Menuju konten utama
Pendidikan Agama Islam

Pengertian Haji Wada & Sejarah Haji Pamitan 25 Dzulqaidah 10 H

Haji wada artinya adalah haji perpisahan atau pamitan. Berikut sejarahnya yang terjadi pada 25 Dzulqaidah 10 Hijriah.

Pengertian Haji Wada & Sejarah Haji Pamitan 25 Dzulqaidah 10 H
Ilustrasi Haji Wada

tirto.id - Haji wada’ adalah peristiwa besar dalam sejarah syiar Islam. Tatkala haji wada’ berlangsung Rasul menyampaikan khutbah yang sangat bersejarah.

Khutbah Rasul pada haji wada’ seolah menjadi isyarat dan pesan bahwa tak lama lagi Rasul akan berpulang ke Rahmatullah. Saat haji wada' berlangsung, Allah menurunkan firman-Nya QS. Al-Maidah [5]: 3 berikut:

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamu bagimu,” (QS. Al-Maidah [5]: 3).

Ayat tersebut menjadi kabar gembira bagi umat Islam karena ajaran Islam telah sempurna. Namun, salah satu sahabat, yakni Abu Bakar menangis karena ia merasa bahwa jika tugas Rasul selesai, maka dalam waktu dekat pun Rasul akan meninggal.

Pengertian Haji Wada'

Pengertian haji wada’ menurut bahasa adalah haji perpisahan atau pamitan. Wada’ merupakan kosakata bahasa Arab yang berarti 'perpisahan'.

Mengutip dari laman NU Online, haji wada' merupakan haji pertama dan terakhir Rasul (sebagaimana disebutkan oleh sebagian sejarawan). Istilah haji wada’ merujuk pada peristiwa haji yang dekat dengan selesainya perjuangan Rasul dalam menyampaikan Islam karena tak lama setelah haji wada’ Rasul wafat.

Momentum haji wada’ yang agung ini banyak ditulis oleh sejarawan dengan detail. Menyelami sejarah haji wada’ akan membuat umat muslim menyadari betapa luar biasanya perjuangan Rasul dalam mensyiarkan Islam hingga menjadi sempurna.

Sempurnanya ajaran Islam ini ditegaskan Allah melalui firman-Nya dalam QS. Al-Maidah ayat 3. Kesempurnaan Islam yang ditegaskan dalam ayat tersebut secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa Rasul tak lama lagi akan menghadap Allah.

Sejarah Haji Wada'

Rasul mengumumkan kepada seluruh masyarakat Madinah bahwa beliau akan memimpin ibadah haji. Berita tersebut disampaikan oleh Rasul pada bulan ke-11 tahun ke-10 H.

Berita tentang haji wada’ dikirim ke berbagai suku yang berada di wilayah Jazirah Arab hingga akhirnya terkumpul kurang lebih 100.000 jamaah yang turut serta menunaikan haji. Jumlah jamaah haji wada’ merupakan jumlah yang fantastis mengingat perjuangan Rasul dan umat Islam dalam mensyiarkan Islam.

Rasul dan seluruh jamaah meninggalkan Madinah untuk berangkat Haji wada’ pada tanggal 25 Dzulqaidah bertepatan dengan 23 Februari 632 M. Mengutip dari E-Modul SKI Kelas VII, saat hari tarwiyah (menyediakan air), yakni pada 8 Zulhijah Rasul pergi ke Mina, keesokan subuhnya Rasul berangkat lagi menuju Gunung Arafah.

Seluruh jamaah umat Islam mengikuti Rasul sembari mengumandangkan talbiyah (Labbaika Allahumma Labaik) dan takbir. Setelah itu, Rasul berhenti di Namira (sebuah desa di sebelah timur Arafah) untuk berkemah.

Khutbah Rasulullah pada Haji Wada

Rasul dan jamaah haji wada’ melanjutkan perjalanan menuju Wadi’ di wilayah Uran. Pada tempat inilah Rasul menyampaikan khutbah yang sangat bersejarah. Rasul membukanya dengan mengucapkan syukur dan puji kepada Allah SWT. Mengutip dari E-Modul SKI Kelas VII MTS, berikut adalah khutbah Rasul dalam haji wada’:

Wahai manusia, perhatikanlah kata-kataku ini, aku tidak tahu kalau sesudah tahun ini, dalam keadaan seperti ini, tidak lagi bertemu dengan kamu sekalian.

