tirto.id - Kasus pembunuhan Kim Jong-nam merambah pada hubungan diplomatik Malaysia dan Korea Utara. Sabtu (4/3/2017), Malaysia mengusir duta besar (dubes) Korea Utara untuk Malaysia, Kang Chol. Pengusiran duta besar atau "persona non grata" menjadi status paling buruk bagi seorang diplomat atau pun duta besar. Karena itu artinya ia tak diinginkan di negara tersebut.
Pengusiran dubes Korea Utara tersebut dilakukan, setelah bulan lalu dubes Korea Utara tersebut menyatakan bahwa negaranya tidak mempercayai cara Malaysia dalam menangani penyelidikan pembunuhan Kim Jong-nam.
Dubes Korea Utara juga menuduh jika Malaysia bersekongkol dengan pihak lain yang menurut laporan Antara seperti Korea Selatan. Namun tuduhan Korea Utara ditanggapi Malaysia sebagai sebuah penghinaan.
Menteri luar negeri Malaysia Anifah Haji Aman menuntut dubes Korea Utara tersebut meminta maaf, tetapi diacuhkan oleh dubes Korea Utara. Pengusiran sang duta besar pun menjadi pilihan Malaysia untuk menyatakan ketegasan sikat terhadap dubes Korea Utara tersebut.
"Malaysia akan bereaksi keras atas penghinaan apa pun atau upaya apa pun yang merusak reputasi Malaysia," ucap Anifah seperti dikutip Antara.
Malaysia bukanlah satu-satunya negara yang mengusir perwakilan asing dari negaranya. Pada Desember 2016 lalu, sebanyak 35 diplomat Rusia diusir dari AS. Barack Obama yang saat itu menjadi presiden AS secara resmi menyatakan status "persona non grata" kepada para diplomat Rusia tersebut.
Tindakan pengusiran itu terkait dengan serangan cyber terhadap Komite Nasional Demokrat yang digunakan untuk keuntungan kampanye presiden terpilih Donald Trump serta respon terhadap tekanan yang diberikan Rusia terhadap diplomat AS di Rusia.
Pada 2001, AS juga pernah mengusir 50 diplomat Rusia terkait penangkapan veteran FBI yang menjadi agen Rusia untuk memata-matai AS selama lebih dari 15 tahun dan membocorkan sejumlah rahasia AS ke Rusia.
Jauh sebelumnya, AS juga pernah mengusir diplomat Uni Soviet. Tak hanya 35, pada tahun 1986, sebanyak 55 diplomat uni soviet diusir oleh AS. Sekitar 260 pegawai dari Uni Soviet yang bekerja di kedutaan AS di Moskow juga di berhentikan. Alasan pengusiran dan pemberhentian kerja ini adalah untuk menekan kegiatan spionase.
Pemerintah Soviet membalas dengan mengusir lima diplomat AS. Soviet juga menarik 260 mekanik asal Rusia dari kedutaan besar Amerika Serikat. Bahkan hingga tukang sapu, supir hingga pelayan pun ikut ditarik Soviet.
Dalam hubungan diplomatik, tak hanya soal mengusir duta besar atau diplomat yang sedang menjalankan tugas di negara tersebut. Suatu negara juga dapat menolak seorang duta besar yang akan ditempatkan di negaranya dan tetap termasuk dalam persona non grata.
Seperti yang terjadi pada dubes Indonesia yang akan ditempatkan di Brazil pada 2015. Brazil menolak Surat Kepercayaan dari pemerintah Indonesia yang menugaskan Toto Riyanto untuk menjadi duta besar RI untuk Brazil. Penolakan ini ditanggapi Indonesia dengan langsung menarik dubes RI dari negara Samba tersebut.
Bagaimana aturan penolakan atau pengusiran seorang dubes yang berujung pada penarikan dubes dan para diplomat?
Pengiriman agen diplomatik suatu negara ke negara lainnya dilandasi pada Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik dan konsuler. Setiap negara berhak untuk menolak atau mengusir diplomat yang dicalonkan atau sudah menjalankan tugasnya di negara penerima.
Dalam pasal 9 ayat (1) konvensi Wina menyebutkan bahwa negara penerima (receiving state) dapat dengan tegas menolak agen diplomatik negara pengirim (sending state). Penolakan dan pengusiran juga terjadi apabila dubes atau diplomat yang akan ditempatkan di negara tersebut dikatakan telah melakukan kegiatan campur tangan atau intervensi terhadap urusan dalam negara penerima termasuk sikap pribadi dari sang diplomat.
Selain itu, dubes dan diplomat tersebut menunjukkan rasa permusuhan (hostile act) baik terhadap rakyat maupun di negara tempat ia menjalankan misi diplomatik. Penolakan dan pengusiran dubes atau diplomat juga dapat dilakukan jika melakukan praktik spionase, terlibat dalam tindak kejahatan dan kekerasan hingga terlibat dalam lalu lintas obat-obatan terlarang dapat dinyatakan sebagai persona non grata (Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, 2005:117)
Dalam hubungan diplomatik kontemporer, penempatan agen diplomatik oleh suatu negara biasanya disesuaikan dengan pertimbangan kepentingan nasional dan keuntungan yang akan didapat. Penolakan, pengusiran, hingga penarikan dubes dan diplomat pun tak lepas dari kepentingan nasional suatu negara.
Seperti yang terjadi saat Australia menarik duta besarnya dari Indonesia terkait eksekusi mati dua warga negara Australia karena penyelundupan narkoba pada April 2015. Sebelumnya Australia telah melakukan pendekatan dengan pemerintah Indonesia mulai dari permohonan hingga “ancaman” terhadap gangguang hubungan diplomatik kedua negara, namun eksekusi tetap berjalan.
Australia yang tak terima dengan keputusan Presiden Joko Widodo, langsung menarik dubesnya dari Indonesia. Namun ini tak berlangsung lama. Lima minggu kemudian Paul Grigson yang menjadi dubes Australia untuk Indonesia kembali ke Jakarta. Sebab, kedua negara memiliki berbagai kerja sama mulai dari pendidikan hingga militer.
Sama seperti sejarah usir-mengusir antara AS dan Rusia yang hingga kini kedua negara masih resmi memiliki kantor perwakilan di masing-masing negara meski hubungan diplomatik keduanya selalu diwarnai dengan ketegangan.
Ini pun bisa terjadi pada kasus Malaysia dan Korea Utara yang kini tegang terkait kematian Kim Jong-nam. Hubungan kedua negara berpeluang kembali mencair sebab jika dilihat dari hubungan kedua negara sebelumnya, Malaysia adalah negara di Asia Tenggara yang memiliki hubungan yang dekat dengan Korea Utara.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani