuan warga yang menjadi korban kerusuhan.
Gugatan masyarakat Maluku berawal pada tahun 2011 silam. Hibani, salah seorang perwakilan warga korban kerusuhan Maluku 1999 bersama 3 orang perwakilan warga lainnya mengajukan gugatan class action kepada pemerintah.
Perwakilan tersebut menggugat 10 pihak, termasuk Presiden RI terkait kerusuhan Maluku tahun 1999 dan menuntut ganti rugi akibat kerusuhan itu.
Gayung pun bersambut bagi para penggugat. Pada tanggal 18 Desember 2012, Ketua Majelis Hakim Marsudin Nainggolan dan dua hakim lain, Dwi Sugiarto dan Akhmad Rosidin mengabulkan sebagian gugatan penggugat.
Perkara bernomor 318/PDT.G.CLASS ACTION/2011/PN.Jkt.Pst itu memerintahkan agar negara membayar ganti rugi, berupa uang bahan bangunan rumah (BBR) sebesar Rp15.000.000,- ditambah uang tunai sebesar Rp3.500.000,- untuk masing-masing pengungsi sebanyak 213.217 Kepala Keluarga (KK).
Sebab, dalam fakta persidangan, tidak semua korban menerima uang ganti rugi sesuai nominal. Para korban ada yang hanya menerima uang Rp3,5 juta sampai Rp10 juta. Tetapi, putusan tidak berlaku bagi para penggugat yang menyatakan keluar dari proses gugatan.
Tidak terima dengan putusan pengadilan pertama, pemerintah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Pengadilan Tinggi Jakarta lewat perkara nomor 116/PDT/2015/PT DKI justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kemudian, negara mengajukan kasasi atas putusan banding. Perkara yang teregister dengan nomor 1950 K/PDT/2016 tetap menyatakan negara harus membayar ganti rugi kepada warga korban kerusuhan Maluku 1999 sesuai dengan isi putusan pengadilan negeri.
MA juga memerintahkan agar mengeluarkan surat keputusan berupa penetapan personel dan tim panel untuk membayar ganti rugi tersebut.
Pemerintah pun kemudian mengajukan peninjauan kembali pada tanggal 20 Mei 2019.
Gugatan PK diajukan oleh Menteri sosia cq. Direktur jenderal perlindungan dan jaminan sosial (dahulu direktur jenderal bantuan dan jaminan sosial), Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Gubernur Maluku Utara, Menteri Perencana Pembangunan Nasional / BAPPENAS, Menteri Koordinator Perekonomian RI, Menteri Keuangan RI, pemerintah republik indonesia – ri cq. Presiden RI, Gubernur Provinsi Maluku, Gubernur Sulawesi Tenggara, dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Peninjauan kembali diajukan 10 pihak selaku pihak tergugat dalam gugatan korban kerusuhan Maluku tersebut.
Namun, MA menyatakan menolak permohonan peninjauan kembali pemerintah terhadap putusan kasasi class action yang diajukan sejumlah warga korban kerusuhan Maluku.
"Tolak," bunyi amar putusan sebagaimana dilihat Tirto, Kamis (15/8/2019).
Gugatan diputus oleh hakim Takdir Rahmadi dan dua hakim lain, yakni Sudrajad Dimyati dan Maria Anna Samiyati. Gugatan teregister di MA dengan nomor perkara 451 PK/PDT/2019 dan diputus pada tanggal 31 Juli 2019.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dhita Koesno