tirto.id - Nabi Muhammad kembali ke Mekkah sebagai pemenang dan kemurahan hatinya telah menakjubkan para musuhnya yang beringas sekalipun. Walaupun banyak orang yang telah menghinanya, memeranginya, dan bahkan membunuh anggota keluarga dan para sahabatnya yang terkasih, Rasulullah SAW menawarkan perlindungan dan pengampunan, dengan melupakan masa lalu mereka.
Muhammad menyadari bahwa dia harus menghadapi sejumlah bahaya yang mengancam kaum Mukmin. Tidak semua suku mengakui otoritasnya dan beberapa kalangan berpikir bahwa saat yang tepat untuk untuk menjatuhkan dirinya telah tiba. Desas-desus yang beredar menunjukkan bahwa suku-suku Hawazin dan sekutu-sekutu mereka telah menggalang lebih dari dua puluh ribu orang di sebelah timur Mekkah untuk menyerang Muhammad dan pengikutnya.
Muhammad mengirimkan mata-mata yang kemudian memperkuat rumor itu: umat Mukmin harus mempersiapkan diri secepatnya. Semua Mukmin yang berasal dari Madinah segera dikerahkan, dengan tambahan dua ribu orang Quraisy. Jadi, Muhammad berangkat dengan pasukan sebanyak dua belas ribu orang, yang merupakan pasukan terbesar yang pernah dia pimpin. Jumlah pasukan yang besar itu telah membuat beberapa pihak, seperti Abu Bakar, sangat yakin akan kemenangan mereka, yang tentu saja membuat Muhammad senang.
Diserang Mendadak, lalu Berhasil Membalas
Menurut Ma’mar ibn Rasyid dalam The Expeditions: An Early Biography of Muhammad (2014), pasukan Hawazin dipimpin seorang prajurit muda berusia 30 bernama Malik ibn Awf al-Nasri yang telah memiliki reputasi besar di Semenanjung Arab. Malik memerintahkan prajuritnya untuk membawa serta anak dan istri mereka untuk membuat kagum musuh dengan jumlah mereka. Dia pergi ke lembah Hunayn, yang pasti akan dilalui pasukan Islam yang datang dari arah Mekkah, dan dengan lindungan kegelapan malam dia menempatkan sejumlah besar prajuritnya di kedua sisi lereng lembah.
Malik kemudian menempatkan pasukannya yang lain di seberang ngarai untuk menghadapi pasukan Muslim yang datang dari bawah lembah, sehingga mereka sengaja menampakkan diri. Pasukan Muslim sedang bergerak kala matahari bersinar pagi-pagi sekali, tatkala tiba-tiba Malik memerintahkan prajuritnya yang bersembunyi di lereng bukit untuk menyerang pasukan Muhammad dari kedua sisi (hlm. 105).
Serangan mendadak itu benar-benar mengejutkan. Khalid ibn al-Walid, komandan pasukan Muslim yang berada di depan, tidak bisa mengendalikan pasukan. Halai-balai pun terjadi. Para prajurit Muslim berusaha menyelamatkan diri mereka masing-masing dan berlari mundur dengan kebingungan. Terjebak di ngarai yang sempit, mereka semakin panik.
Muhammad, yang berada agak jauh di belakang mereka, menyaksikan semua yang terjadi. Dia segera mengumpulkan sahabat-sahabat terdekatnya, dan mulai memanggil orang-orang Muslim dengan dibantu Abbas, yang suaranya lebih bergema ketimbang suara Nabi.
Mereka berdua berteriak, “Wahai para sahabat yang berjanji setia di pohon, wahai para sahabat perjanjian akasia!” untuk mengingatkan para pejuang tentang sumpah setia mereka pada saat perjanjian Hudaybiyah.
Setelah beberapa saat mereka akhirnya menyadari apa yang sedang terjadi dan menjawab seruan Nabi sambil berteriak: “Labbayk! Labbayk!” (“Inilah kami! Inilah kami!”). Semakin lama semakin banyak orang yang bergabung kembali bersama Muhammad dan berkonsolidasi untuk melancarkan serangan balasan (hlm. 106).