Saudara-saudara, sesungguhnya darah dan harta kamu adalah suci buat kamu sampai datang waktunya kamu sekalian menghadap Tuhan. Kamu pasti akan menghadap Tuhan, pada waktu itu akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu.

Barang siapa telah diserahi amanat, tunaikanlah amanat itu kepada yang berhak menerimanya. Sesungguhnya semua riba sudah tidak berlaku, tetapi kamu berhak menerima kembali modal kamu. Janganlah kamu berbuat aniaya terhadap orang lain dan jangan pula dianiaya.

Hari ini nafsu setan yang minta disembah di negeri ini sudah putus asa untuk selama¬lamanya, tetapi kalau kamu turutkan dia, walaupun dalam hal yang kamu anggap kecil, yang berarti kamu merendahkan segala perbuatanmu, niscaya akan senanglah dia. Oleh karena itu, peliharalah agamamu ini dengan baik-baik.

Saudara-saudara, seperti halnya kamu mempunyai hak atas istri kamu, maka istri kamu mempunyai hak atas dirimu. Hak aku atas mereka ialah untuk tidak dan jangan sampai mereka secara terang-terangan melakukan perbuatan keji. Berlaku baiklah terhadap istri kamu, mereka itu kawan yang membantumu, mereka tidak memiliki sesuatu untuk diri mereka. Kamu mengambil mereka sebagai amanah Tuhan, dan kehormatan mereka dihalalkan untuk kamu dengan nama Tuhan.

Ada perkara yang sudah jelas kutinggalkan di tangan kamu, yang jika dipegang teguh, kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasululullah, Sesungguhnya setiap muslim itu saudara muslim yang lain, dan semua kaum muslim itu bersaudara, akan tetapi, seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya, kecuali jika diberikan kepadanya dengan senang hati. Jangan kamu menganiaya diri sendiri.

Katakanlah kepada mereka bahwa darah dan harta kamu disucikan oleh Tuhan, seperti hari ini yang suci sampai datang masanya kamu sekalian menghadap Tuhan.

Setelah itu, Nabi Muhammad Saw kemudian bertanya kepada seluruh jarna’ah.

“Sudahkah aku menyampaikan amanah Allah, kewajibanku, kepada kamu sekalian?”

Jama’ah yang ada dihadapannya segera menjawab: “Ya memang demikian adanya.”

Nabi Muhammad SAW kemudian menengadah ke langit sambil mengucapkan: “Ya Allah Engkau menjadi saksiku.”

Setelah asar, Nabi Saw berangkat ke Mina dan pada waktu itulah Nabi SAW membacakan firman ayat yang baru saja turun, yakni QS. Al-Maidah: 3.

Turunnya ayat tersebut merupakan kabar gembira bagi umat Islam bahwa Islam telah sempurna. Akan tetapi, Abu Bakar menyambut ayat tersebut dengan tangisan karena ia merasa akan semakin dekat dengan wafatnya Rasul.

Dua bulan usai melaksanakan haji wada’, Rasul mulai sakit demam. Meskipun dalam kondisi badan yang lemah, Rasul tetap berusaha memimpin salat berjamaah.

Kurang lebih tiga hari menjelang wafatnya, Rasul tak lagi bisa mengimami salat berjamaah. Ia menyerahkan pada Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi imam salat.

Kondisi Rasul semakin melemah hingga akhirnya pada Senin, 12 Rabiul Awal 11 8/8 Juni 632 M Rasul wafat di rumah istrinya, Aisyah. Meninggalnya Rasul sekaligus menandai bahwa tugas Rasul telah purna dan ajaran Islam telah sempurna.

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN AGAMA ISLAM atau tulisan lainnya dari Nurul Azizah

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Nurul Azizah
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Yulaika Ramadhani