Menuju konten utama

Pengubur Jenazah: antara Kerja Sukarela dan Tudingan Calo Doa

Ada orang yang dibayar untuk memakamkan dan mendoakan jenazah. Mereka--secara serampangan--kerap dilabeli "calo doa".

Pengubur Jenazah: antara Kerja Sukarela dan Tudingan Calo Doa
Umat muslim berziarah di TPU Karet Bivak, Jakarta, Minggu (28/4/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - Wajah Mumu Muhaimin (42) bersembunyi di balik rindang pohon kamboja. Ia tak kuat menahan sinar matahari kendati sudah sejak 2004 beraktivitas di TPU Karet Bivak, Jakarta, sebagai pembimbing doa.

"Keluh kesah di sini cuma satu: panas. Selebihnya nyaman, namanya ibadah di sini," katanya kepada reporter Tirto, akhir Mei lalu.

Mumu mendaku bergabung ke organisasi bernama Peran Serta Masyarakat (PSM). Dia, bersama sembilan pembimbing doa lain, mencari uang dari membantu keluarga jenazah. Dia akan dibayar setelah membantu menurunkan jenazah ke liang lahat dan membimbing doa--jika keluarga tak bisa melakukan itu sendiri.

"Kami hanya membantu keluarga [jenazah] yang tidak bisa berdoa. Kami bacakan yasin, tawasul, tahmid, doa," akunya.

Untuk pekerjaan yang disebut terakhir juga diterima jika keluarga datang ziarah. Pada Ramadan hingga jelang Lebaran kemarin, peziarah banyak yang datang. Waktu sepi, mereka akan bekerja satu tim dengan jumlah enam orang. Tapi jika ramai seperti kemarin, mereka membagi-bagi jadi tim yang lebih kecil lagi.

Mumu mendaku tidak mematok tarif. Ia juga tidak bisa memastikan berapa rata-rata yang dia dapat dalam sehari.

"Kami ikhlas saja. Tidak memaksa juga harus memakai jasa kami. Kalau pihak keluarga bawa ustaz sendiri, ya silahkan. Kalau tidak, mau hubungi kami juga boleh," ujarnya.

Bukan Calo Doa

Apa yang dilakukan mereka kerap dianggap buruk oleh masyarakat. Labet "calo doa"--karena dapat uang dari mendoakan yang sudah meninggal--adalah salah satunya. Syarief (47), petugas lain, tahu kalau mereka kerap dilabeli demikian.

Dia sempat marah ketika mendengarnya lagi beberapa minggu lalu. Bahkan ia bilang, jika tidak sedang berpuasa, ia mau sekali mendebat orang yang menudingnya.

"Saya di sini bukan calo doa. Saya hanya membantu atau membimbing mereka yang belum bisa mendoakan mayit. Membaca yasin," ujarnya.

Ia mengatakan, semua makhluk hidup termasuk yang sudah meninggal masih membutuhkan doa. Sayangnya tidak semua keluarga yang memakamkan jenazahnya di TPU Karet Bivak bisa melantunkan doa. Oleh sebab itu ia mengaku bekerja ikhlas dan tanpa paksaan.

"Kami ini juga santri. Tidak kalah dengan ustaz di televisi. [Di sini] ada yang ahli kitab dan ahli qari (ahli membaca Alquran, ed). Bukan orang sembarangan, [bukan] tidak berilmu," katanya dengan nada meninggi.

Meski demikian ia memang mengatakan ada "pembimbing doa musiman" yang hanya datang saat bulan-bulan tertentu terutama saat Ramadan. Tapi dia mengaku bukan termasuk bagian dari itu dan dia meminta masyarakat membedakannya.

"Mereka cuma ada setahun sekali. Selebihnya hilang. Belum tentu juga mereka benar-benar bisa [berdoa]," ujarnya.

Syarief sudah sejak 1999 menekuni pekerjaan ini. Dia ada di TPU Karet Bivak setiap siang. Ketika sore hingga malam, ia mengaku sering mengisi ceramah dan mengajar ngaji.

"Minggu lalu saya baru pulang dari Cagar Alam, Depok. Ngisi ceramah di sana," akunya.

Baca juga artikel terkait PEMAKAMAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino

Artikel Terkait