Muhammad meminta beberapa buah batu dan, seperti yang dia lakukan di Badar, melemparnya ke arah pasukan Hawazin sambil berdoa kepada Tuhan, “Ya Allah, hamba memohon pada-Mu untuk menepati janji-Mu.”
Kaum Muslim bergerak ke arah musuh dengan bersemangat sehingga pasukan Malik terperangah. Mereka tidak menduga serangan balasan yang sedemikian besar dan mendadak. Di antara pasukan Muslim ada seorang perempuan, Umm Sulay al-Rumaysa, yang ikut bertempur bersama suaminya dan menunjukkan keteguhan hati seperti prajurit lainnya.
Kini, giliran pasukan musuh yang dipaksa mundur dan akhirnya kabur sambil terus dikejar pasukan Muhammad. Malik berlindung di kota Tha’if bersama Bani Tsaqif, sementara yang lain bersembunyi di perbukitan. Mereka kehilangan banyak prajurit dan menderita kekalahan pahit setelah situasi berbalik dengan cepat dan sekonyong-konyong (hlm. 109).
Meskipun banyak prajurit yang gugur, kemenangan itu bersifat mutlak dan rampasan perang yang didapat berlimpah. Mengenai para tahanan, Muhammad memerintahkan agar perempuan dan anak-anak dari pihak musuh dijaga dan diberi makan dengan sebaik-baiknya. Nabi juga menitahkan agar kuda dan harta benda dijaga dan tidak segera dibagi-bagikan.
Tanpa membuang-buang waktu, Muhammad mengerahkan pasukannya untuk berangkat ke Tha’if, tempat persembunyian Malik pada 22 Ramadan, 8 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 11 Januari 630 Masehi. Tampaknya Tha’if adalah benteng terakhir kelompok perlawanan di wilayah tersebut (hlm. 110).
Namun, menurut Tariq Ramadan dalam In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (2007), Bani Tsaqif memiliki persediaan makanan dan senjata yang sangat memadai. Pasukan Muslim memang berhasil mengepung benteng mereka, tapi tampak jelas bahwa mereka tidak bisa dipaksa keluar dengan cara itu. Setelah dua minggu, pasukan Muslim memutuskan untuk membongkar perkemahan dan kembali ke Jiranah, tempat para tawanan dan rampasan Perang Hunayn dijaga (hlm. 314-315).
Seminggu setelah orang Hawazin menyerah, Muhammad menerima utusan dari kelompok itu. Nabi menjelaskan bahwa dia telah menunggu mereka. Tapi karena tidak kunjung datang, dia akhirnya membagi habis semua tawanan. Nabi berkata bahwa dia bersedia menjadi mediator bagi mereka dan, bila mereka mau, akan meminta orang Islam untuk mengembalikan para tawanan.
Setelah diliputi keraguan selama beberapa saat, semua pasukan Muslim menyerahkan kembali tawanan mereka kepada utusan Hawazin. Sebelum mereka berangkat, Muhammad bertanya ihwal Malik, pemimpin mereka, dan mereka mengabarkan bahwa dia telah berlindung kepada Bani Tsaqif.
Nabi mempercayakan mereka untuk menyampaikan sebuah pesan kepada Malik: jika Malik menemuinya sebagai seorang Muslim, keluarganya akan dikembalikan beserta semua barang dan seratus unta miliknya.
Malik kemudian meninggalkan benteng Bani Tsaqif pada malam hari, menemui Muhammad, dan segera mengucapkan syahadat. Muhammad lalu memberikan amanah kepada Malik sebagai pemimpin Bani Hawazin yang telah masuk Islam dan diperintahkan untuk pergi ke Tha’if dan mengakhiri perlawanan Bani Tsaqif. Malik tidak saja berhasil melaksanakan misinya, tapi juga tetap setia dan bersemangat dalam komitmennya kepada Nabi Muhammad.
================
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangka Raya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.
Editor: Ivan Aulia Ahsan