tirto.id - Kebijakan Menteri Pemuda dan Olahraga (menpora) Imam Nahrawi menangguhkan pencairan anggaran Rp 10 miliar untuk Kwartir Nasional Gerakan Praja Muda Karana (Kwarnas Pramuka) menuai reaksi dari sejumlah pengurus Kwatir Daerah (kwarcab) Pramuka. Mereka menyatakan pramuka tidak pernah mengajarkan ide khilaf sebagaimana dikhawatirkan Imam.
“Saya belum pernah menemukan ada materi Pramuka yang mengajarkan khilafah. Di Satya Pramuka yang jadi dasar juga tidak ada istilah itu, malahan disuruh cinta NKRI,” kata Sukron Makmun pengurus Kwarcab Pramuka Lamongan kepada Tirto, Senin (24/7)
Satya Pramuka yang dimaksud oleh Sukron adalah janji setiap kader pramuka untuk menjalankan kewajiban terhadap Tuhan dan Negara Kesatuaan Republik Indonesia, menolong sesama hidup dan mempersiapkan diri membangun masyarakat, serta menepati Dasa Dharma.
Kegiatan Pramuka belum banyak berubah. Sukron mengatakan Pramuka masih mengajarkan tentang keorganisasian dan sejumlah keterampilan. Seperti cara membangun tenda, membaca sandi, dan membuat simpul tali temali untuk keadaan darurat. Ia pribadi menolak segala bentuk politisasi dalam Pramuka.
"Saya tidak setuju kalau Pramuka dicampuradukkan dengan politik. Pramuka itu kegiatan yang mulia," katanya.
Sama halnya dengan Sukron, Kak Tata salah satu pengurus Kwarcab Sumedang mengaku pernyataan Menpora tersebut bernada politis. "Saya tidak mau menanggapi pernyataan itu. Buktikan saja di lapangan," kata Tata pada Tirto.
Abdurrahman Wahid, salah satu pengajar Pramuka di Jakarta menyatakan pernyataan Menpora itu tak punya dasar fakta. Sebab, menurutnya, justru dirinya belajar Pramuka di Pesantren. “Yang Pramukanya hidup itu justru di pesantren kok. Gontor contohnya, Pramukanya maju pesat. Mereka belajarnya mencintai NKRI juga. Kami menghafal lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu wajib lainnya," kata Wahid kepada Tirto.
Wahid juga menuturkan bahwa Pramuka memiliki kegiatan bernama Pekan Perkemahan Santri Nusantara yang diselenggarakan oleh Kemenag. “Itu pesertanya pesantren-pesantren semua," kata Wahid.
Selanjutnya, Wahid juga mengaku tergabung dalam Sako (Satuan Koordinasi) Pramuka Maarif NU. Sebuah kesatuan Pramuka milik lembaga Badan Otonom NU LP Maarif. “Enggak mungkin NU mengajarkan radikalisme. Kalaupun di Pramuka ada diajarkan ideologi HTI, pastinya tidak akan berkembang di pesantren,” katanya.
Dirinya juga menuturkan kalau NU punya gelaran perkemahan sendiri, yakni Perkemahan Wirakarya Ma'arif Nasional (Perwimanas) I di Bumi Perkemahan Pondok Pesantren Babus Salam kalibening Mojoangung Jombang, 2013 lalu. Acara ini bahkan pernah mendapat apresiasi dari Ketua PBNU Said Aqil Siraj.
Menurut Wahid kehadiran Adhyaksa di acara HTI pada 2013 silam tidak bisa dianggap mewakili organisasi Pramuka. "Harusnya jangan digeneralisir. Kalau memang Kak Adhyaksa ada afiliasi, jangan korbankan Pramukanya," katanya.
Baca: Adhyaksa: Jangan Mencampuradukkan Pramuka dengan Pribadi
Wahid pun mengaku memahami maksud dari Menpora bahwa radikalisme memang telah menyasar ke banyak lini, termasuk mungkin Pramuka. Tapi, menurutnya, langkah preventif tidak harus mengorbankan organisasi Pramuka. "Menghilangkan kutu di rambut tidak harus memotong kepala orangnya," katanya berumpama.
Baca: Dana Pramuka Ditangguhkan, Menpora: Kami Harus Hati-Hati
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar